Fenomena "Job Hugging" di Kalangan Generasi Z dan Milenial Indonesia - Analisis Sosiopsikologis dan Rekomendasi Strategis
Ringkasan Eksekutif
Laporan ini mengidentifikasi "job hugging"—kecenderungan pekerja muda untuk bertahan di pekerjaan yang tidak memuaskan karena ketakutan akan ketidakpastian ekonomi—sebagai tren dominan di pasar kerja Indonesia saat ini, menggantikan fenomena "job hopping" sebelumnya. Fenomena ini didorong oleh konvergensi tekanan sosiologis (ketidakstabilan ekonomi, beban finansial, budaya mencari aman) dan kerentanan psikologis (kecemasan finansial, analysis paralysis, sindrom impostor). Meskipun memberikan stabilitas jangka pendek, job hugging berisiko menciptakan stagnasi keterampilan individu, menghambat inovasi perusahaan, dan mengancam realisasi bonus demografi Indonesia. Laporan ini mengusulkan serangkaian rekomendasi strategis yang terkoordinasi bagi individu untuk membangun resiliensi karier, bagi perusahaan untuk mengubah retensi menjadi pengembangan talenta aktif, bagi pemerintah untuk memperkuat jaring pengaman sosial dan program upskilling, serta bagi universitas untuk merevitalisasi kurikulum dan layanan karier guna mempersiapkan lulusan yang lebih adaptif.
Bagian I: Kontur "The Great Stay" di Indonesia: Mendefinisikan Fenomena Job Hugging
1.1. Dari Job Hopping ke Job Hugging: Pergeseran Paradigma di Pasar Kerja Pasca-Pandemi
Lanskap ketenagakerjaan global dan domestik telah mengalami pergeseran seismik dalam beberapa tahun terakhir. Era Great Resignation pada periode 2021-2022, yang ditandai dengan fenomena job hopping atau kecenderungan pekerja untuk sering berpindah pekerjaan demi mengejar gaji, fasilitas, dan peluang yang lebih baik, kini telah mereda.1 Sebagai gantinya, muncul sebuah tren baru yang bersifat defensif dan didorong oleh kecemasan: job hugging.
Secara harfiah berarti "memeluk pekerjaan", job hugging adalah sebuah fenomena di mana karyawan, terutama dari kalangan berprestasi, memilih untuk bertahan erat pada pekerjaan mereka saat ini, bahkan jika mereka tidak merasa puas atau berkembang.3 Tindakan ini bukan didasari oleh loyalitas atau kepuasan kerja, melainkan sebagai strategi bertahan hidup di tengah iklim ketidakpastian ekonomi, pasar kerja yang mendingin, dan kekhawatiran akan masa depan.6 Para ahli mendefinisikannya sebagai "berpegang teguh pada pekerjaan demi keselamatan" (clinging to their jobs for dear life), sebuah respons langsung terhadap persepsi bahwa pasar kerja di luar sana penuh dengan risiko dan berbahaya.3
Kontras antara kedua fenomena ini sangat tajam dan mencerminkan perubahan fundamental dalam sentimen pekerja. Jika job hopping adalah manifestasi dari optimisme, di mana individu merasa memiliki daya tawar dan proaktif dalam membentuk lintasan karier mereka, maka job hugging adalah cerminan dari pesimisme dan keengganan mengambil risiko (risk aversion). Ini menandakan pergeseran kekuatan tawar kembali ke tangan perusahaan setelah periode singkat di mana talenta menjadi penentu. Pergeseran ini bukan sekadar perubahan tren, melainkan sebuah respons kolektif terhadap serangkaian guncangan ekonomi pasca-pandemi, yang memaksa pekerja muda untuk beralih dari mentalitas kelimpahan (abundance mindset) ke mentalitas kelangkaan (scarcity mindset).
1.2. Manifestasi Job Hugging: Bertahan Bukan Karena Loyalitas, Melainkan Kebutuhan
Di Indonesia, manifestasi job hugging terlihat jelas dalam narasi para pekerja muda. Banyak dari mereka yang secara sadar mengorbankan kepuasan kerja, pengembangan karier, dan aktualisasi diri demi satu hal yang paling mendesak: rasa aman finansial.7 Laporan media lokal meliput kisah-kisah seperti Tomo, seorang pegawai swasta yang bertahan di pekerjaannya yang stagnan hanya karena status karyawan tetap yang ia miliki, khawatir tidak akan mendapatkan posisi serupa jika ia pindah. Ada pula Andi, yang merasa pesimis dengan jenjang karier yang terbatas dan minimnya dukungan pengembangan dari kantornya, namun tetap memilih bertahan karena persepsi negatif terhadap pasar kerja saat ini. Kisah Josua menyoroti tekanan yang lebih konkret, di mana kewajiban finansial seperti cicilan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) membuatnya merasa terbelenggu pada pekerjaannya, menjadikan opsi pindah sebagai langkah yang sangat berisiko.7
Fenomena ini tidak hanya terbatas pada pekerja dengan performa rata-rata. Konsultan manajemen dari Korn Ferry mengamati bahwa bahkan karyawan berprestasi tinggi pun menunjukkan keengganan ekstrem untuk meninggalkan peran mereka saat ini.3 Mereka hanya akan mempertimbangkan untuk pindah jika kondisi di tempat kerja saat ini sudah benar-benar tidak tertahankan (miserable) atau jika tawaran dari luar sangat luar biasa dari segi kompensasi.3 Akibatnya, perusahaan menghadapi tantangan besar dalam merekrut talenta berpengalaman dari luar, karena "kolam" kandidat aktif menyusut secara signifikan.
1.3. Profil Demografis: Mengapa Gen Z dan Milenial Menjadi Episentrum Fenomena Ini
Generasi Z (lahir antara 1997-2012) dan Milenial (lahir antara 1981-1996) berada di pusat fenomena job hugging ini. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kedua generasi ini merupakan mayoritas penduduk dan angkatan kerja produktif di Indonesia, dengan proporsi Gen Z sebesar 27,94% dan Milenial sebesar 25,87% dari total populasi.10 Posisi demografis ini menempatkan mereka di garis depan dalam merasakan dampak langsung dari dinamika pasar kerja.
Kerentanan mereka diperparah oleh fase kehidupan yang sedang mereka jalani. Banyak dari mereka yang berada pada tahap dewasa awal, sebuah periode yang secara inheren penuh dengan tuntutan finansial yang signifikan: membayar cicilan, mempersiapkan biaya pernikahan, membesarkan anak, hingga mendukung kebutuhan orang tua.9 Tekanan-tekanan ini membuat stabilitas pendapatan menjadi prioritas utama, mengalahkan aspirasi karier lainnya. Keluar dari pekerjaan tanpa memiliki kepastian pekerjaan baru diibaratkan sebagai "berjudi dengan masa depan".9
Ironisnya, generasi ini secara historis dikenal memiliki tingkat loyalitas yang relatif rendah dan intensi turnover yang tinggi.13 Namun, kondisi eksternal yang penuh ketidakpastian telah memaksa terjadinya perubahan perilaku yang drastis. Mobilitas tinggi yang pernah menjadi ciri khas mereka kini berganti menjadi inersia yang didorong oleh ketakutan, menunjukkan betapa kuatnya faktor lingkungan dalam membentuk keputusan karier, bahkan jika harus bertentangan dengan preferensi inheren sebuah generasi.
Bagian II: Analisis Akar Masalah: Mengapa Generasi Muda "Memeluk" Pekerjaannya?
Fenomena job hugging di Indonesia tidak disebabkan oleh satu faktor tunggal, melainkan merupakan hasil dari konvergensi kompleks antara tekanan sosiologis yang bersifat struktural dan kultural dengan kerentanan psikologis individu. Analisis dari kedua perspektif ini dapat mengurai akar masalah secara komprehensif.
2.1. Perspektif Sosiologis: Tekanan Struktural dan Kultural
2.1.1. Iklim Ketidakpastian Ekonomi
Faktor pendorong yang paling dominan dan sering disebut adalah kondisi makroekonomi yang tidak menentu. Di tingkat global dan nasional, perlambatan pertumbuhan ekonomi, inflasi yang menggerus daya beli, dan suku bunga yang tinggi menciptakan iklim kecemasan.1 Secara lebih spesifik, para pekerja muda di Indonesia dihantui oleh berita mengenai gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal, terutama di sektor teknologi dan manufaktur, yang meningkatkan persepsi risiko dan ketidakamanan kerja.7 Akibatnya, pasar kerja dirasakan "mendingin", dengan tingkat perekrutan yang berada pada titik terendah dalam satu dekade terakhir dan pertumbuhan lapangan kerja yang melambat.3 Laporan Hopes and Fears 2024 dari PwC mengonfirmasi bahwa pekerja di Indonesia merasakan tingkat stres yang tinggi akibat perubahan konstan dalam lanskap bisnis, meskipun mereka menunjukkan resiliensi untuk beradaptasi.20 Kombinasi dari biaya hidup yang terus meningkat dan sulitnya mencari pekerjaan baru menjadi alasan fundamental bagi banyak orang untuk memilih bertahan, meskipun dalam kondisi yang tidak ideal.9
2.1.2. Beban Generasi Sandwich dan Tuntutan Finansial
Konteks Indonesia menghadirkan lapisan tekanan finansial yang khas. Banyak pekerja muda yang berada dalam posisi sebagai "generasi sandwich", di mana mereka tidak hanya bertanggung jawab atas kebutuhan finansial diri sendiri dan keluarga inti, tetapi juga harus menopang kehidupan orang tua mereka.9 Sebuah survei bahkan menunjukkan bahwa 86,7% dari Gen Z di Jakarta merasa khawatir terhadap kondisi finansial orang tua mereka di masa pensiun, yang secara implisit menambah beban psikologis dan finansial mereka di masa depan.21 Di saat yang sama, mereka berada pada fase hidup yang menuntut pengeluaran besar, seperti membayar cicilan rumah (KPR), kendaraan, dan biaya pendidikan anak.7 Keterikatan pada kewajiban finansial jangka panjang ini secara efektif mengurangi kebebasan mereka untuk mengambil risiko karier, menjadikan gaji bulanan yang stabil sebagai sauh yang tidak bisa dilepaskan.
2.1.3. Warisan Budaya "Kerja Aman"
Job hugging juga beresonansi kuat dengan preferensi kultural yang telah mengakar lama di Indonesia terhadap stabilitas dan keamanan kerja. Profesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Aparatur Sipil Negara (ASN) masih dianggap sebagai "primadona" dan tujuan karier yang ideal bagi banyak generasi muda dan, yang lebih penting, bagi orang tua mereka.22 Daya tarik utama PNS terletak pada jaminan keamanan finansial seumur hidup, jenjang karier yang terstruktur dan pasti, jaminan hari tua melalui dana pensiun, serta status sosial dan prestise yang tinggi di masyarakat.22
Dalam konteks ini, job hugging di sektor swasta dapat diinterpretasikan sebagai upaya untuk mereplikasi "rasa aman" ala PNS dalam lingkungan kerja yang secara inheren lebih volatil. Ekspektasi orang tua, yang sering kali memprioritaskan stabilitas dan keamanan di atas passion atau potensi pertumbuhan karier anak, memberikan tekanan tambahan yang signifikan.25 Lebih jauh lagi, budaya kerja paternalistik yang masih kental di banyak organisasi di Indonesia, yang menghargai kepatuhan, senioritas, dan loyalitas, dapat secara tidak langsung menghambat mobilitas dan mendorong karyawan untuk tidak "mengambil risiko" dengan mencari peluang di tempat lain.29
2.1.4. Disrupsi Teknologi dan Kecemasan AI
Di atas semua tekanan yang ada, muncul lapisan kecemasan baru yang berasal dari disrupsi teknologi, khususnya kecerdasan buatan (AI). Sebuah survei menemukan bahwa 77% pekerja merasa khawatir bahwa AI akan membuat pencarian kerja di masa depan menjadi lebih sulit, mendorong mereka untuk tetap berada di posisi yang sudah mereka kuasai saat ini.33 Kekhawatiran ini beralasan, karena AI diprediksi akan mengotomatisasi banyak peran transaksional dan entry-level yang secara tradisional menjadi gerbang masuk bagi para profesional muda ke dunia kerja.33 Pergeseran ini mengubah definisi keterampilan yang dibutuhkan, meningkatkan nilai pada soft skills seperti pemecahan masalah kompleks, adaptabilitas, dan kecerdasan emosional—keterampilan yang tidak dapat direplikasi oleh AI.33 Ketidakpastian mengenai bagaimana peran mereka akan terpengaruh di masa depan membuat banyak pekerja muda memilih untuk tidak bergerak dan menunggu, memperkuat fenomena job hugging.
2.2. Perspektif Psikologis: Belenggu Internal dalam Pengambilan Keputusan Karier
2.2.1. Kecemasan Finansial (Financial Anxiety)
Jika faktor sosiologis adalah pemicu eksternal, maka kecemasan finansial adalah inti psikologis dari job hugging. Survei global Deloitte secara konsisten menempatkan kekhawatiran akan kondisi finansial—baik jangka panjang maupun sehari-hari—sebagai pemicu stres nomor satu bagi Gen Z dan Milenial.34 Di Indonesia, data menunjukkan 47% Gen Z dan 43% Milenial merasa stres karena keuangan jangka panjang, dengan 46% Gen Z melaporkan merasa cemas hampir sepanjang waktu.34 Tingkat kecemasan ini diperburuk oleh beberapa faktor, termasuk tingkat literasi keuangan yang relatif masih rendah (indeks OJK 2019 menunjukkan angka 38,03%) 35, serta tekanan sosial untuk mengikuti gaya hidup konsumtif yang dipicu oleh media sosial (fenomena FOMO atau Fear of Missing Out).36 Kombinasi antara pendapatan yang terbatas, biaya hidup yang tinggi, dan tekanan untuk konsumsi menciptakan siklus kecemasan yang membuat stabilitas finansial menjadi kebutuhan psikologis yang mendesak.
2.2.2. Dilema Pilihan: Analysis Paralysis
Dunia kerja modern menawarkan pilihan karier yang jauh lebih beragam dan kompleks dibandingkan generasi sebelumnya. Namun, kelimpahan pilihan ini justru bisa menjadi bumerang. Profesional muda dapat terjebak dalam kondisi yang dikenal sebagai analysis paralysis, yaitu proses berpikir dan menganalisis berbagai opsi secara berlebihan hingga akhirnya tidak mampu membuat keputusan sama sekali.39 Ketakutan membuat pilihan karier yang "salah", ditambah dengan tekanan internal dan eksternal untuk sukses, dapat melumpuhkan proses pengambilan keputusan.40 Dalam kondisi ini, bertahan di pekerjaan saat ini, meskipun tidak memuaskan, terasa sebagai pilihan yang paling aman secara psikologis karena menghindari risiko kegagalan dari pilihan baru.40
2.2.3. Sindrom Impostor
Sindrom impostor, sebuah fenomena psikologis di mana individu yang berprestasi secara konsisten meragukan kemampuan mereka dan merasa seperti seorang "penipu" yang akan segera terbongkar, menjadi faktor pengunci yang signifikan. Sebuah penelitian dari Universitas Airlangga yang menyoroti pekerja muda di Indonesia menemukan bahwa lebih dari separuh (52%) dari mereka mengalami sindrom ini.43 Individu dengan sindrom impostor cenderung mengatribusikan kesuksesan mereka pada faktor eksternal seperti keberuntungan atau waktu yang tepat, bukan pada kompetensi mereka sendiri.44 Akibatnya, mereka hidup dalam ketakutan bahwa mereka tidak akan mampu mereplikasi kesuksesan tersebut di lingkungan atau peran yang baru. Ketakutan ini secara langsung memperkuat keinginan untuk tidak meninggalkan posisi yang sudah "terbukti" aman, karena pindah kerja berarti harus membuktikan diri lagi dari awal, sebuah prospek yang menakutkan bagi seseorang yang secara internal tidak percaya pada kemampuannya sendiri.44
2.2.4. Pergeseran Hierarki Kebutuhan
Dengan menggunakan kerangka hierarki kebutuhan Abraham Maslow, fenomena job hugging dapat dianalisis sebagai sebuah regresi massal dari kebutuhan tingkat tinggi ke kebutuhan tingkat dasar. Jika pada kondisi ekonomi yang stabil para pekerja muda fokus pada pemenuhan kebutuhan akan aktualisasi diri (pengembangan karier, pekerjaan yang bermakna, passion), maka dalam iklim ketidakpastian saat ini, fokus mereka terpaksa mundur ke tingkat yang lebih fundamental: kebutuhan akan rasa aman (safety needs), yang mencakup keamanan kerja, stabilitas pendapatan, dan prediktabilitas.6 Dalam konteks ini, pekerjaan tidak lagi dipandang sebagai sarana untuk mencapai potensi tertinggi, melainkan sebagai benteng pertahanan untuk menjamin kelangsungan hidup finansial.
Secara keseluruhan, job hugging di Indonesia adalah hasil dari "tumbukan sempurna" (perfect storm). Ancaman universal dari ekonomi global dan disrupsi AI bertemu dengan kerentanan spesifik dalam konteks sosiologis Indonesia, seperti budaya "kerja aman" dan tekanan finansial keluarga. Tekanan ini kemudian mengubah ancaman yang tadinya abstrak menjadi krisis personal yang mendesak. Pada akhirnya, faktor-faktor psikologis internal seperti kecemasan finansial dan sindrom impostor berfungsi sebagai mekanisme pengunci, melumpuhkan kemampuan individu untuk merespons secara proaktif, dan menghasilkan inersia karier yang tampak tidak logis dari luar tetapi sangat rasional dari dalam kerangka psikologis yang terkepung.
Bagian III: Dampak Berlapis dari Stagnasi Karier
Meskipun job hugging menawarkan ilusi keamanan dalam jangka pendek, fenomena ini menimbulkan konsekuensi negatif yang signifikan dan berlapis dalam jangka panjang, tidak hanya bagi individu, tetapi juga bagi perusahaan dan perekonomian nasional secara keseluruhan.
3.1. Bagi Individu: Erosi Keterampilan, Penurunan Kesejahteraan Mental, dan Hilangnya Potensi Penghasilan
Bagi pekerja muda, dampak paling langsung dari job hugging adalah stagnasi profesional. Bertahan dalam peran yang sama tanpa tantangan baru berarti kehilangan kesempatan krusial untuk mempelajari keterampilan baru, memperluas jaringan profesional, dan mendiversifikasi pengalaman kerja.1 Dalam dunia kerja yang berubah cepat, terutama dengan adanya disrupsi AI, stagnasi ini menciptakan "kesenjangan keterampilan" (skill gap) yang semakin melebar dari waktu ke waktu. Keterampilan yang relevan hari ini bisa menjadi usang dalam beberapa tahun, membuat individu yang "memeluk" pekerjaannya menjadi semakin tidak kompetitif dan lebih rentan di masa depan.
Dampak psikologisnya tidak kalah merusak. Terjebak dalam pekerjaan yang tidak memberikan kepuasan atau ruang untuk berkembang dapat memicu perasaan frustrasi, demotivasi, stres kronis, dan pada akhirnya, kelelahan emosional atau burnout.9 Hal ini secara langsung mengancam kesehatan mental, yang sudah menjadi isu signifikan bagi generasi ini, di mana survei menunjukkan 39% Gen Z dan 30% Milenial mengkhawatirkan kesehatan mental mereka.34
Dari sisi finansial, keputusan untuk tidak berpindah kerja sering kali berarti kehilangan potensi kenaikan gaji yang substansial. Secara umum, lompatan gaji terbesar dalam karier seseorang terjadi ketika mereka pindah ke perusahaan baru.8 Dengan memilih untuk tetap tinggal karena takut, mereka secara efektif mengorbankan potensi pendapatan yang lebih tinggi di masa depan.
3.2. Bagi Perusahaan: Stabilitas Semu di Balik Produktivitas yang Melemah dan Inovasi yang Terhambat
Pada pandangan pertama, job hugging tampak menguntungkan bagi perusahaan. Tingkat turnover yang rendah berarti penghematan biaya yang signifikan dalam hal rekrutmen, orientasi, dan pelatihan karyawan baru.1 Selain itu, dengan sedikitnya karyawan yang keluar, tekanan untuk menaikkan upah secara kompetitif untuk menandingi tawaran dari luar juga berkurang.3
Namun, stabilitas ini sering kali bersifat semu dan menutupi masalah yang lebih dalam. Tenaga kerja yang stagnan dan tidak termotivasi dapat menyebabkan penurunan produktivitas secara bertahap. Karyawan yang bertahan bukan karena loyalitas tetapi karena keterpaksaan cenderung hanya melakukan pekerjaan secukupnya untuk tidak dipecat, sebuah perilaku yang dikenal sebagai quiet quitting.47
Lebih berbahaya lagi adalah dampak terhadap inovasi. Inovasi sering kali lahir dari masuknya ide-ide, perspektif, dan pengalaman baru ke dalam organisasi.8 Ketika mobilitas talenta terhenti, aliran darah segar ini juga berhenti, yang dapat menyebabkan perusahaan menjadi kaku, resisten terhadap perubahan, dan kehilangan daya saingnya dalam jangka panjang.50 Fenomena job hugging juga menciptakan "penyumbatan" dalam jalur karier internal; ketika karyawan senior tidak pindah, talenta junior yang berpotensi tinggi menjadi terhalang untuk mendapatkan promosi, yang pada akhirnya dapat memicu frustrasi dan kepergian mereka.3
3.3. Bagi Perekonomian Nasional: Ancaman terhadap Bonus Demografi dan Daya Saing Talenta
Di tingkat makro, implikasi dari job hugging yang meluas sangat mengkhawatirkan, terutama bagi negara seperti Indonesia yang sedang berada di puncak bonus demografi. Bonus demografi, di mana populasi usia produktif (didominasi oleh Gen Z dan Milenial) melebihi populasi usia non-produktif, adalah jendela peluang yang langka untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi.11 Namun, potensi ini hanya dapat direalisasikan jika angkatan kerja tersebut produktif, inovatif, dan memiliki keterampilan yang relevan dengan kebutuhan zaman.57
Job hugging secara massal berisiko menyebabkan stagnasi produktivitas nasional.60 Fenomena ini menciptakan "utang keterampilan" (skills debt) di tingkat nasional. Seperti utang finansial, dampaknya mungkin tidak terasa dalam jangka pendek, tetapi akan jatuh tempo dengan konsekuensi yang berat di masa depan. Setiap tahun seorang pekerja muda "memeluk" pekerjaannya tanpa pengembangan diri, ia mengakumulasi "utang" berupa keterampilan yang tidak dipelajari. Ketika jutaan pekerja melakukan hal yang sama, ini menjadi bom waktu ekonomi. Dalam 5 hingga 10 tahun ke depan, ketika ekonomi global mungkin telah pulih dan tuntutan industri telah bergeser (misalnya, akibat adopsi AI yang masif), Indonesia akan dihadapkan pada kesenjangan yang sangat besar antara keterampilan yang dimiliki angkatan kerjanya dan keterampilan yang dibutuhkan oleh pasar.
Jika tidak dimitigasi, bonus demografi dapat berbalik menjadi bencana demografi, di mana negara dibebani oleh angkatan kerja yang besar namun keterampilannya usang, tidak produktif, dan tidak dapat diserap oleh industri bernilai tambah tinggi. Ini akan meningkatkan angka pengangguran terselubung (disguised unemployment) dan pada akhirnya menghambat visi Indonesia untuk menjadi negara maju.54
Bagian IV: Peta Jalan Aksi: Rekomendasi Strategis untuk Para Pemangku Kepentingan
Mengatasi fenomena job hugging memerlukan pendekatan multi-stakeholder yang terkoordinasi. Tidak ada solusi tunggal; sebaliknya, diperlukan serangkaian intervensi strategis dari individu, perusahaan, pemerintah, dan institusi pendidikan untuk menciptakan ekosistem karier yang lebih tangguh dan dinamis.
Tabel 1: Matriks Rekomendasi Aksi untuk Pemangku Kepentingan
4.1. Untuk Individu (Gen Z & Milenial): Membangun Resiliensi dan Proaktivitas Karier
Meskipun kondisi eksternal sulit, individu tidak sepenuhnya tanpa daya. Mereka dapat mengadopsi strategi "navigasi karier defensif" untuk membangun resiliensi.
Mengadopsi Pendekatan Ganda: Seperti yang disarankan oleh para ahli karier, pendekatan yang paling bijaksana saat ini adalah "memeluk pekerjaan sambil tetap mencari" (job hugging and job searching).6 Ini berarti menggunakan pekerjaan saat ini sebagai jaring pengaman finansial sambil secara proaktif melakukan
upskilling dan reskilling mandiri melalui kursus online, membaca, dan mengikuti seminar. Tetap memantau lowongan pekerjaan dan membangun jaringan profesional akan menjaga mereka tetap terhubung dengan pasar dan siap bergerak ketika peluang yang tepat muncul.Menjadi Intrapreneur: Daripada menunggu peluang dari luar, individu dapat secara aktif mencari atau menciptakan peluang pertumbuhan di dalam organisasi mereka saat ini. Ini bisa berupa mengusulkan proyek-proyek inovatif, menjadi sukarelawan untuk inisiatif lintas-fungsi, atau mencari mentor di dalam perusahaan yang dapat membuka jalan bagi pengembangan keterampilan baru dan visibilitas yang lebih tinggi.
Membangun Jaring Pengaman Holistik: Akar dari job hugging adalah ketakutan finansial. Oleh karena itu, membangun jaring pengaman menjadi sangat penting. Ini melibatkan peningkatan literasi keuangan untuk mengelola pendapatan, utang, dan investasi dengan lebih baik, serta secara disiplin membangun dana darurat.35 Memiliki bantalan finansial yang cukup dapat secara signifikan mengurangi kecemasan dan memberikan kebebasan psikologis untuk membuat keputusan karier yang lebih berani.
4.2. Untuk Perusahaan: Mengubah Job Hugging Menjadi Peluang Retensi Strategis
Perusahaan yang cerdas akan melihat job hugging bukan sebagai tanda kepuasan, tetapi sebagai sinyal kebutuhan karyawan akan keamanan dan pertumbuhan. Ini adalah peluang untuk mengubah retensi pasif menjadi keterlibatan aktif.
Menciptakan Mobilitas Internal yang Terstruktur: Jika karyawan takut untuk keluar, berikan mereka alasan untuk bergerak di dalam. Perusahaan harus secara proaktif merancang dan mempromosikan jalur karier internal yang jelas, program rotasi jabatan, dan proyek-proyek jangka pendek (internal gig projects) yang memungkinkan karyawan mendapatkan pengalaman baru tanpa harus meninggalkan perusahaan.3
Investasi pada Pengembangan dan Kesejahteraan: Anggaran yang dihemat dari penurunan biaya rekrutmen harus dialihkan ke program upskilling dan reskilling yang relevan dengan masa depan industri.67 Laporan LinkedIn menegaskan bahwa 94% karyawan akan bertahan lebih lama di perusahaan jika ada peluang pengembangan yang jelas.66 Selain itu, menyediakan program kesejahteraan holistik—yang mencakup dukungan kesehatan mental dan konseling literasi keuangan—dapat secara langsung mengatasi akar kecemasan yang mendorong
job hugging.66Membangun Budaya Keamanan Psikologis: Karyawan harus merasa aman untuk menyuarakan aspirasi karier, kekhawatiran, atau bahkan ketidakpuasan mereka tanpa takut akan dampak negatif. Ini memerlukan kepemimpinan yang empatik dan implementasi sistem umpan balik yang teratur, konstruktif, dan transparan.66 Ketika karyawan merasa didengar dan dihargai, keterikatan mereka akan meningkat, mengubah retensi yang didasari rasa takut menjadi loyalitas yang didasari rasa percaya.
4.3. Untuk Pemerintah: Kebijakan Publik yang Adaptif untuk Pasar Kerja Masa Depan
Pemerintah memegang peran krusial dalam membentuk kondisi struktural yang dapat mengurangi tekanan pada pekerja muda dan mendorong dinamisme pasar kerja.
Reformasi Program Pelatihan Kerja: Program berskala besar seperti Kartu Prakerja perlu dievaluasi dan didesain ulang secara berkala untuk memastikan kurikulumnya benar-benar selaras dengan kebutuhan industri yang berubah cepat, terutama dalam hal keterampilan digital, analitik data, dan AI.71 Kolaborasi yang lebih erat dengan sektor swasta dalam perancangan modul pelatihan sangat diperlukan.
Insentif untuk Pengembangan Talenta: Pemerintah dapat menciptakan skema insentif, seperti keringanan pajak atau subsidi, bagi perusahaan yang dapat menunjukkan investasi signifikan dalam program pelatihan, sertifikasi, dan pengembangan karier untuk karyawan muda mereka.73 Ini akan mendorong perusahaan untuk melihat karyawan bukan sebagai biaya, tetapi sebagai aset yang perlu dikembangkan.
Penguatan Jaring Pengaman Sosial: Salah satu alasan utama ketakutan untuk pindah kerja adalah risiko kehilangan pendapatan. Penguatan jaring pengaman sosial, seperti skema asuransi kehilangan pekerjaan yang lebih robust atau bantuan transisi karier, dapat secara signifikan mengurangi risiko finansial ini. Dengan adanya bantalan pengaman, pekerja akan lebih berani untuk mengambil risiko yang diperhitungkan, yang pada akhirnya mendorong mobilitas tenaga kerja yang sehat dan alokasi talenta yang lebih efisien dalam perekonomian.
4.4. Untuk Institusi Pendidikan (Universitas): Menjembatani Kesenjangan Antara Dunia Akademis dan Realitas Kerja
Universitas berada di garis depan dalam membentuk angkatan kerja masa depan. Mereka harus beradaptasi untuk mempersiapkan lulusan yang tidak hanya cerdas secara akademis tetapi juga tangguh dan adaptif.
Kurikulum yang Relevan dan Holistik: Kurikulum universitas harus bergerak melampaui pengetahuan teoretis. Integrasi soft skills (komunikasi, pemecahan masalah, kerja tim), literasi digital, dasar-dasar kewirausahaan, dan literasi keuangan harus menjadi bagian inti dari semua program studi, bukan sekadar mata kuliah pilihan.75 Pembelajaran berbasis proyek dan studi kasus nyata dari industri akan memberikan pengalaman praktis yang sangat berharga.
Revitalisasi Peran Pusat Karier: Pusat karier di universitas harus bertransformasi dari sekadar penyedia informasi lowongan kerja menjadi mitra perencanaan karier strategis bagi mahasiswa.76 Layanan ini harus dimulai sejak tahun pertama, mencakup konseling karier yang dipersonalisasi, tes minat dan bakat, simulasi wawancara, lokakarya penulisan CV, dan program
mentorship yang menghubungkan mahasiswa dengan alumni yang sudah sukses di bidangnya.Memperkuat Kemitraan dengan Industri: Program magang harus menjadi komponen wajib yang terstruktur, terawasi, dan dinilai dengan baik untuk memastikan mahasiswa mendapatkan pengalaman kerja yang bermakna, bukan hanya tugas-tugas administratif.75 Kemitraan yang lebih dalam dengan industri juga dapat berbentuk proyek penelitian bersama, kuliah tamu dari para praktisi, dan
job fair yang lebih terkurasi.
Kesimpulan: Menuju Ekosistem Karier yang Tangguh dan Berkelanjutan
Fenomena job hugging di kalangan Generasi Z dan Milenial Indonesia adalah lebih dari sekadar tren pasar kerja; ini adalah sinyal peringatan yang jelas mengenai kerapuhan struktural dan psikologis yang dihadapi oleh angkatan kerja muda. Didorong oleh badai sempurna ketidakpastian ekonomi, tekanan finansial yang unik, warisan budaya, dan kecemasan individu, perilaku bertahan di pekerjaan yang tidak memuaskan ini merupakan strategi koping jangka pendek yang mengancam vitalitas jangka panjang baik bagi individu, perusahaan, maupun bangsa. Mengabaikan sinyal ini berarti berisiko menyia-nyiakan potensi bonus demografi yang krusial bagi masa depan Indonesia.
Solusinya tidak terletak pada satu entitas tunggal. Diperlukan sebuah tindakan kolektif dan terkoordinasi dari semua pemangku kepentingan. Individu harus beralih dari sikap pasif ke proaktif dalam mengelola karier mereka. Perusahaan harus melihat melampaui keuntungan jangka pendek dari turnover rendah dan berinvestasi secara tulus pada pertumbuhan dan kesejahteraan talenta internal mereka. Pemerintah harus menciptakan kebijakan yang berfungsi sebagai jaring pengaman dan akselerator keterampilan. Sementara itu, institusi pendidikan harus mereformasi diri untuk menghasilkan lulusan yang siap menghadapi realitas dunia kerja yang volatil.
Visi ke depan bukanlah untuk kembali ke era job hopping yang tidak terkendali, melainkan untuk membangun sebuah ekosistem karier baru yang didasarkan pada prinsip "mobilitas yang aman" (secure mobility). Sebuah ekosistem di mana stabilitas finansial dan keamanan psikologis dapat berjalan beriringan dengan pertumbuhan karier yang dinamis, pembelajaran seumur hidup, dan inovasi yang berkelanjutan. Hanya dengan upaya kolaboratif, Indonesia dapat mengubah tantangan job hugging menjadi peluang untuk membangun angkatan kerja yang lebih tangguh, adaptif, dan siap membawa negara menuju masa depan yang lebih sejahtera.
Daftar Pustaka
Fenomena Job Hugging, Tren di Kalangan Pekerja Belakangan Ini | kumparan.com, https://kumparan.com/berita-hari-ini/fenomena-job-hugging-tren-di-kalangan-pekerja-belakangan-ini-25os5pkSSvN
Alasan Job Hugging Jadi Tren di 2025, Benarkah Tanda Pasar Kerja Sedang Lesu?, https://lifestyle.viva.co.id/cuan/5543-alasan-job-hugging-jadi-tren-di-2025-benarkah-tanda-pasar-kerja-sedang-lesu
'Job Hugging,' for Dear Life - Korn Ferry, https://www.kornferry.com/insights/this-week-in-leadership/job-hugging-for-dear-life
Fresh Graduate Sulit Cari Kerja? Ini 7 Faktanya di Masa Kini | IDN Times, https://www.idntimes.com/life/career/7-fakta-cari-kerja-di-masa-kini-c1c2-01-khxrn-68v4tn
Apa Itu Fenomena Job Hugging yang Tren di Pekerja Milenial dan Gen Z | IDN Times, https://www.idntimes.com/life/career/apa-itu-fenomena-job-hugging-c1c2-01-7nxh4-k7fp05
Ask a Career Advisor: What Is Job Hugging? - iHire, https://www.ihire.com/resourcecenter/jobseeker/pages/ask-a-career-advisor-what-is-job-hugging
Fenomena Job Hugging, Rela Karier Mandek Demi Bertahan Hidup, https://www.metrotvnews.com/play/K5nC7Za9-fenomena-job-hugging-rela-karier-mandek-demi-bertahan-hidup
What Is Job Hugging? The Latest Trend in Career Stagnation. | Entrepreneur, https://www.entrepreneur.com/business-news/what-is-job-hugging-the-latest-trend-in-career-stagnation/496031
Fenomena Job Hugging di Kalangan Generasi Muda Halaman 1 ..., https://www.kompasiana.com/amp/muharikaadi/68c2fbd3ed64156fab0951c4/fenomena-job-hugging-di-kalangan-generasi-muda
(PDF) Retensi Karyawan Generasi Y dan Z: Pentingnya Manajemen Talenta dan Kepuasan Kerja - ResearchGate, https://www.researchgate.net/publication/381377161_Retensi_Karyawan_Generasi_Y_dan_Z_Pentingnya_Manajemen_Talenta_dan_Kepuasan_Kerja
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki angkatan kerja dalam jumlah yang sangat besar. Laporan Badan Pusat S - Repository Unja, https://repository.unja.ac.id/73992/5/BAB%201.pdf
Angkatan Kerja Produktif Melimpah - Kementerian Komunikasi dan Digital, https://www.komdigi.go.id/berita/artikel/detail/angkatan-kerja-produktif-melimpah
PENGARUH WORK LIFE BALANCE TERHADAP LOYALITAS KARYAWAN PADA GENERASI Z DI KOTA BANDUNG | Journal of Innovation Research and Knowledge - Bajang Institute, https://bajangjournal.com/index.php/JIRK/article/view/8388
Analisa Pengaruh Quality of Work Life dan Job Satisfaction Terhadap Turnover Intention Pada Karyawan Generasi Millennials di Dae - KC UMN, https://kc.umn.ac.id/22824/3/BAB_I.pdf
Loyalitas Gen Z dan Milenial Rendah, Perusahaan Perlu Lakukan Manajemen Turnover, https://www.blj.co.id/index.php/2024/12/30/loyalitas-gen-z-dan-milenial-rendah-perusahaan-perlu-lakukan-manajemen-turnover/
(PDF) MILLENIALS EMPLOYEE TURNOVER INTENTION IN INDONESIA - ResearchGate, https://www.researchgate.net/publication/328417195_MILLENIALS_EMPLOYEE_TURNOVER_INTENTION_IN_INDONESIA
Mengungkap Fenomena Turnover pada Generasi Y di Indonesia: Sebuah Kajian Literatur | Flourishing Journal - Jurnal 3 Universitas Negeri Malang, https://journal3.um.ac.id/index.php/psi/article/view/3751
faktor penentu turnover intention : studi kasus lingkungan kerja, beban kerja, https://journal.stiemb.ac.id/index.php/mea/article/download/4695/2069/
Indonesian Research Journal on Education, https://irje.org/irje/article/download/1002/764/4478
Indonesia Hopes and Fears 2024 - PwC, https://www.pwc.com/id/en/pwc-publications/services-publications/consulting/indonesia-hopes-and-fears-2024.html
Tingkat Kekhawatiran Gen Z atas Keuangan Pensiun Orang Tua dan Strategi Kebebasan Finansial, https://journal.areai.or.id/index.php/MENAWAN/article/download/1276/1558/6675
Kenapa PNS Masih Jadi Primadona Generasi Muda Indonesia di ..., https://news.indozone.id/sorotan/915026881/kenapa-pns-masih-jadi-primadona-generasi-muda-indonesia-di-tengah-banyaknya-pilihan-karier
Kenapa PNS Masih Jadi Pilihan Utama Generasi Muda Indonesia? - Narasi Tv, https://narasi.tv/read/narasi-daily/kenapa-pns-banyak-peminatnya
Budaya Kerja PNS | PDF | Perjalanan | Seni - Scribd, https://id.scribd.com/document/378942515/Budaya-Kerja-PNS
PERSEPSI ORANG TUA TERHADAP PERKEMBANGAN KARIR ANAK PADA JENJANG SMP DI WILAYAH PRINGGOLAYAN KELURAHAN TIPES, SERENGAN, SURAKART, https://ejurnal.unisri.ac.id/index.php/mdk/article/view/6883/4674
PERAN ORANG TUA DALAM PERENCANAAN KARIR REMAJA DI KORONG PADANG BUKIT NAGARI LUBUK PANDAN KABUPATEN PADANG PARIAMAN SKRIPSI Diaj, http://repository.uin-suska.ac.id/61084/2/GABUNGAN%20SKRIPSI%20KECUALI%20BAB%20V.pdf
Bagaimana Peran Orangtua Mempengaruhi Pilihan Karir Mahasiswa? dari Perpektif Roe's Personality Theory - Universitas Nusantara PGRI Kediri, https://ojs.unpkediri.ac.id/index.php/efektor/article/download/23246/4415/59609
Hubungan Antara Persepsi Harapan Orangtua Dengan Kematangan Karir Pada Siswa Kelas XII SMA Negeri 3 Unggulan Kayuagung | Zahrani - JURNAL P3K (PENELITIAN PENDIDIKAN, PSIKOLOGI DAN KESEHATAN), https://jurnalp3k.com/index.php/J-P3K/article/view/284
PENGARUH KEPEMIMPINAN PATERNALITIK DAN KOMPENSASI TERHADAP KINERJA KARYAWAN DENGAN MOTIVASI SEBAGAI VARIABEL INTERVENING PADA CV - etheses UIN, http://etheses.uin-malang.ac.id/73996/2/210501110119.pdf
Birokrat Melawan: Mempertahankan Integritas di Tengah Budaya Paternalistik (Studi Kasus di Pemerintah Kota Tegal) - KPK, https://jurnal.kpk.go.id/index.php/integritas/article/download/153/51/534
Jurnal Bisnis dan Kajian Strategi Manajemen PENGARUH BUDAYA PATERNALISTIK TERHADAP KEEFEKTIFAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DALAM, https://jurnal.utu.ac.id/jbkan/article/viewFile/2553/1714
JIMEA | Jurnal Ilmiah MEA (Manajemen, Ekonomi, dan Akuntansi) - KEPEMIMPINAN PATERNALISTIK DAN KEPEMIMPINAN MELAYANI TERHADAP KEPUASAN KERJA DAN KOMITMEN ORGANISASI, https://journal.stiemb.ac.id/index.php/mea/article/download/3339/1527/
'Job Hugging' Trend Emerges as Workers Confront AI Uncertainty - TechRepublic, https://www.techrepublic.com/article/news-job-hugging-trend/
Masalah Keuangan hingga Hubungan Jadi Pemicu Stres Buat Gen Z dan Milenial, https://databoks.katadata.co.id/demografi/statistik/91937c68e97fdf3/masalah-keuangan-hingga-hubungan-jadi-pemicu-stres-buat-gen-z-dan-milenial
Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia 2021 - 2025 - OJK, https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/publikasi/Documents/Pages/Strategi-Nasional-Literasi-Keuangan-Indonesia-2021-2025/STRATEGI%20NASIONAL%20LITERASI%20KEUANGAN%20INDONESIA%20%28SNLKI%29%202021%20-%202025.pdf
JIMEA | Jurnal Ilmiah MEA (Manajemen, Ekonomi, dan Akuntansi) FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI FINANCIAL WELLBEING GENERASI Z BE, https://journal.stiemb.ac.id/index.php/mea/article/download/4899/2174/
Penyebab dan Cara Mengatasi Financial Anxiety - DBS Bank, https://www.dbs.id/digibank/id/id/articles/penyebab-dan-cara-mengatasi-financial-anxiety
Investor Muda Mendominasi Pasar Modal: FoMO Investasi Berdampak Negatif atau Positif?, https://sites.unnes.ac.id/kimefe/2023/10/investor-muda-mendominasi-pasar-modal-fomo-investasi-berdampak-negatif-atau-positif/
Analysis Paralysis: A Five-Step Method to Move Through Decision Dilemmas, https://www.ncbar.gov/for-lawyers/pathways-to-well-being/analysis-paralysis-a-five-step-method-to-move-through-decision-dilemmas/
Apa Itu Career Paralysis dan Dampaknya bagi Karier - LinovHR, https://www.linovhr.com/apa-itu-career-paralysis-dan-dampaknya-kerja/
Bukan Plin-Plan, Bisa Jadi Kamu Alami Analysis Paralysis - Citizen6 Liputan6.com, https://www.liputan6.com/citizen6/read/5698531/bukan-plin-plan-bisa-jadi-kamu-alami-analysis-paralysis
Ketahui Apa Itu Analysis Paralysis, Banyak Analisa Tanpa Langkah Nyata! - Bobobox, https://bobobox.com/blog/ketahui-apa-itu-analysis-paralysis/
Fenomena Impostor Syndrome di Kalangan Pekerja Muda, Apa Dampaknya bagi Kesehatan Mental? - YouTube, https://www.youtube.com/shorts/Q8EU4CWfdu8
Fenomena Impostor Syndrome di Kalangan Pekerja Muda, Apa ..., https://health.kompas.com/read/25G21153722068/fenomena-impostor-syndrome-di-kalangan-pekerja-muda-apa-dampaknya-bagi-kesehatan
Impostor syndrome pada mahasiswa peserta program kampus merdeka - Universitas Muhammadiyah Surakarta, https://eprints.ums.ac.id/112919/1/naspub%20perpus%201.pdf
Pelatihan Mengelola Impostor Phenomenon pada Orang Muda Afiliasi Kolektif, https://journal.univpancasila.ac.id/index.php/Devotion/article/download/4573/2327/19747
the-routledge-handbook-of-ai-and-literature-9781040253724-9781032186948-9781032186962-9781003255789 | PDF | Artificial Intelligence - Scribd, https://www.scribd.com/document/857781212/the-routledge-handbook-of-ai-and-literature-9781040253724-9781032186948-9781032186962-9781003255789
Hubungan Antara Kinerja, Inovasi, Manajemen Laba dan Nilai Perusahaan - Universitas Airlangga Official Website, https://unair.ac.id/hubungan-antara-kinerja-inovasi-manajemen-laba-dan-nilai-perusahaan/
DIGITALISASI INDUSTRI DAN PENGARUHNYA TERHADAP KETENAGAKERJAAN DAN HUBUNGAN KERJA DI INDONESIA INDUSTRIAL DIGITALIZATION AND, https://jkh.unram.ac.id/index.php/jkh/article/download/49/36/84
Literature Review: Pengembangan Karir Yang Efektif Di Era 4.0, https://jurnaluniv45sby.ac.id/index.php/jmcbus/article/download/2647/2300/8422
Pengaruh Employer Branding terhadap Retensi Pegawai dengan Job Satisfaction, Organizational Identification serta Career Developm - UI Scholars Hub, https://scholarhub.ui.ac.id/cgi/viewcontent.cgi?article=1090&context=jmui
Hubungan Society 5.0 Dengan Industry 4.0 - LPKIA Bandung, https://lpkia.ac.id/hubungan-society-5-0-dengan-industry-4-0/
Hubungan Investor: Laporan Direksi - PT AirAsia Indonesia Tbk, https://ir-id.aaid.co.id/bod_report.html
Bonus Demografi, Akselerasi Ekonomi, dan Peran Pemuda - BaKTINews, https://baktinews.bakti.or.id/artikel/bonus-demografi-akselerasi-ekonomi-dan-peran-pemuda
Menyiapkan Talenta Muda dalam Menghadapi Dampak Bonus Demografi 2030: Perspektif Kebutuhan Manusia dalam Islam - Kompasiana.com, https://www.kompasiana.com/ahmad09859/665d114ec925c46fe50dd732/menyiapkan-talenta-muda-dalam-menghadapi-dampak-bonus-demografi-2030-perspektif-kebutuhan-manusia-dalam-islam
Mengenal bonus demografi, manfaat dan tantangannya - ANTARA News, https://www.antaranews.com/berita/4790621/mengenal-bonus-demografi-manfaat-dan-tantangannya
Dampak Toxic Relationship terhadap Talenta Muda Menjelang Era Bonus Demografi 2030 Halaman 1 - Kompasiana.com, https://www.kompasiana.com/ahmad09859/6655f1d7c925c47d183bdbe3/dampak-toxic-relationship-terhadap-talenta-muda-menjelang-era-bonus-demografi-2030
Meningkatkan Talenta Muda Menyongsong Era Bonus Demografi 2030: Implementasi Prinsip "Apabila Telah Selesai Satu Urusan, Kerjakanlah Urusan Lain" - media dosen indonesia, https://mediadosen.id/meningkatkan-talenta-muda-menyongsong-era-bonus-demografi-2030-implementasi-prinsip-apabila-telah-selesai-satu-urusan-kerjakanlah-urusan-lain/
Paradoks Bonus Demografi dan Ancaman Migrasi Talenta - KOMPAS.com, https://nasional.kompas.com/read/2025/04/21/11162961/paradoks-bonus-demografi-dan-ancaman-migrasi-talenta
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam era globalisasi ini, peran tenaga kerja muda memiliki kontribusi signifikan dalam m, http://scholar.unand.ac.id/492723/2/BAB%20I.pdf
Rendahnya Produktivitas Tenaga Kerja di Indonesia Sehingga Menghambat Pertumbuhan Ekonomi Halaman 1 - Kompasiana.com, https://www.kompasiana.com/nuliaputrierayani2492/64511b834addee19b87b0663/rendahnya-produktivitas-tenaga-kerja-di-indonesia-sehingga-menghambat-pertumbuhan-ekonomi
Pensiun 59 tahun, optimalisasi produktivitas vs dilema generasi, https://kalbar.antaranews.com/amp/berita/616858/pensiun-59-tahun-optimalisasi-produktivitas-vs-dilema-generasi
Jurnal Kebijakan Ekonomi dan Keuangan Sosiodemografis dan rata-rata produktivitas tenaga kerja di Indonesia - Journal UII, https://journal.uii.ac.id/JKEK/article/download/36281/17189/121033
REVIEW RENCANA TENAGA KERJA NASIONAL 2020-2024 - satu data ketenagakerjaan, https://satudata.kemnaker.go.id/satudata-public/2022/04/files/publikasi/1649938621648_Buku%2520Review%2520RTKN_2020_2024.pdf
Fenomena Resign Massal dan Pengangguran Terselubung di Kalangan Gen Z: Tinajuan Ekonomi Publik di Indonesia - PUBLIKASI POLITEKNIK KAMPAR RIAU, https://e-journal.poltek-kampar.ac.id/index.php/MASIP/article/download/1064/1053/4415
Mau Karyawan Betah di 2025? Jangan Abaikan Strategi Ini - Insight Group Indonesia, https://www.insightgroup.co.id/2025/02/18/mau-karyawan-betah-di-2025-jangan-abaikan-strategi-ini/
Retensi Talenta Gen Z: Strategi Efektif untuk Perusahaan Anda - Konsultan Human Capital, https://psychehumanus.id/retensi-talenta-gen-z/
Strategi Manajemen Talenta dalam Mempertahankan Generasi Milenial, https://bpmbkm.uma.ac.id/2024/05/27/strategi-manajemen-talenta-dalam-mempertahankan-generasi-milenial/
Cara Menarik dan Meretensi Karyawan Gen Z yang Tepat - Talenta, https://www.talenta.co/blog/cara-meretensi-karyawan-gen-z/
Strategi Employee Retention Pertahankan Kutu Loncat - Blog Gadjian, https://www.gadjian.com/blog/2022/10/05/strategi-employee-retention/
Pasar Kerja Kompetitif : Realita yang Harus Dihadapi Generasi Muda - Kompasiana.com, https://www.kompasiana.com/mitanramln/686a2a6b34777c6bca59afe2/pasar-kerja-kompetitif-realita-yang-harus-dihadapi-generasi-muda
Setumpuk PR Pemerintah Jika Ingin Gen Z di RI Bebas Pengangguran - CNN Indonesia, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20240530064025-85-1103584/setumpuk-pr-pemerintah-jika-ingin-gen-z-di-ri-bebas-pengangguran
PERAN PEMERINTAH DALAM MENGATASI PENGANGGURAN DAN KEMISKINAN DALAM MASYARAKAT | Mulyadi | Kajian - Jurnal DPR RI, https://jurnal.dpr.go.id/index.php/kajian/article/view/776
Kemenko PMK Dorong Penguatan Peran Pemuda dalam Menekan Pengangguran dan Meningkatkan Kewirausahaan | Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, https://www.kemenkopmk.go.id/kemenko-pmk-dorong-penguatan-peran-pemuda-dalam-menekan-pengangguran-dan-meningkatkan-kewirausahaan
Peran Universitas dalam Mempersiapkan Mahasiswa Menghadapi Dunia Kerja, https://baraka.uma.ac.id/peran-universitas-dalam-mempersiapkan-mahasiswa-menghadapi-dunia-kerja/
Pengembangan Layanan Pusat Karir sebagai Strategi Membentuk Karakter yang Tangguh dalam Membangun Perencanaan Karir Mahasiswa Di - Iptek ITS, https://iptek.its.ac.id/index.php/jps/article/download/4433/3171
Komentar
Posting Komentar