Pendahuluan: Lahirnya Sebuah Peringatan
Memoar ini bukanlah sebuah "sejarah hidup" dalam pengertian konvensional, yang dituturkan dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Sebagaimana ditulis oleh Tan Malaka sendiri dari kesunyian sel di penjara Magelang, karya ini lahir sebagai serangkaian "peringatan"—refleksi yang dipusatkan pada pengalaman-pengalamannya di berbagai penjara. Baginya, penjara bukan sekadar ruang kurungan, melainkan titik pusat dari narasi perjuangan kemerdekaan, sebuah panggung di mana keyakinan dan pengorbanan diuji. Tulisan ini, yang semula diniatkan hanya sebagai pengisi waktu, menjelma menjadi sebuah kesaksian tentang harga yang harus dibayar untuk sebuah cita-cita.
Di awal memoarnya, Tan Malaka meletakkan landasan filosofis yang kokoh bagi seluruh perjuangannya. Ia melihat alam semesta sebagai gelanggang perjuangan dialektis yang tak putus-putusnya antara dua kodrat yang sederajat: positif dan negatif, tesis dan antitesis. Pertentangan ini termanifestasi di segala lini, mulai dari pergulatan elektron dan proton di dalam atom, perdebatan filsafat dari Heraklitos hingga Marx, hingga perjuangan hukum yang menimpa dirinya. Perlakuan yang ia terima dari imperialisme Belanda, Amerika, dan Inggris bukanlah sekadar nasib perorangan, melainkan manifestasi dari "perjuangan adil dan zalim yang memakai diri dan hidup penulis sebagai Medan Perjuangan itu." Penderitaan pribadi dan kehilangan kemerdekaan diri bukanlah sebuah tragedi, melainkan konsekuensi logis dari sebuah pilihan sadar. Ia merumuskannya dalam sebuah kredo yang menjadi jiwa dari seluruh perjalanannya:
"Barang siapa yang menghendaki kemerdekaan buat umum maka ia harus setia dan ikhlas untuk menderita kehilangan kemerdekaan diri sendiri. Siapa ingin Merdeka harus bersedia di penjara."
Dari refleksi filosofis di balik terali besi inilah, narasi memoar ini bergerak menuju awal perjalanan fisik dan intelektualnya di pengasingan. Sebuah perjalanan yang ditempa oleh penangkapan, interogasi, dan pembuangan, yang dimulai dengan ujian dramatis di salah satu benteng imperialisme terkuat di Asia: Hong Kong.
Bagian 1: Ujian di Hong Kong - Wajah Imperialisme Inggris
Hong Kong, pos terdepan imperialisme Inggris di Timur Jauh, menyajikan suasana yang tegang dan penuh bahaya bagi seorang revolusioner. Pada suatu malam yang larut di Kowloon, setelah berpisah dengan rekannya, Daud, Tan Malaka merasakan firasat buruk. Benar saja, ia menyadari dirinya diikuti oleh dua orang—seorang Tionghoa berpakaian biasa dan seorang Benggali bertubuh tinggi besar. Mereka adalah polisi rahasia Inggris, dan apa yang terjadi selanjutnya adalah gambaran brutal dari wajah kekuasaan kolonial.
Penangkapan yang Brutal
Serangan itu datang sekonyong-konyong. Tanpa peringatan, si Benggali menekan leher belakangnya dengan tangan kanan sambil memiting tangan kirinya. Ditekan dari dua arah, ia hampir tak bisa bernapas. "What is the matter?" tanyanya dalam bahasa Inggris. Pertanyaan itu hanya dibalas dengan teriakan yang sama sambil tekanan di lehernya semakin kuat. Seketika, refleks "latihan kampung" mengambil alih; kakinya bergerak ke lubang belakang lutut si penyerang, dan sikunya menekan perut orang itu. Terpaksa melepaskan cengkeramannya, si Benggali berbalik sambil meraba pistol. Saat itulah Tan Malaka insaf bahwa ia berhadapan dengan polisi rahasia bersenjata. Dalam benaknya, "pengkhianatan semacam itu... tak dapat saya terima begitu saja." Menghadapi maut, orang tak bisa berpikir panjang. Perlawanannya segera dihentikan oleh teriakan seorang polisi resmi Inggris yang muncul dari sudut gelap.
Interaksi di Kantor Polisi
Di kantor polisi, Tan Malaka menyaksikan spektrum perlakuan yang berbeda. Polisi resmi yang menolongnya, seorang Muslim Punjabi, menggiringnya ke kantor sambil berbisik, "I am a Punjabi Muslim," lalu menambahkan, "that is not the way to arrest a man." Momen solidaritas kecil ini memberinya secercah harapan di tengah kebrutalan. Namun, di dalam kantor, ia berhadapan dengan Pritam Singh, agen Benggali yang penuh provokasi. Dengan susah payah, Tan Malaka menahan diri dari godaan untuk membalas secara fisik. Titik balik terjadi ketika ia akhirnya menunjukkan paspornya sebagai seorang Tionghoa kelahiran Hawaii. Wajah Pritam Singh berubah total. Setelah mempelajari foto Tan Malaka yang pernah ia dapatkan di Singapura untuk mempersiapkan penangkapan ini, penyesalan mendalam tampak di wajahnya. Ia mengulurkan tangan.
"Please forgive me... I have for you [respect as I have] for Gandhi... forgive me." (Maafkan saya... Saya menghormati Tuan seperti saya menghormati Gandhi... maafkan saya.)
Selama Tan Malaka ditahan, Pritam Singh terus menunjukkan penyesalannya, berulang kali mengatakan bahwa jika terjadi apa-apa, tanggung jawab itu "shall be upon my shoulder." Ia telah berubah dari agen kasar menjadi sosok kompleks yang dibebani oleh tindakannya sendiri.
Proses Interogasi
Interogasi panjang pun dimulai, sebuah konspirasi para imperialis di tanah Tiongkok. Kepala Inspektur Murpi, seorang Irlandia yang bertugas untuk Inggris, menjalankan interogasi dengan sikap yang seolah bersimpati. Namun, permintaan Tan Malaka untuk mendapatkan pembelaan hukum ditolak mentah-mentah oleh pemerintah Hong Kong—sebuah taktik imperialis standar untuk mengisolasi tawanannya. Berbagai negara kolonial—Amerika, Prancis, dan Belanda—turut serta dalam pemeriksaan melalui perantara Inggris.
Ketika ditanya apakah ia seorang Tionghoa, ia menjawab secara "scientifically speaking” bahwa bangsa Indonesia, menurut ahli antropologi seperti Haddon dan Smith, adalah bagian dari rumpun "Oceanic Mongols." Jawaban cerdas ini memancing tawa para pemeriksa, namun menunjukkan keluasan wawasannya di bawah tekanan. Ia juga dihadapkan pada para pejabat Inggris dari Singapura, termasuk Dickenson dan Onraet. Dialognya dengan mereka menyentuh ranah filosofis yang dalam. "What is your purpose of life?" tanya Onraet. Pertanyaan lain menyusul: "How your people will remember you after hundred of Years?" Ini bukanlah interogasi biasa, melainkan perdebatan antara seorang pejuang kemerdekaan dengan agen-agen imperium yang mempertanyakan esensi perjuangannya.
Solidaritas Revolusioner
Di tengah tekanan hebat, sikap Tan Malaka tidak pernah goyah dalam melindungi rekan-rekannya. Prinsip perjuangan dialektisnya termanifestasi dalam tindakan. Jika musuh menunjukkan solidaritas di antara mereka, maka ia harus membalasnya dengan antitesis: solidaritas yang tak tergoyahkan di kalangan seperjuangan. Ketika diberitahu tentang penangkapan Jamaluddin Tamim di Singapura, ia tetap menolak mengaku kenal. Baginya, ini adalah prinsip yang tak bisa ditawar.
"Kesolideran atau kesetiaan satu sama lainnya musuh itu mesti zonder tawar-menawar dibalas pula dengan kesolideran di kalangan teman seperjuangan di dalam menghadapi musuh bersama."
Sikap inilah yang memberatkan posisinya di mata para interogator, namun sekaligus menunjukkan integritasnya. Setelah dua-tiga bulan ditahan tanpa proses pengadilan yang jelas, pemerintah Hong Kong memutuskan untuk membuangnya. Mereka tidak menyerahkannya kepada Belanda, melainkan menaikkannya ke sebuah kapal Inggris dengan tujuan Shanghai. Dengan penuh ketidakpastian, Tan Malaka berlayar menuju perangkap imperialis berikutnya, membuka babak baru perjalanannya di daratan Tiongkok.
Bagian 2: Tiongkok - Penemuan Budaya, Politik, dan Penyembuhan
Tiongkok menjadi babak baru dalam pengasingan Tan Malaka, sebuah medan pelarian sekaligus ruang pembelajaran. Di tengah kekacauan politik yang melanda negeri itu—dari sisa-sisa feodalisme, agresi Jepang yang kian brutal, hingga konflik internal Kuomintang—ia justru menemukan ruang untuk penyembuhan diri dari penyakit yang telah lama menderanya dan kesempatan untuk melakukan pengamatan budaya yang mendalam.
Penyembuhan di Desa Hokkien
Selama bertahun-tahun, kesehatan Tan Malaka terus merosot. Ia tak bisa makan daging tanpa pusing kepala, dan sakit perut terus menderanya. Berbagai pengobatan cara Barat gagal memberinya kesembuhan. Harapan baru muncul di sebuah desa terpencil bernama Ciabe, di wilayah Hokkien. Ia memutuskan untuk berobat kepada seorang sinse (tabib tradisional) termasyhur bernama Chowa. Proses diagnosa yang dilakukan Sinse Chowa sangat unik: ia memeriksa nadi, lidah, dan warna kuku sebelum menyimpulkan bahwa Tan Malaka menderita "singku cindyat" (darah panas), sebuah konsep sentral dalam pengobatan Tionghoa.
Resep yang diberikan pun jauh dari pengobatan modern. Tan Malaka dinasihati untuk menjalankan filosofi "ciak po" (memakan yang mengandung zat kuat). Ia harus mengonsumsi oak (bebek hitam) istimewa dari payau dekat Cuancu dan pek (penyu). Proses penyembuhan ini juga diiringi dengan anjuran "ciak pak kun”—makan hingga kenyang lalu tidur nyenyak agar obat dapat bekerja maksimal. Proses ini diperkaya dengan dongeng-dongeng tentang asal-usul obat, seperti kisah tentang anjing sakit rabu yang menyembuhkan dirinya dengan memakan cendawan dari kuburan. Narasi dan kepercayaan menjadi bagian tak terpisahkan dari penyembuhan tradisional ini.
Mengamati Jalinan Adat dan Kehidupan
Selama tinggal di desa-desa Hokkien, Tan Malaka menjadi pengamat yang jeli terhadap jalinan adat dan kehidupan sosial masyarakat. Ia menyaksikan tiga macam upacara perkawinan: cara kolot yang diatur perantara (Minang), cara modern yang didasarkan atas cinta, dan cara di tengah-tengah.
Salah satu kisah yang paling menyentuh adalah tragedi Ap, keponakan sahabatnya, Kaid. Ap adalah gadis cerdas, patriotik, dan representasi ideal kecantikan Tionghoa. Namun, ketika ayahnya bangkrut, ia dipaksa menikah dengan cara kolot. Dalam keputusasaannya, ia mencari nasihat dari Tan Malaka dan bahkan mencoba bunuh diri. Upayanya gagal, dan ia tetap dikawinkan paksa. Bagi Tan Malaka, nasib Ap adalah cerminan tragis dari benturan antara pendidikan modern dengan adat yang usang, menggambarkannya sebagai "seuntum bunga yang baru saja mengembang untuk dipersunting menurut kesukaan manusia menentang kehendak alam."
Selain itu, ia juga mengamati tradisi pemujaan arwah leluhur. Ia mencatat pentingnya kuburan, kepercayaan pada hong-sui (feng shui), dan upacara tahunan membersihkan kuburan di musim bunga. Tradisi yang mengakar kuat ini ia bandingkan dengan praktik pemujaan arwah yang pernah ada di Indonesia pada masa pra-Islam.
Pergulatan Hidup dan Politik
Pengasingan di Tiongkok juga membawanya ke dalam pusaran politik. Pada tahun 1923 di Kanton, ia berkesempatan bertemu dengan Dr. Sun Yat-sen. Dalam pertemuan itu, Bapak Republik Tiongkok tersebut memberikan nasihat yang mengejutkan: "In this case you can co-operate with Japan." (Dalam hal ini Tuan boleh bekerjasama dengan Jepang). Nasihat ini menempatkan Tan Malaka dalam dilema besar, mengingat pandangannya yang anti-imperialisme tanpa kompromi, termasuk terhadap Jepang. Ia bertanya-tanya, apakah Dr. Sun melihat Inggris dan Amerika sebagai ancaman yang lebih mendesak? Meski begitu, ia tetap menaruh hormat yang mendalam pada Dr. Sun, yang kekuatannya terletak pada tiga hal: kejujuran, keuletan iman (terbukti dari 16 kali kegagalan merebut kemerdekaan), dan kedekatannya dengan kaum murba.
Di tengah gejolak politik, Tan Malaka mencoba membangun kemandirian dengan mendirikan Foreign Language School di Amoy. Niatnya ini diuji oleh seorang mahasiswa radikal bernama Huang, yang ingin memastikan ideologinya sebelum belajar. Setelah berhasil melewati "ujian" itu, sekolahnya berkembang pesat. Namun, tantangan birokrasi menghadang. Ia harus mengurus surat izin di tengah kebijakan pembersihan orang asing. Di sinilah ia menyaksikan sebuah pragmatisme yang ia kagumi. Seorang pembantu dari sahabatnya, Kaid—seorang yang memiliki "drive" (kodrat pendorong) luar biasa—berhasil menerobos semua pintu birokrasi. Ketika kantor pejabat tutup dari depan, ia masuk lewat dapur belakang, menghadap sang pejabat yang sedang makan, dan dalam beberapa menit urusan selesai. Anekdot ini bukan sekadar cerita birokrasi, melainkan cerminan keuletan yang ia lihat sebagai kunci bertahan hidup di Tiongkok.
Babak kehidupannya di Tiongkok harus berakhir pada tahun 1937. Agresi Jepang yang semakin hebat di Amoy memaksanya untuk kembali melarikan diri. Setelah berpisah dengan sahabat-sahabat setianya seperti Kaid dan mahasiswa Huang, ia memulai perjalanan menuju babak pengasingan berikutnya.
Bagian 3: Filipina dan Malaya - Cermin Kolonialisme dan Perjuangan Identitas
Pengalaman Tan Malaka di Filipina dan Malaya memberinya sebuah lensa komparatif yang tajam untuk menganalisis dampak berbagai bentuk imperialisme—Spanyol, Amerika, dan Inggris—terhadap masyarakat pribumi di Asia Tenggara. Di kedua negeri serumpun ini, ia menyaksikan potret perjuangan identitas yang belum usai dan jejak-jejak sejarah yang terkikis oleh dominasi asing.
Filipina: Revolusi yang Belum Usai
Di bawah kekuasaan Amerika, masyarakat Filipina menunjukkan struktur sosial-politik yang unik. Tan Malaka mengamati bagaimana kaum mestiza (campuran) mendominasi panggung politik dan ekonomi pasca-revolusi, sementara kaum pribumi asli—yang ia sebut "asli Indonesia"—tetap terpinggirkan sebagai buruh dan petani. Imperialisme "Paman Sam" membawa dua sisi: kemajuan di bidang pendidikan dan kesehatan, namun di sisi lain keuntungan ekonomi Filipina terus mengalir ke Amerika. Filipina adalah potret kemerdekaan semu.
Analisisnya yang mendalam tentang dua pahlawan sentral revolusi Filipina menawarkan pelajaran berharga. Tragedi keduanya menjadi sebuah peringatan tentang perlunya persatuan antara kepemimpinan intelektual dengan aksi massa—sebuah tema sentral dalam filsafat politik Tan Malaka sendiri.
- Dr. Jose Rizal: Ia gambarkan sebagai seorang intelektual besar—dokter, novelis, dan penyair. Namun, Rizal menolak jalan revolusi bersenjata karena merasa rakyat belum siap secara pendidikan dan ekonomi.
- Andres Bonifacio: Di sisi lain, Bonifacio adalah representasi rakyat murba. Seorang buruh yang mendirikan Katipunan dan menyalakan api revolusi, namun berakhir tragis, dibunuh oleh faksi saingannya yang dipimpin Aguinaldo.
Perjuangannya sendiri di Filipina mencapai puncaknya saat ia ditangkap di Manila. Penangkapan itu, alih-alih membungkamnya, justru memicu gelombang dukungan yang luar biasa. Surat kabar La Debate, para ahli hukum yang dipimpin Jose Abad Santos, kalangan mahasiswa, dan kaum buruh bersatu membelanya, menuntut hak suaka politik (right of asylum). Solidaritas bahkan datang dari komunitas Muslim Hindustan yang mengumpulkan dana untuknya. Menghadapi gejolak yang semakin besar, pemerintah Amerika akhirnya secara halus memaksanya pergi. Meskipun terusir, bagi Tan Malaka ini adalah sebuah kemenangan moral yang membuktikan kekuatan solidaritas rakyat.
Malaya: Pusara Kenangan Sebuah Bangsa
Di Malaya, Tan Malaka menyaksikan sebuah bangsa yang riwayat kegemilangannya terkubur oleh kolonialisme. Ia menganalisis faktor-faktor keruntuhan Kerajaan Malaka: kekurangan teknik dibanding Portugis, kurangnya persatuan (antar bangsa Asia, antarsuku, dan di dalam istana), serta kezaliman Sultan Mahmud. Di bawah imperialisme Inggris, kemunduran ini dieksploitasi secara sistematis. Inggris mengubah sebuah bangsa pelaut dan saudagar ulung menjadi "polisi, supir, tengkulak, dan bujang kantor". Pengamatannya di Singapura menunjukkan betapa drastisnya masyarakat asli terdesak: dalam satu abad, populasi Melayu menyusut dari 90% menjadi kurang dari 5%. Ia juga mencatat bagaimana sistem uang suap atau ciak teh merajalela, membuat hukum imigrasi yang seharusnya melindungi pribumi menjadi sekadar sandiwara.
Pengamatannya di Malaya ditutup oleh sebuah peristiwa monumental: kejatuhan Singapura ke tangan Jepang pada Februari 1942. Ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana para perwira Inggris yang hidup nyaman melarikan diri dari Penang, meninggalkan rakyat yang seharusnya mereka lindungi. Ia mendengar kisah mengerikan tentang 300 pemuda Tionghoa sukarelawan—banyak di antaranya dari sekolah tempat ia mengajar—yang dieksekusi setelah ditangkap Jepang. Runtuhnya imperium yang tampak perkasa itu menjadi bukti nyata dari prediksi lamanya tentang keruntuhan imperialisme Barat, sekaligus membuka jalan baginya untuk memulai perjalanan pulang yang telah ia dambakan selama dua dekade.
Kesimpulan: Kembali ke Titik Awal Perjuangan
Pada tahun 1942, di tengah kekacauan Perang Pasifik, Tan Malaka memulai perjalanan pulang yang penuh risiko dari Singapura menuju jantung perjuangan, Jakarta. Pelayaran pertamanya menyeberangi Selat Malaka dilakukan dengan sebuah tongkang reyot. Di atas kapal kecil itu, ia mengamati potret perpecahan di antara penumpang Hindu dan Islam, sebelum akhirnya selamat dari amukan badai "Sumatera" yang dahsyat.
Perjalanannya berlanjut dengan melintasi Sumatera. Di setiap kota yang ia singgahi, ia terus-menerus mendengar dongeng tentang "Kolonel Tan Malaka" yang disebut-sebut bekerja untuk Jepang. Legenda tentang dirinya ini memaksanya untuk terus bergerak cepat dan menjaga penyamarannya dengan rapat. Momen perenungan mendalam ia dapatkan saat menyeberang dari Lampung ke Banten dengan perahu layar bernama "Sri Renjet". Di tengah deburan ombak Selat Sunda, di atas perahu yang digerakkan oleh angin, ia merenungkan kembali jiwa bahari bangsa Indonesia yang pernah menguasai samudra.
Akhirnya, setelah lebih dari dua puluh tahun mengembara, ia tiba di Jakarta. Perasaan haru bercampur dengan kesadaran bahwa ia telah kembali ke negeri yang sangat berbeda. Ia harus kembali mempelajari negerinya sendiri, memahami denyut nadi rakyat yang telah lama ia tinggalkan.
Memoar perjalanan ini, yang dimulai dari kesunyian sel penjara, berakhir dengan kembalinya sang pengembara ke titik awal perjuangannya. Pengasingan, penderitaan, dan kurungan di berbagai penjara dan negeri asing tidak mematahkan semangatnya. Sebaliknya, semua itu telah menempa dan memperkuat keyakinannya akan satu hal: keniscayaan kemerdekaan Indonesia. Sebuah kemerdekaan yang sejati, yang tidak dihadiahkan oleh siapa pun, melainkan direbut melalui kekuatan dan kesadaran rakyatnya sendiri. Perjalanannya telah selesai, namun perjuangan besar baru saja akan dimulai.
Zlamitan
Komentar
Posting Komentar