Langsung ke konten utama

Analisis Kritis Program Makan Bergizi Gratis (MBG): Penilaian Efektivitas, Efisiensi Anggaran, dan Risiko Tata Kelola Berdasarkan Kerangka Kerja Resmi 2025

 


Ringkasan Eksekutif

Laporan yang ditulis tim riset Podcast Pengantar Tidur ini menyajikan analisis kritis terhadap Program Makan Bergizi Gratis (MBG), sebuah inisiatif berskala nasional yang bertujuan meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Berdasarkan telaah mendalam terhadap dokumen kerangka kerja resmi—termasuk 'Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Program MBG 2025' dan 'Paparan Badan Gizi Nasional'—laporan ini berargumen bahwa program MBG, terlepas dari niat mulianya, secara struktural dirancang untuk menghadapi kegagalan. Analisis ini ditopang oleh tiga pilar argumentasi utama. Pertama, inefektivitas programatik, yang bersumber dari ketidaksesuaian fundamental antara desain intervensi (pemberian makan di sekolah) dengan tujuan utamanya untuk menurunkan prevalensi stunting, yang secara ilmiah membutuhkan intervensi pada 1.000 hari pertama kehidupan. Kedua, inefisiensi anggaran, yang ditandai oleh struktur biaya yang membengkak dan penerapan anggaran tunggal Rp 15.000 per porsi yang mengabaikan realitas disparitas harga dan biaya operasional antarwilayah, sehingga berisiko mengorbankan kualitas gizi. Ketiga, kerentanan korupsi sistemik, yang diciptakan oleh mekanisme pemilihan mitra pelaksana yang tidak transparan, proses pengadaan yang terdesentralisasi dan sulit diaudit, serta sistem pengawasan yang lemah. Laporan ini menyimpulkan dengan rekomendasi utama: moratorium terhadap implementasi nasional program MBG, yang harus diikuti oleh perancangan ulang total yang transparan, berbasis bukti, dan berfokus pada intervensi yang terbukti efektif.


Bab 1: Dekonstruksi Arsitektur dan Rasionalitas Program MBG

1.1. Visi "Generasi Emas 2045": Menganalisis Kesenjangan antara Narasi Kebijakan dan Realitas Programatik

Program MBG secara resmi dilandasi oleh narasi besar untuk mengembangkan "Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas" demi mewujudkan visi "Indonesia Emas 2045".1 Kerangka Pikir (Kerangka Pikir) program memaparkan rantai kausal di mana MBG diasumsikan akan memperbaiki kesehatan dan pendidikan, yang pada gilirannya meningkatkan produktivitas, mengurangi ketimpangan, dan pada akhirnya mengentaskan kemiskinan.1 Narasi ini, meskipun kuat secara politis, merepresentasikan simplifikasi berlebihan terhadap masalah pembangunan yang kompleks. Terdapat kesenjangan yang signifikan antara visi agung ini dengan realitas intervensi yang ditawarkan, yaitu pemberian satu porsi makanan per hari.

Analisis ini mempertanyakan asumsi bahwa satu kali makan dapat menjadi pendorong tunggal bagi perubahan sosial-ekonomi yang begitu mendalam. Pembingkaian MBG sebagai panasea untuk isu-isu multidimensional seperti stunting 2, kemiskinan 8, dan ketidaksetaraan ekonomi berfungsi untuk membangun konsensus politik yang luas, namun pada saat yang sama mengaburkan kelemahan desain yang kritis. Pendekatan yang didorong oleh narasi ini memprioritaskan daya tarik politik di atas perancangan kebijakan yang solid. Hal ini terlihat dari kontradiksi fundamental antara justifikasi utama program (penurunan stunting) dengan mekanisme utamanya (pemberian makan bagi anak usia sekolah). Lembaga internasional seperti Bank Dunia secara eksplisit menyatakan bahwa program makan di sekolah bukanlah alat yang paling efektif untuk mengatasi stunting, yang memerlukan intervensi intensif pada periode 1.000 hari pertama kehidupan.14 Dengan demikian, narasi ambisius tersebut lebih berfungsi sebagai instrumen politik untuk melegitimasi alokasi anggaran masif sebesar Rp 71 triliun 1 daripada sebagai tujuan kebijakan yang dirancang secara teknis dan berbasis bukti.

1.2. Kerangka Operasional: Mandat Terpusat dengan Eksekusi Terdesentralisasi yang Rentan

Program ini dikelola secara terpusat oleh Badan Gizi Nasional (BGN), namun dieksekusi di tingkat lokal oleh ribuan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), di mana setiap unit melayani sekitar 3.000 hingga 4.000 penerima manfaat.1 Petunjuk Teknis (Juknis) menetapkan bahwa BGN akan menggunakan mekanisme Bantuan Pemerintah (Banper), di mana dana ditransfer kepada "Penerima Bantuan" yang didefinisikan sebagai "Organisasi dalam bentuk Yayasan".1 Yayasan inilah yang kemudian bertanggung jawab mengelola dana untuk pengadaan bahan baku dan biaya operasional.

Model ini menciptakan tantangan tata kelola yang mendalam. Struktur ini melahirkan masalah principal-agent berlapis, di mana BGN (sebagai prinsipal) memiliki kendali langsung yang sangat terbatas atas ribuan Yayasan (sebagai agen) yang bertanggung jawab atas manajemen keuangan dan eksekusi operasional di lapangan. Ketergantungan pada aktor non-pemerintah untuk menjalankan fungsi inti negara memperkenalkan risiko signifikan dalam hal standardisasi, kontrol kualitas, dan akuntabilitas finansial. Lebih lanjut, struktur organisasi program melibatkan jaringan koordinasi yang rumit, mulai dari BGN di tingkat pusat, melalui pemerintah provinsi/kabupaten/kota, hingga ke tingkat SPPG yang harus berkoordinasi dengan sekolah, puskesmas, dan posyandu.1 Rantai komando yang panjang dan kompleks ini menciptakan banyak titik potensi kegagalan dalam komunikasi, logistik, dan pengawasan.

1.3. Penargetan Program yang Ambigu: Intervensi Gizi atau Jaring Pengaman Sosial?

Sasaran penerima manfaat program ini sangat luas, mencakup seluruh siswa dari PAUD hingga SMA, santri, ibu hamil, ibu menyusui, dan anak balita.1 Pendekatan universal ini sangat kontras dengan program gizi yang lebih terarah, yang memfokuskan sumber daya pada kelompok paling rentan untuk mencapai dampak maksimal. Ambiguitas strategis ini pada akhirnya merusak efektivitas program. Dengan mencoba menjadi program gizi universal sekaligus jaring pengaman sosial de facto, MBG gagal menjalankan kedua fungsi tersebut secara optimal.

Pendekatan universal ini menyebabkan dilusi sumber daya yang seharusnya dapat difokuskan pada kelompok berisiko tinggi (seperti ibu hamil dan anak di bawah dua tahun untuk pencegahan stunting). Di sisi lain, program ini memberikan manfaat yang relatif kecil dan tidak tertarget kepada jutaan penerima yang mungkin tidak rentan secara gizi, yang berujung pada inefisiensi masif. Desain universal ini, meskipun populer secara politik, tidak efisien secara ekonomi dan berpotensi tidak adil. Program ini mengalokasikan sumber daya yang sama untuk siswa di sekolah perkotaan yang makmur dan siswa di desa-desa terpencil yang miskin. Pendekatan "satu ukuran untuk semua" ini mengabaikan kesenjangan kebutuhan yang sangat besar di seluruh nusantara. Data menunjukkan bahwa masalah kemiskinan dan stunting terkonsentrasi secara geografis di wilayah-wilayah tertentu, seperti provinsi-provinsi di Indonesia bagian timur yang memiliki tingkat kemiskinan dan stunting jauh lebih tinggi daripada di Jawa.18 Alokasi anggaran yang sama rata untuk setiap anak, terlepas dari status ekonomi atau lokasi geografis, tidak hanya boros tetapi juga tidak adil karena gagal memberikan sumber daya lebih kepada mereka yang paling membutuhkannya.


Bab 2: Analisis Inefektivitas: Kelemahan Desain dalam Mencapai Hasil Gizi dan Pendidikan

2.1. Paradoks Stunting: Intervensi yang Salah Sasaran

Juknis secara eksplisit menyatakan bahwa salah satu tujuan utama program MBG adalah untuk mengatasi tingginya angka stunting di Indonesia.1 Namun, penerima manfaat utama dari program ini adalah anak-anak usia sekolah. Hal ini menciptakan sebuah paradoks fundamental, karena konsensus ilmiah global dan lembaga seperti Bank Dunia menegaskan bahwa stunting sebagian besar bersifat ireversibel setelah anak berusia dua tahun.14 Jendela intervensi kritis untuk mencegah stunting adalah pada 1.000 hari pertama kehidupan, yaitu sejak masa konsepsi hingga ulang tahun kedua anak.

Meskipun program ini mencakup ibu hamil, ibu menyusui, dan balita sebagai sasaran, skala masif dan fokus logistiknya diarahkan pada sekolah. Ini merupakan misalokasi sumber daya yang kolosal jika penurunan stunting adalah tujuan yang tulus. Anggaran puluhan triliun rupiah dapat digunakan secara jauh lebih efektif untuk memperkuat program yang sudah ada dan terbukti menyasar langsung periode 1.000 hari pertama, seperti revitalisasi dan penguatan Posyandu, memastikan ketersediaan suplemen bagi ibu hamil, dan program pendampingan gizi bagi balita. Dengan memfokuskan sebagian besar sumber daya pada populasi di luar jendela intervensi kritis, program MBG kehilangan peluang terbesar untuk memberikan dampak signifikan terhadap prevalensi stunting nasional.

2.2. Ilusi Anggaran Rp 15.000: Analisis Kelayakan Gizi di Tengah Disparitas Harga Regional

Juknis menetapkan anggaran maksimal sebesar Rp 15.000 per porsi makanan. Angka ini harus mencakup tidak hanya biaya bahan makanan, tetapi juga seluruh biaya operasional, termasuk listrik, gas, air, gaji pekerja dapur, bahan bakar minyak untuk distribusi, serta biaya sewa peralatan dapur, alat masak, alat makan, dan kendaraan.1 Anggaran yang terstandarisasi ini secara fundamental tidak dapat diterapkan secara merata di seluruh Indonesia karena adanya disparitas harga yang ekstrem antarwilayah. Apa yang mungkin cukup untuk menyediakan makanan bergizi di daerah dengan biaya hidup rendah di Jawa menjadi mustahil di wilayah dengan biaya tinggi seperti Papua.23

Juknis memang menyebutkan bahwa besaran anggaran "dapat disesuaikan khusus untuk wilayah-wilayah yang memiliki indeks kemahalan relatif tinggi".1 Namun, dokumen tersebut tidak menyediakan mekanisme, formula, atau sumber pendanaan tambahan untuk penyesuaian ini, menjadikannya klausul kosong tanpa kekuatan implementasi. Struktur biaya all-inclusive ini menciptakan insentif yang salah. Karena biaya operasional seperti sewa, gaji, dan bahan bakar cenderung tetap, setiap tekanan anggaran akibat kenaikan harga pangan atau biaya hidup lokal yang tinggi secara tak terhindarkan akan diserap dengan mengurangi kuantitas atau kualitas bahan makanan. Komponen gizi adalah bagian yang paling fleksibel dan paling tidak terlihat dalam struktur anggaran, menjadikannya yang pertama kali dikorbankan. Dengan kata lain, struktur keuangan program ini secara sistematis mendorong pengorbanan kualitas gizi untuk memenuhi biaya operasional tetap, yang secara langsung merusak tujuan utama program itu sendiri.

Untuk mengilustrasikan hal ini, tabel berikut menyimulasikan biaya pengadaan satu porsi makan yang memenuhi standar gizi MBG di empat provinsi dengan tingkat kemahalan yang berbeda.

Tabel 1: Simulasi Biaya Keranjang Pangan vs. Anggaran MBG di Berbagai Provinsi

Komoditas

Satuan

Kuantitas (gram)

Harga DKI Jakarta (Rp)

Biaya DKI Jakarta (Rp)

Harga Jawa Timur (Rp)

Biaya Jawa Timur (Rp)

Harga NTT (Rp)

Biaya NTT (Rp)

Harga Papua Pegunungan (Rp)

Biaya Papua Pegunungan (Rp)

Beras Medium

kg

100

13.556

1.356

12.049

1.205

12.924

1.292

19.500*

1.950

Telur Ayam Ras

kg

55

29.569

1.626

28.500

1.568

32.000

1.760

45.000*

2.475

Daging Ayam Ras

kg

50

36.138

1.807

35.000

1.750

40.000

2.000

55.000*

2.750

Bayam/Sayuran Setara

kg

75

15.000

1.125

12.000

900

18.000

1.350

25.000*

1.875

Subtotal Bahan Makanan




5.914


5.423


6.402


9.050

Estimasi Biaya Operasional (30%)




1.774


1.627


1.921


2.715

Total Estimasi Biaya per Porsi




7.688


7.050


8.323


11.765

Kekurangan/Kelebihan vs. Anggaran Rp 15.000




+7.312


+7.950


+6.677


+3.235

Catatan: Harga di Papua Pegunungan adalah estimasi berdasarkan data IKK dan laporan harga regional yang menunjukkan biaya bisa 1.5-2x lipat dari harga nasional. Kuantitas didasarkan pada kebutuhan untuk mencapai standar gizi di Tabel 2 Juknis. Sumber harga:.23

Meskipun simulasi kasar ini menunjukkan bahwa anggaran Rp 15.000 secara teoretis masih mencukupi, angka ini belum memasukkan biaya sewa peralatan dan kendaraan yang signifikan, biaya distribusi yang lebih tinggi di daerah terpencil, dan fluktuasi harga. Kelebihan dana yang terlihat di atas kertas akan cepat terkikis oleh biaya-biaya tersembunyi ini, terutama di wilayah timur Indonesia, sehingga tekanan untuk mengurangi kualitas gizi tetap sangat tinggi.

2.3. Kesalahan Pikir "Last-Mile": Hambatan Logistik dan Rantai Pasok

Program ini mengandalkan model hub-and-spoke dimana setiap SPPG melayani radius "kurang lebih 6 km atau waktu tempuh distribusi sekitar 30 menit".1 Selain itu, program ini membayangkan terciptanya "Sirkulasi Ekonomi Desa" dimana SPPG mendapatkan pasokan bahan baku dari Koperasi dan BUMDES lokal.1 Model ini terlalu menyederhanakan dan tidak realistis untuk sebagian besar wilayah Indonesia. Model ini mengabaikan realitas geografi kepulauan, infrastruktur yang buruk, dan gangguan cuaca. Jendela pengiriman 30 menit adalah target yang mustahil dicapai di banyak daerah terpencil, pegunungan, atau kepulauan.

Ketergantungan pada BUMDES sebagai tulang punggung rantai pasok juga problematis. Hal ini mengasumsikan tingkat kapasitas, efisiensi, dan integritas yang seringkali belum ada di tingkat lokal. Berbagai penelitian tentang BUMDES menyoroti tantangan signifikan dalam hal manajemen, permodalan, dan efisiensi operasional 27, menjadikan mereka fondasi yang berpotensi tidak dapat diandalkan untuk program sebesar dan se-sensitif waktu ini. Kegagalan dalam rantai pasok akan secara langsung berdampak pada tidak tersedianya makanan, yang menggagalkan seluruh tujuan program.

2.4. Kegagalan di Titik Konsumsi: Risiko Limbah Makanan dan Akseptabilitas Menu

Juknis menguraikan proses perencanaan menu terpusat ("penyusunan master menu dilakukan per minggu") dengan rekomendasi bahwa menu "sebaiknya disamakan untuk seluruh kelompok sasaran" demi kemudahan operasional.1 Pendekatan ini, meskipun nyaman secara logistik, mengabaikan keragaman preferensi kuliner lokal dan ketersediaan bahan pangan yang berbeda-beda di setiap daerah. Hal ini menciptakan risiko tinggi rendahnya tingkat konsumsi dan tingginya limbah makanan (food waste), sebuah kekhawatiran yang telah muncul dalam evaluasi awal dan uji coba program.33 Jika anak-anak tidak menyukai makanan yang disajikan, mereka tidak akan memakannya. Akibatnya, manfaat gizi yang diterima adalah nol, terlepas dari keberhasilan anggaran atau logistik. Umpan balik dari fase uji coba telah menunjukkan bahwa rasa makanan yang hambar dan menu yang tidak disukai siswa menjadi kendala nyata.33


Bab 3: Inefisiensi Anggaran Publik: Analisis Alokasi Biaya dan Pemborosan

3.1. Skala Rp 71 Triliun: Biaya Peluang dan Prioritas Nasional

Program MBG dialokasikan anggaran sebesar Rp 71 triliun dalam APBN 2025.17 Angka ini merupakan porsi yang sangat signifikan dari anggaran negara dan mencakup hampir 40% dari pagu indikatif anggaran kesehatan.36 Alokasi sebesar ini memunculkan pertanyaan kritis mengenai biaya peluang (opportunity cost). Anggaran tersebut dapat dialokasikan untuk memperkuat program-program perlindungan sosial yang sudah ada dan terbukti lebih tepat sasaran, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) atau Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), serta inisiatif kesehatan publik lainnya.36 Realokasi bahkan sebagian kecil dari anggaran MBG ke program-program ini berpotensi memberikan hasil yang jauh lebih besar dalam penurunan kemiskinan dan perbaikan kesehatan, karena menyasar langsung pada akar masalah dengan mekanisme yang telah teruji.

3.2. Struktur Biaya yang Membengkak: Beban Overhead Operasional dan Sewa dalam Model SPPG

Sebagaimana telah dijelaskan, anggaran Rp 15.000 per porsi mencakup "biaya bahan makanan, biaya operasional..., dan biaya sewa atas peralatan dapur, peralatan masak, peralatan makan dan sewa kendaraan".1 Struktur biaya ini secara inheren tidak efisien. Dengan menggabungkan biaya pangan dan non-pangan, program ini menciptakan overhead operasional yang besar dan tidak transparan. Model sewa, khususnya, patut dipertanyakan untuk sebuah program jangka panjang, karena mungkin akan lebih hemat biaya untuk membeli aset secara bertahap. Struktur ini berisiko lebih menguntungkan penyedia jasa sewa dan manajer operasional daripada penerima manfaat akhir. Dana publik yang seharusnya dimaksimalkan untuk gizi anak justru sebagian besar terserap untuk biaya-biaya pendukung yang tidak efisien.

3.3. Dilema Manajemen Multi-Model: Inefisiensi dalam Lima Skema Implementasi

'Paparan BGN' menguraikan lima model pengelolaan yang berbeda: Swakelola BGN, Kerjasama Institusi, Kerjasama Pihak Ketiga, Wilayah 3T, dan Hybrid.1 Kompleksitas ini merupakan sumber inefisiensi yang besar. Mengelola lima model kemitraan, kepemilikan, dan pembiayaan yang berbeda secara bersamaan menciptakan beban administrasi yang luar biasa, mempersulit pengawasan, menghalangi standardisasi, dan membuat perbandingan kinerja serta evaluasi menjadi hampir mustahil. Model yang lebih sederhana dan seragam akan jauh lebih efisien untuk dikelola, diawasi, dan diskalakan. Keragaman model ini, alih-alih menjadi bentuk fleksibilitas, justru berisiko menciptakan fragmentasi dan inkonsistensi dalam pelaksanaan program secara nasional.


Bab 4: Kerentanan Korupsi Sistemik: Celah Tata Kelola dalam Mekanisme Penyaluran

4.1. "Pintu Masuk" Korupsi: Seleksi Mitra Yayasan dan "Pihak Ketiga" yang Tidak Transparan

Juknis menyatakan bahwa "Penerima Bantuan" adalah sebuah "Yayasan".1 Dokumen 'Paparan BGN' lebih lanjut merinci model "Kerjasama Pihak Ketiga" dan secara eksplisit menyatakan bahwa jika hanya ada satu pihak yang berminat di suatu lokasi, maka "akan dilakukan penunjukan langsung".1 Klausul ini merupakan risiko korupsi terbesar dalam desain program MBG. Ketentuan ini menciptakan celah masif untuk kronisme dan patronase politik. Ketiadaan proses lelang yang wajib, transparan, dan kompetitif untuk memilih ribuan yayasan yang akan mengelola triliunan rupiah dana publik adalah contoh klasik dari tata kelola berisiko tinggi, sebuah kekhawatiran yang juga disuarakan oleh Transparency International Indonesia (TII).37

Laporan TII juga menyoroti bahwa penunjukan mitra pelaksana SPPG dilakukan tanpa mekanisme verifikasi terbuka, di mana beberapa yayasan pengelola diketahui memiliki afiliasi dengan aktor politik atau institusi tertentu.37 Mekanisme "penunjukan langsung" ini secara efektif melegalkan praktik yang seharusnya dihindari dalam pengadaan pemerintah, yaitu memberikan kontrak tanpa kompetisi. Hal ini membuka pintu bagi penunjukan berdasarkan koneksi politik daripada kompetensi, yang pada gilirannya meningkatkan risiko dana disalahgunakan untuk kepentingan kelompok tertentu.

4.2. Pengadaan di Bawah Radar: Risiko Mark-up, Kolusi, dan Kualitas di Bawah Standar

Pengadaan bahan makanan dilakukan secara terdesentralisasi di tingkat SPPG, yang akan membeli dari Koperasi atau BUMDES lokal.1 Mekanisme pembayaran melibatkan Yayasan yang mengelola dana dan melakukan pembelian. Sistem pengadaan yang terfragmentasi ini sangat rentan terhadap berbagai modus operandi korupsi yang umum terjadi di Indonesia 38, antara lain:

  • Mark-up: Menggelembungkan harga bahan makanan dari harga pasar yang sebenarnya.

  • Kolusi: Manajer SPPG bersekongkol dengan pemasok (BUMDES/Koperasi) untuk menetapkan harga yang lebih tinggi dari seharusnya.

  • Kualitas di Bawah Standar: Membeli bahan baku dengan kualitas lebih rendah dari yang disyaratkan untuk memotong biaya dan mengambil selisihnya.

  • Laporan Fiktif: Melaporkan pembelian yang tidak pernah terjadi atau dalam jumlah yang lebih kecil dari yang dilaporkan untuk mencairkan anggaran.

Ketiadaan sistem e-procurement atau e-catalog yang terpusat dan wajib digunakan di tingkat lokal membuat praktik-praktik ini sangat sulit untuk dideteksi dan dicegah. Setiap SPPG menjadi "kerajaan kecil" dalam hal pengadaan, tanpa adanya transparansi harga yang dapat diverifikasi oleh publik atau auditor.

4.3. Mekanisme Pembayaran dan Akuntabilitas yang Lemah

Juknis menguraikan alur dana dari Kas Negara ke rekening Yayasan, dengan pencairan dana didasarkan pada persetujuan Kepala SPPG.1 Pertanggungjawaban Yayasan kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) BGN hanya berupa laporan dan Berita Acara Serah Terima (BAST) yang memuat pernyataan bahwa "bukti-bukti pengeluaran telah disimpan".1 Mekanisme "akuntabilitas berdasarkan pernyataan" ini sangat berbahaya dan lemah.

Model ini menciptakan masalah jejak audit (audit trail) yang hampir mustahil untuk ditelusuri. Agar BGN dapat melakukan audit yang bermakna, auditor harus memeriksa secara fisik jutaan kuitansi yang disimpan oleh ribuan yayasan independen yang tersebar di seluruh Indonesia. Secara logistik, ini adalah tugas yang tidak mungkin dilakukan. Sistem ini menciptakan lingkungan dimana penipuan mudah dilakukan dan hampir tidak mungkin dibuktikan. Temuan dari Indonesia Corruption Watch (ICW) mengenai kesulitan dalam mengawasi program bantuan sosial di masa lalu menggarisbawahi risiko yang sama, di mana mekanisme pelaporan yang tidak memadai menjadi celah utama penyalahgunaan.44

4.4. Ilusi Pengawasan Berlapis: Tumpang Tindih Peran dan Kapasitas yang Tidak Memadai

Juknis menggambarkan sistem pemantauan dan evaluasi (Monev) yang melibatkan Tim BGN Pusat, Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)/PPK, dan SPPG itu sendiri.1 Sanksi atas penyalahgunaan disebutkan, termasuk teguran tertulis dan penggantian kerugian negara. Namun, struktur Monev ini sebagian besar bersifat performatif. Pengawasan bersifat internal, dilakukan oleh lembaga pelaksana (BGN) dan tidak memiliki komponen pemantauan eksternal yang independen dengan kekuatan penegakan hukum yang nyata.

Mengingat skala program yang sangat besar—dimulai dengan 5.000 SPPG dan berpotensi berkembang menjadi lebih dari 8.000 1—departemen Monev pusat BGN akan kewalahan dan tidak mampu memberikan supervisi yang berarti. Setiap tim audit harus mengawasi ratusan atau bahkan ribuan unit pelaksana, sebuah tugas yang tidak realistis. Kurangnya pengawasan yang efektif ini merupakan kerentanan kritis yang juga disorot oleh TII, yang menyatakan bahwa lemahnya pengawasan membuka celah bagi praktik mark-up harga dan penggunaan bahan berkualitas rendah.37


Bab 5: Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan Fundamental

5.1. Sintesis Temuan: Program MBG sebagai Studi Kasus Pembuatan Kebijakan Berisiko Tinggi

Analisis dari bab-bab sebelumnya menyimpulkan bahwa program MBG dalam formatnya saat ini merupakan kebijakan berisiko tinggi dengan potensi imbal hasil yang rendah (high-risk, low-reward). Program ini tidak efektif karena salah menargetkan masalah stunting dan menggunakan anggaran terstandarisasi yang tidak dapat diterapkan secara merata. Program ini tidak efisien karena struktur biayanya yang membengkak, kompleksitas administrasi multi-model, dan biaya peluang yang sangat besar. Terakhir, program ini sangat rentan terhadap korupsi karena mekanisme pemilihan mitra yang tidak transparan, sistem pengadaan yang terdesentralisasi dan tidak dapat diaudit, serta pengawasan yang lemah. Hasil dari uji coba program di berbagai daerah telah menunjukkan adanya tantangan signifikan, termasuk kegagalan logistik dan keluhan mengenai kualitas makanan, yang seharusnya menjadi sinyal peringatan kuat sebelum program ini diperluas.33

5.2. Rekomendasi Utama

Berdasarkan analisis komprehensif ini, diajukan tiga rekomendasi kebijakan fundamental yang mendesak untuk dipertimbangkan oleh pemerintah:

  1. Moratorium dan Perancangan Ulang Komprehensif:

  • Segera hentikan rencana peluncuran nasional program MBG. Pemerintah harus memberlakukan moratorium untuk memberikan ruang bagi evaluasi yang independen, transparan, dan menyeluruh terhadap hasil uji coba di 102 lokasi.1 Hasil evaluasi ini harus dipublikasikan secara penuh kepada masyarakat. Berdasarkan temuan tersebut, program harus dirancang ulang secara fundamental dengan melibatkan ahli gizi, pakar kebijakan publik, ekonom, dan organisasi masyarakat sipil untuk memastikan desainnya berbasis bukti dan sesuai dengan konteks Indonesia.

  1. Reprioritasasi Target dan Anggaran:

  • Lakukan realokasi strategis terhadap anggaran Rp 71 triliun. Prioritaskan pendanaan untuk intervensi yang terbukti berdampak tinggi dan menyasar 1.000 hari pertama kehidupan, seperti penguatan Posyandu, jaminan ketersediaan suplemen zat besi dan asam folat untuk ibu hamil, serta program edukasi dan pendampingan gizi. Untuk anak usia sekolah, fokuskan intervensi pada program yang ditargetkan berdasarkan tingkat kemiskinan (means-tested) atau geografis, terutama di daerah-daerah dengan prevalensi gizi buruk dan kemiskinan tertinggi, sesuai dengan rekomendasi dari lembaga seperti INDEF 48, daripada pendekatan universal yang boros.

  1. Reformasi Tata Kelola sebagai Prasyarat Mutlak:

  • Jika ada versi program yang akan dilanjutkan, program tersebut harus mengintegrasikan perlindungan tata kelola yang tidak dapat ditawar, antara lain:

  • Seleksi Mitra yang Transparan: Semua mitra pelaksana (Yayasan, Pihak Ketiga) harus dipilih melalui proses yang terbuka, kompetitif, dan terdokumentasi secara publik, serta menghapuskan sepenuhnya opsi "penunjukan langsung".

  • Kewajiban E-Procurement: Seluruh proses pengadaan, bahkan di tingkat lokal, harus dilakukan melalui platform digital terpusat (e-catalog) untuk memastikan transparansi harga, mencegah mark-up, dan memfasilitasi audit.

  • Pemantauan Digital Real-Time: Implementasikan sistem digital untuk melacak aliran dana, proses pengadaan, dan distribusi secara real-time. Sistem ini harus didukung oleh mekanisme pengaduan publik dan perlindungan pelapor (whistleblower) yang kuat, independen, dan mudah diakses.

Lanjut ke Solusi Alternatif: Klik Disini Daftar Pustaka

  1. 1-Jan-2025-REVISI-FINAL-PETUNJUK-TEKNIS-PENYELENGGARAAN-PROGRAM-MBG-2025.pdf

  2. SSGI 2024: National Stunting Prevalence Drops to 19,8% - Health Development Policy Agency, https://www.badankebijakan.kemkes.go.id/en/ssgi-2024-prevalensi-stunting-nasional-turun-menjadi-198/

  3. SSGI 2024: Prevalensi Stunting Nasional Turun Menjadi 19,8% - Kemenkes, https://kemkes.go.id/id/ssgi-2024-prevalensi-stunting-nasional-turun-menjadi-198

  4. Prevalensi Stunting Nasional Turun Jadi 19,8 Persen, Menkes RI Targetkan 18,8 Persen di Tahun 2025 - Kabupaten Kutai Kartanegara, https://kukarkab.go.id/berita/2353/Prevalensi-Stunting-Nasional-Turun-Jadi-19,8-Persen,-Menkes-RI-Targetkan-18,8-Persen-di-Tahun-2025

  5. Prevalensi Stunting Indonesia Turun ke 19,8% - TP2S, https://stunting.go.id/prevalensi-stunting-indonesia-turun-ke-198/

  6. SSGI 2024: Prevalensi Stunting Nasional Turun Jadi 19,8%, Capai Angka di Bawah Proyeksi Bappenas, https://stunting.go.id/ssgi-2024-prevalensi-stunting-nasional-turun-jadi-198-capai-angka-di-bawah-proyeksi-bappenas/

  7. Prevalensi Stunting tahun 2024 Turun Jadi 19,8 Persen, Pemerintah Terus Dorong Penguatan Gizi Nasional | Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, https://www.kemenkopmk.go.id/prevalensi-stunting-tahun-2024-turun-jadi-198-persen-pemerintah-terus-dorong-penguatan-gizi

  8. Tingkat Kemiskinan Indonesia dalam Satu Dekade Terakhir - Indonesia Baik, https://indonesiabaik.id/infografis/tingkat-kemiskinan-indonesia-dalam-satu-dekade-terakhir

  9. BPS Rilis Jumlah Orang Miskin Turun Jadi 23,85 Juta, Persis Klaim Prabowo - detikFinance, https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-8028288/bps-rilis-jumlah-orang-miskin-turun-jadi-23-85-juta-persis-klaim-prabowo

  10. BPS: Jumlah Penduduk Miskin 2025 Ada 23,85 Juta Orang - YouTube, https://www.youtube.com/watch?v=UrIf9a8q_3Q

  11. BPS: Tingkat Kemiskinan Turun, Kini 8,47 Persen - YouTube, https://www.youtube.com/watch?v=iJvVmItV6Ls

  12. Jumlah Penduduk Miskin Turun, Mensesneg: Pemerintah Terus Bekerja Keras Atasi Kemiskinan | Sekretariat Negara, https://www.setneg.go.id/baca/index/jumlah_penduduk_miskin_turun_mensesneg_pemerintah_terus_bekerja_keras_atasi_kemiskinan

  13. Penduduk Miskin Indonesia Mencapai 23,85 Juta - Tempo.co, https://www.tempo.co/ekonomi/penduduk-miskin-indonesia-mencapai-23-85-juta-2050749

  14. Bank Dunia: Makan Siang Gratis Bukan Solusi Atasi Stunting - KabarBursa.com, https://www.kabarbursa.com/market-hari-ini/bank-dunia-makan-siang-gratis-bukan-solusi-atasi-stunting

  15. Bank Dunia Kritik Program Makan Gratis, Ini Jawab Menko Airlangga! - CNBC Indonesia, https://www.cnbcindonesia.com/news/20240628163050-4-550313/bank-dunia-kritik-program-makan-gratis-ini-jawab-menko-airlangga

  16. Sorotan Bank Dunia Terhadap Program Makan Siang Gratis - Kompas Money, https://money.kompas.com/read/2024/06/27/074803226/sorotan-bank-dunia-terhadap-program-makan-siang-gratis?page=all

  17. Bank Dunia Ungkap Makan Gratis Tak Berdampak Turunkan Stunting - CNBC Indonesia, https://www.cnbcindonesia.com/news/20240628112624-4-550162/bank-dunia-ungkap-makan-gratis-tak-berdampak-turunkan-stunting

  18. 10 Provinsi dengan Jumlah Penduduk Miskin Terbanyak - Tempo.co, https://www.tempo.co/ekonomi/10-provinsi-dengan-jumlah-penduduk-miskin-terbanyak-2050924

  19. Jangan Kaget! Ini 10 Provinsi dengan Jumlah Orang Miskin Terbanyak - detikFinance, https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-8032461/jangan-kaget-ini-10-provinsi-dengan-jumlah-orang-miskin-terbanyak

  20. 10 Provinsi dengan Tingkat Kemiskinan Tertinggi 2025, Pulau Jawa Mendominasi, https://www.kompas.com/tren/read/2025/07/26/183000765/10-provinsi-dengan-tingkat-kemiskinan-tertinggi-2025-pulau-jawa-mendominasi

  21. Aceh Masuk 5 Besar Daerah dengan Angka Stunting Tertinggi - detikcom, https://www.detik.com/sumut/berita/d-7949628/aceh-masuk-5-besar-daerah-dengan-angka-stunting-tertinggi

  22. 10 Provinsi dengan Angka Stunting Tertinggi, Didominasi Indonesia Tengah-Timur, https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-7949593/10-provinsi-dengan-angka-stunting-tertinggi-didominasi-indonesia-tengah-timur

  23. Panel Harga Pangan, https://panelharga.badanpangan.go.id/

  24. 1.1. tingkat kemiskinan - Bapperida Provinsi Papua, https://bapperida.papua.go.id/file/456187359.pdf

  25. Harga Pangan Provinsi Jawa Barat - Dashboard Jabar, https://dashboard.jabarprov.go.id/id/dashboard-static/pangan

  26. Rata-Rata Harga Eceran Bahan Pokok Juli 2025 - GoodStats, https://goodstats.id/article/rata-rata-harga-eceran-bahan-pokok-juli-2025-yCNlp

  27. Journal of Accounting And Financial Issue, https://ejournalwiraraja.com/index.php/JAFIS/article/download/4310/2474/

  28. FAKTOR-FAKTOR PENENTU KEBERHASILAN BADAN USAHA MILIK DESA DALAM PERSPEKTIF EKONOMI LOKAL, https://cosmos.iaisambas.ac.id/index.php/cms/article/download/142/11

  29. Tantangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) Dalam Mewujudkan Kemandirian Desa, https://jkh.unram.ac.id/index.php/jkh/article/view/196

  30. Peluang Kolaborasi BUMDes dan Koperasi Merah Putih dalam Mendorong Ekonomi Desa, https://meravi.id/blog/peluang-kolaborasi-bumdes-dan-koperasi-merah-putih-dalam-mendorong-ekonomi-desa

  31. Peran BUMDes dalam Memasarkan Produk Unggulan Masyarakat Desa, https://disperindagprovntt.com/peran-bumdes-dalam-memasarkan-produk-unggulan-masyarakat-desa/

  32. [Opini] Optimalisasi Dana Desa dalam Percepatan Penganekaragaman Pangan - DJPb, https://djpb.kemenkeu.go.id/kppn/tanjung/id/data-publikasi/189-berita/2955-opini-optimalisasi-dana-desa-dalam-percepatan-penganekaragaman-pangan.html

  33. Kritik dan Evaluasi Program Makan Bergizi Gratis - KBA News, https://kbanews.com/pilihan-redaksi/kritik-dan-evaluasi-program-makan-bergizi-gratis/

  34. Dilema Program Makan Siang Gratis Dari Pemerintah - Digital School ID, https://sman1giri.digital-school.id/read/dilema-program-makan-siang-gratis-dari-pemerintah

  35. (PDF) Analisis Program Makan Gratis Prabowo Subianto Terhadap Strategi Peningkatan Motivasi Belajar Siswa di Sekolah Tinjauan dari Perspektif Sosiologi Pendidikan - ResearchGate, https://www.researchgate.net/publication/388147909_Analisis_Program_Makan_Gratis_Prabowo_Subianto_Terhadap_Strategi_Peningkatan_Motivasi_Belajar_Siswa_di_Sekolah_Tinjauan_dari_Perspektif_Sosiologi_Pendidikan

  36. Makan Bergizi Gratis: Menilik Tujuan, Anggaran dan Tata Kelola Program | CISDI, https://cdn.cisdi.org/documents/fnm-Policy-Paper-Makan-Bergizi-Gratis---Menilik-Tujuan-Anggaran-dan-Tata-Kelola-ProgramCISDIpdf-1723609579793-fnm.pdf

  37. Program Makan Bergizi Gratis Dikepung Risiko Korupsi Sistemik, https://ti.or.id/program-makan-bergizi-gratis-dikepung-risiko-korupsi-sistemik/

  38. Kepala Ombudsman RI Perwakilan NTT Beberkan 8 Modus Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa, https://ombudsman.go.id/artikel/r/pwkmedia--kepala-ombudsman-ri-perwakilan-ntt-beberkan-8-modus-korupsi-pengadaan-barang-dan-jasa

  39. KPK Beberkan Modus Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa, Apa Saja? - kalpostonline.com, https://kalpostonline.com/nasional/kpk-beberkan-modus-korupsi-pengadaan-barang-dan-jasa-apa-saja/2024/

  40. Modus Korupsi Pada Pengadaan Barang dan Jasa, Berbahaya!, https://smartsertifikasi.co.id/modus-korupsi-pada-pengadaan-barang-dan-jasa/

  41. (PDF) MODUS OPERANDI KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH OLEH PNS - ResearchGate, https://www.researchgate.net/publication/328742663_MODUS_OPERANDI_KORUPSI_PENGADAAN_BARANG_DAN_JASA_PEMERINTAH_OLEH_PNS

  42. TREN PENINDAKAN KASUS KORUPSI Pengadaan Barang dan Jasa TAHUN 2019 - ICW, https://antikorupsi.org/sites/default/files/dokumen/Tren%20Pengadaan%202019.pdf

  43. Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa - ICW, https://antikorupsi.org/id/article/korupsi-dalam-pengadaan-barang-dan-jasa

  44. PSHK dan ICW Luncurkan Laporan Evaluasi KPK Periode 2019-2024 - pshk.or.id, https://pshk.or.id/aktivitas/pshk-dan-icw-luncurkan-laporan-evaluasi-kpk-periode-2019-2024/

  45. ICW: Pemerintah Harus Benahi Mekanisme Tindak Lanjut Pengaduan Bansos, https://nasional.kompas.com/read/2021/04/26/17505731/icw-pemerintah-harus-benahi-mekanisme-tindak-lanjut-pengaduan-bansos

  46. Bansos | ICW, https://antikorupsi.org/id/taxonomy/term/582

  47. Batal Uji Coba Makan Bergizi Gratis, Ini Penjelasan Disdik Gunungkidul - Sorotgunungkidul, https://gunungkidul.sorot.co/berita-110462-batal-uji-coba-makan-bergizi-gratis-ini-penjelasan-disdik-gunungkidul.html

  48. INDEF Usulkan Program Makan Bergizi Gratis Ditangguhkan Sementara - News Bola.com, https://www.bola.com/news/read/6151332/indef-usulkan-program-makan-bergizi-gratis-ditangguhkan-sementara

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menempa Akal untuk Mengubah Dunia dengan Panduan Berpikir Kritis ala Madilog

Pendahuluan: Lahirnya Sebuah Alat Berpikir Pada pertengahan tahun 1942, di tengah suasana politik yang membara di bawah pendudukan Jepang, seorang buronan revolusioner bernama Tan Malaka memulai sebuah proyek intelektual yang ambisius. Dalam kesendirian dan persembunyiannya di Rawajati, Jakarta, ia merenungkan sebuah pertanyaan mendasar: dari mana seorang pejuang harus memulai? Di tengah gegap gempita perubahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, ia tidak memilih menulis pamflet politik yang membakar, melainkan memutuskan untuk menempa sebuah senjata yang lebih fundamental: sebuah cara berpikir. Buku yang lahir dari perenungan ini, Madilog , bukanlah sekadar kumpulan gagasan, melainkan sebuah cetak biru untuk merombak fondasi intelektual bangsanya. Pendahuluan buku ini adalah jendela untuk memahami urgensi, kondisi, dan tujuan dari kelahiran mahakarya tersebut. Di Bawah Bayang-Bayang Samurai sebagai Sebuah Titik Mula Untuk memahami mengapa Madilog ditulis, kita harus terlebih dahulu mem...

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia Dalam kancah kehidupan bernegara, hukum acapkali hadir sebagai entitas yang paradoks. ia adalah cita-cita luhur keadilan yang terukir dalam konstitusi, namun pada saat yang sama, ia juga merupakan realitas pragmatis yang beradaptasi dengan dinamika sosial-politik yang tak terduga. Di Indonesia, sebuah negara kepulauan yang kaya akan keberagaman dan gejolak, hukum seringkali terasa "mengawang" di tengah idealisme normatif, tetapi kemudian "membumi" dalam praktik penegakan yang sarat kepentingan dan interpretasi. Fenomena ini menciptakan ketegangan abadi antara norma yang seharusnya dan fakta yang senyatanya, sebuah dialektika yang menuntut pemahaman mendalam melampaui sekadar teks perundang-undangan. Esai ini hadir untuk menjembatani jurang antara idealisme filosofis dan realitas konstitusional di Indonesia, sebuah upaya untuk mengurai benang kusut yang melingkupi berbagai i...

Membaca Ulang Peta Pemikiran Karl Marx di Era Digital

Ada hantu bergentayangan di nusantara—hantu Marxisme . Selama lebih dari tiga dekade, hantu ini tidak sekadar menakut-nakuti; ia menjadi justifikasi bagi tumpahnya darah, air mata, dan pedih yang tak terperi . Siapapun yang "dipertautkan" dengannya, atau sekadar "dipersangkakan" sebagai pengikutnya, harus menanggung akibat yang mengerikan . Pelarangan total atas ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme sejak 1965 ( TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 ) bukan hanya sebuah kebijakan politik, melainkan operasi ideologis berskala masif untuk menciptakan lobotomi intelektual . Akibatnya, seperti yang disiratkan dalam pengantar buku Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx , pemikiran sosial kita menjadi tumpul dan kering . Kita kehilangan mitra dialog yang tajam, sebuah cermin kritis untuk menguji ideologi-ideologi lain yang hidup di republik ini . Maka, mengabaikan pemikiran Karl Marx, dalam konteks ini, bukan lagi pilihan, melainkan sebuah "kecelakaan ilmiah"...