Langsung ke konten utama

5 Gagasan Mengejutkan Tan Malaka dari Balik Penjara yang Mengubah Cara Kita Memandang Revolusi

 

1. Pendahuluan: Membaca Ulang Pemikiran Sang Bapak Republik yang Terlupakan

“Sudah kepinggir kita terdesak!” Dengan seruan darurat inilah Tan Malaka membuka mahakaryanya, Gerpolek. Ditulis tergesa-gesa dari balik empat tembok batu penjara di Madiun pada tahun 1948, tanpa akses ke perpustakaan, karya ini bukanlah sebuah risalah akademis yang tenang. Ia adalah teriakan putus asa dari seorang pemikir revolusioner yang menyaksikan “Kapal Negara, yang sedang terancam karam itu” dihantam gelombang dari segala arah. Bagi Tan Malaka, revolusi berada di ambang kehancuran, dan Gerpolek adalah upaya terakhirnya untuk melemparkan pelampung—sebuah kerangka berpikir radikal untuk menyelamatkan perjuangan.

Tan Malaka adalah sosok paradoksal: seorang pahlawan nasional yang namanya dikenal luas, namun pemikirannya yang mendalam sering kali terkubur di bawah label-label sederhana. Di dalam Gerpolek (singkatan dari Gerilya, Politik, Ekonomi), terkandung gagasan-gagasan yang pada masanya bersifat kontra-intuitif dan bahkan kini terasa mengejutkan. Ia bukanlah sekadar manual perang gerilya, melainkan kritik pedas, analisis strategis, dan visi filosofis tentang arti sejati kemerdekaan. Tulisan ini akan menyaring lima ide paling berdampak dari mahakarya tersebut, yang secara fundamental menantang narasi umum tentang perjuangan kemerdekaan dan memaksa kita untuk bertanya kembali: apa sebenarnya tujuan revolusi itu?

2. Poin #1: Diplomasi Bukan Kemenangan, Melainkan Musim Kehancuran

Salah satu argumen paling provokatif Tan Malaka adalah pembagian revolusi menjadi dua “musim” yang saling bertolak belakang. Analisis ini secara brutal meruntuhkan narasi bahwa jalur diplomasi adalah sebuah kemajuan atau kemenangan bagi Republik Indonesia.

Pertama, ia mendeskripsikan “Musim Jaya Bertempur” (17 Agustus 1945 - 17 Maret 1946). Periode ini ditandai oleh semangat perlawanan total melalui aksi massa. Seluruh wilayah, populasi, dan sumber daya ekonomi modern 100% berada di tangan Republik. Titik baliknya, menurut Tan Malaka, adalah peristiwa PENANGKAPAN para pemimpin Persatuan Perjuangan di Madiun, sebuah faksi militan anti-diplomasi. Baginya, tindakan ini—yang ia sebut dilakukan atas desakan Inggris-Belanda—menandai berakhirnya diplomasi “bambu runcing” dan dimulainya era penyerahan diri.

Kontrasnya begitu tajam dengan periode kedua, “Musim Runtuh Berdiplomasi” (17 Maret 1946 - 17 Mei 1948). Tan Malaka menyajikan sebuah “neraca” atau perhitungan kerugian yang katastrofis akibat jalan perundingan yang berujung pada Perjanjian Linggarjati dan Renville. Populasinya merosot drastis dari 70 juta jiwa, menjadi potensi 50 juta setelah Linggarjati, hingga akhirnya hanya tersisa 23 juta jiwa pasca-Renville. Wilayah yang dikuasai runtuh dari 100% menjadi, setelah Renville, “belum lagi lebih dari 2% dari pada seluruhnya Tanah dan Lautan Indonesia.” Yang paling fatal, seluruh aset ekonomi modern dikembalikan ke tangan asing.

Inilah hasilnya lebih dari pada dua tahun berunding!

Lenyaplah sudah persatuan Rakyat untuk menentang kapitalisme-imperialisme! Lepaslah sebagian besar daerah Indonesia ke bawah kekuasaan musuh. Kembalilah sebagian besar bangsa Indonesia ke bawah pemerasan-tindasan Belanda.

Gagasan ini sangat mengejutkan karena memaksa kita untuk melihat diplomasi bukan sebagai jalan damai yang mulia, melainkan sebagai sebuah strategi yang, dalam konteks itu, justru melumpuhkan kekuatan revolusi dari dalam. Analisis kuantitatifnya yang tajam menunjukkan bahwa “jalan damai” tidak selalu menjadi pilihan terbaik, terutama saat berhadapan dengan kekuatan kolonial yang menggunakan perundingan sebagai taktik untuk merebut kembali apa yang telah hilang.

3. Poin #2: Kemerdekaan Sejati = 100% Politik + 60% Ekonomi

Bagi Tan Malaka, Revolusi Indonesia bukanlah sekadar revolusi nasional yang bertujuan mengganti penguasa. Ia menegaskan bahwa revolusi ini pada hakikatnya adalah sebuah revolusi sosial. Tujuannya bukan hanya mengusir penjajah, tetapi merombak struktur masyarakat secara fundamental demi “Kaum Murba” (rakyat jelata).

Ia berargumen bahwa kemerdekaan politik—yang ia gambarkan sebagai sekadar “menukar pemerintahannya orang berkulit putih dengan Pemerintah orang berkulit coklat”—tidak akan berarti apa-apa. Kemerdekaan seperti itu akan menjadi hampa jika 100% aset ekonomi modern seperti perkebunan, tambang, pabrik, dan bank tetap berada di tangan modal asing. Tanpa kedaulatan ekonomi, pemerintah pribumi hanya akan menjadi boneka bagi kepentingan kapitalisme internasional. Untuk itu, Tan Malaka menawarkan sebuah formula konkret: kemerdekaan sejati hanya terjamin jika bangsa Indonesia menguasai minimal 60% ekonomi modern, di samping 100% kedaulatan politik.

Ini bukanlah angka fantasi. Tan Malaka berpendapat bahwa karena Belanda adalah agresor, Republik Indonesia memiliki hak penuh di bawah hukum internasional untuk “MENYITA” semua aset Belanda tanpa ganti rugi. Ini adalah sebuah “kesempatan bagus yang seolah-olah jatuh dari langit” yang dihadiahkan oleh agresi Belanda itu sendiri—sebuah strategi radikal-legal untuk merebut kembali kekayaan bangsa.

Ringkasnya KEMERDEKAAN NASIONAL saja, KEMERDEKAAN POLITIK saja, belum lagi berarti apa-apa buat Murba Indonesia, yakni buruh, tani dan Rakyat-Jembel Indonesia.

Gagasan ini secara radikal mendefinisikan ulang tujuan akhir revolusi. Perjuangan bukan lagi sebatas pengibaran bendera, melainkan tentang penguasaan alat-alat produksi demi keadilan sosial. Pemikiran ini tetap sangat relevan hingga hari ini, di tengah perdebatan tentang neokolonialisme, utang luar negeri, dan ketergantungan ekonomi yang masih membelenggu banyak negara pasca-kolonial.

4. Poin #3: "Sang Gerilya"—Pejuang yang Sekaligus Pembangun Masyarakat

Citra pejuang gerilya sering kali terbatas pada figur bersenjata yang ahli dalam taktik militer. Namun, Tan Malaka menyajikan visi yang jauh lebih utuh dan mendalam tentang sosok pejuang ideal yang ia sebut “Sang Gerilya”.

Bagi Tan Malaka, “Sang Gerilya” adalah perwujudan hidup dari prinsip GERPOLEK (Gerilya, Politik, Ekonomi). Ia bukan sekadar prajurit, melainkan seorang pemimpin holistik. Peran-peran non-militer Sang Gerilya inilah yang membuatnya menjadi senjata revolusioner yang sesungguhnya. Ia tidak hanya bertempur secara fisik, tetapi juga mengobarkan perang ideologi dan ekonomi. Mendirikan koperasi bukan sekadar program sosial; itu adalah senjata utama dalam Perang Ekonomi untuk melawan struktur kapitalis musuh. Memberantas buta huruf adalah serangan langsung terhadap fondasi kolonialisme, karena ia tahu bahwa “kebodohan dan kegelapan adalah temannya kapitalisme-imperialisme.”

Lebih dari itu, Sang Gerilya menyatu sepenuhnya dengan masyarakat lokal, “berlaku seperti adik kepada yang lebih tua dan sebagai kakak atau bapak terhadap yang lebih muda.” Senjata terbesarnya, pada akhirnya, bukanlah senapan, melainkan kepercayaan dan dukungan aktif dari rakyat yang ia layani dan bangun.

SANG GERILYA, adalah seorang Putera/Puteri, seorang Pemuda/Pemudi, seorang Murba/Murbi Indonesia, yang taat-setia kepada PROKLAMASI dan KEMERDEKAAN 100 % dengan menghancurkan SIAPA SAJA yang memusuhi Proklamasi serta kemerdekaan 100 %.

Visi ini menyajikan sebuah model kepemimpinan revolusioner yang berakar pada pelayanan, pembangunan komunitas, dan pemberdayaan rakyat. “Sang Gerilya” tidak datang untuk memimpin dari atas, melainkan untuk hidup, bekerja, dan berjuang bersama rakyat—menjadikan revolusi sebagai milik semua orang.

5. Poin #4: Peringatan Dini tentang PBB—Jangan Berharap pada Dunia Internasional

Pada saat banyak tokoh bangsa menaruh harapan besar pada lembaga internasional yang baru lahir seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNO/PBB), Tan Malaka justru menyuarakan skeptisisme yang luar biasa tajam. Ia memberikan peringatan dini agar bangsa Indonesia tidak menggantungkan nasibnya pada belas kasihan dunia.

Tan Malaka berargumen bahwa organisasi seperti PBB pada dasarnya didominasi oleh kepentingan negara-negara imperialis dan kolonial. Ia melihatnya sebagai arena kontradiksi yang penuh kemunafikan, bukan sebagai wasit keadilan yang tulus. Dengan analisis yang jernih, ia menunjuk bagaimana negara-negara seperti Inggris dan Amerika Serikat secara aktif membantu agresi Belanda—dengan mengirimkan pasukan, senjata, dan uang—sambil “berkata manis” tentang hak suatu bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri.

Baginya, mengandalkan PBB adalah sebuah ilusi berbahaya. Pesan utamanya sangat jelas: kemerdekaan Indonesia hanya bisa direbut dan dipertahankan oleh kekuatan sendiri, yaitu “kekuatan yang tersembunyi dalam tanah dan 70 juta Rakyat Indonesia”. Kemerdekaan sejati tidak akan pernah dihadiahkan oleh pihak luar; ia harus diperjuangkan hingga tetes darah penghabisan.

Ringkasnya: dengan bambu-runcing, granat, karabin, mitraliyur, mortir dan BOTOL API berapapun lamanya, dan berapapun sukarnya, akhirnya akan sanggup menegakkan kemerdekaan 100 %, baik dengan UNO atau tanpa UNO!!!

Peringatan ini terasa begitu relevan bahkan puluhan tahun kemudian. Ia menjadi pengingat abadi tentang realpolitik global dan pentingnya kemandirian nasional dalam menghadapi dinamika kekuatan dunia yang sering kali tidak berpihak pada yang lemah.

6. Poin #5: Diplomasi Serigala dan Gagak—Alegori Tajam tentang Perundingan

Sebagai penutup analisisnya, Tan Malaka tidak menggunakan argumen politik yang kering, melainkan sebuah fabel kuno yang sederhana namun menusuk: kisah “Gagak dan Serigala”. Alegori ini berfungsi sebagai kritik paling pedasnya terhadap strategi diplomasi yang dijalankan oleh para pemimpin Republik.

Dalam kisah itu, seekor serigala licik melihat seekor gagak hinggap di dahan pohon dengan sepotong dendeng di paruhnya. Karena tidak bisa menggapainya, serigala itu pun memakai muslihat. Ia memuji-muji gagak, mengatakan betapa cantik bulunya dan betapa ia ingin mendengar suara merdunya. Gagak yang sombong dan naif itu pun termakan bujuk rayu. Ia membuka paruhnya untuk bernyanyi, dan seketika dendeng yang berharga itu jatuh ke tanah, langsung disantap oleh serigala.

Penafsiran Tan Malaka sangat lugas: serigala adalah diplomat Belanda yang licik, sementara gagak adalah pihak Indonesia yang naif dan angkuh (pelagak), yang terlalu mudah terbuai oleh sanjungan dan pengakuan semu, sehingga tanpa sadar melepaskan “dendeng” miliknya—kedaulatan, wilayah, dan sumber daya ekonomi.

Camkanlah arti yang dalam dari pada Diplomasi-Serigala-Licik itu dengan Gagak-Pelagak (vain iydel) itu!!! Mungkin boleh sambil ibaratnya buat menafsirkan Diplomasi Indonesia-Belanda sampai sekarang!!!

Penggunaan fabel ini menunjukkan kecerdasan Tan Malaka dalam menyederhanakan kritik politik yang kompleks menjadi sebuah pelajaran yang kuat, abadi, dan mudah diingat. Ini adalah peringatan tentang bahaya kesombongan, kenaifan, dan pentingnya kewaspadaan dalam menghadapi musuh yang licik di meja perundingan.

7. Penutup: Api Gerpolek yang Masih Menyala

Gerpolek lebih dari sekadar catatan sejarah dari balik penjara. Ia adalah sebuah kerangka kerja radikal untuk memahami apa arti kemerdekaan yang sesungguhnya. Lima gagasan yang diuraikan di atas—analisis “dua musim” revolusi, syarat kemerdekaan ekonomi 60%, visi holistik “Sang Gerilya”, skeptisisme terhadap institusi internasional, dan alegori tajam tentang diplomasi—menunjukkan kedalaman pemikiran Tan Malaka yang melampaui zamannya.

Karya ini menantang kita untuk tidak pernah puas dengan kemerdekaan yang hanya bersifat seremonial. Ia menuntut kita untuk terus-menerus menguji apakah kedaulatan politik yang kita miliki telah diimbangi dengan kedaulatan ekonomi dan keadilan sosial yang nyata bagi seluruh rakyat. Api pemikiran Tan Malaka tidak pernah padam; ia terus menyala, mengajak setiap generasi untuk merefleksikan kembali perjuangan bangsanya.

Lebih dari 75 tahun setelah Gerpolek ditulis, sejauh mana cita-cita kemerdekaan 100%—secara politik dan ekonomi—yang digagas Tan Malaka telah kita capai sebagai sebuah bangsa?


Zlamitan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menempa Akal untuk Mengubah Dunia dengan Panduan Berpikir Kritis ala Madilog

Pendahuluan: Lahirnya Sebuah Alat Berpikir Pada pertengahan tahun 1942, di tengah suasana politik yang membara di bawah pendudukan Jepang, seorang buronan revolusioner bernama Tan Malaka memulai sebuah proyek intelektual yang ambisius. Dalam kesendirian dan persembunyiannya di Rawajati, Jakarta, ia merenungkan sebuah pertanyaan mendasar: dari mana seorang pejuang harus memulai? Di tengah gegap gempita perubahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, ia tidak memilih menulis pamflet politik yang membakar, melainkan memutuskan untuk menempa sebuah senjata yang lebih fundamental: sebuah cara berpikir. Buku yang lahir dari perenungan ini, Madilog , bukanlah sekadar kumpulan gagasan, melainkan sebuah cetak biru untuk merombak fondasi intelektual bangsanya. Pendahuluan buku ini adalah jendela untuk memahami urgensi, kondisi, dan tujuan dari kelahiran mahakarya tersebut. Di Bawah Bayang-Bayang Samurai sebagai Sebuah Titik Mula Untuk memahami mengapa Madilog ditulis, kita harus terlebih dahulu mem...

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia Dalam kancah kehidupan bernegara, hukum acapkali hadir sebagai entitas yang paradoks. ia adalah cita-cita luhur keadilan yang terukir dalam konstitusi, namun pada saat yang sama, ia juga merupakan realitas pragmatis yang beradaptasi dengan dinamika sosial-politik yang tak terduga. Di Indonesia, sebuah negara kepulauan yang kaya akan keberagaman dan gejolak, hukum seringkali terasa "mengawang" di tengah idealisme normatif, tetapi kemudian "membumi" dalam praktik penegakan yang sarat kepentingan dan interpretasi. Fenomena ini menciptakan ketegangan abadi antara norma yang seharusnya dan fakta yang senyatanya, sebuah dialektika yang menuntut pemahaman mendalam melampaui sekadar teks perundang-undangan. Esai ini hadir untuk menjembatani jurang antara idealisme filosofis dan realitas konstitusional di Indonesia, sebuah upaya untuk mengurai benang kusut yang melingkupi berbagai i...

Membaca Ulang Peta Pemikiran Karl Marx di Era Digital

Ada hantu bergentayangan di nusantara—hantu Marxisme . Selama lebih dari tiga dekade, hantu ini tidak sekadar menakut-nakuti; ia menjadi justifikasi bagi tumpahnya darah, air mata, dan pedih yang tak terperi . Siapapun yang "dipertautkan" dengannya, atau sekadar "dipersangkakan" sebagai pengikutnya, harus menanggung akibat yang mengerikan . Pelarangan total atas ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme sejak 1965 ( TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 ) bukan hanya sebuah kebijakan politik, melainkan operasi ideologis berskala masif untuk menciptakan lobotomi intelektual . Akibatnya, seperti yang disiratkan dalam pengantar buku Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx , pemikiran sosial kita menjadi tumpul dan kering . Kita kehilangan mitra dialog yang tajam, sebuah cermin kritis untuk menguji ideologi-ideologi lain yang hidup di republik ini . Maka, mengabaikan pemikiran Karl Marx, dalam konteks ini, bukan lagi pilihan, melainkan sebuah "kecelakaan ilmiah"...