Langsung ke konten utama

Terperangkap dalam Struktur: Analisis Kemiskinan Struktural, Stagnasi Mobilitas Sosial di Indonesia, dan Arah Kebijakan Menuju Keadilan

 Ringkasan Eksekutif

Laporan penelitian dari Tim Riset Podcast Pengantar Tidur ini menyajikan analisis mendalam mengenai persistensi kemiskinan di Indonesia, dengan argumen sentral bahwa fenomena ini secara fundamental bersifat struktural, bukan sekadar konsekuensi dari faktor kultural individu atau keterbatasan sumber daya alam. Kemiskinan struktural, yang berakar pada sistem sosial, ekonomi, dan politik yang tidak adil, menciptakan serangkaian "perangkap" yang saling mengunci dan secara efektif menghambat mobilitas sosial vertikal bagi kelompok masyarakat miskin. Laporan ini mengidentifikasi tiga perangkap utama yang melanggengkan kemiskinan antar generasi: (1) perangkap modal manusia, yang ditandai oleh ketimpangan akses dan kualitas layanan pendidikan serta kesehatan; (2) perangkap modal ekonomi, yang dimanifestasikan oleh ketimpangan penguasaan aset produktif seperti tanah dan sulitnya akses terhadap permodalan; dan (3) perangkap pasar kerja, yang ditandai oleh dominasi sektor informal dengan produktivitas rendah dan minimnya perlindungan sosial.

Analisis kritis terhadap intervensi kebijakan pemerintah menunjukkan adanya diskoneksi fundamental. Di satu sisi, program bantuan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) telah berfungsi sebagai jaring pengaman sosial (social safety net) yang penting untuk menopang konsumsi dan mencegah kejatuhan lebih dalam. Namun, di sisi lain, kebijakan yang bersifat transformatif dan bertujuan membongkar akar masalah struktural—terutama reforma agraria—mengalami kegagalan implementasi yang parah. Akibatnya, kebijakan yang ada lebih banyak berfungsi sebagai pereda gejala daripada penyembuh penyakit. Pemerintah terbukti lebih berhasil dalam mendistribusikan bantuan paliatif daripada merealisasikan restrukturisasi aset yang dapat berfungsi sebagai tangga mobilitas sosial (social mobility ladder).

Berdasarkan temuan ini, laporan merekomendasikan pergeseran paradigma kebijakan dari pendekatan parsial dan paliatif menuju strategi holistik dan transformatif. Solusi yang diusulkan berfokus pada empat pilar utama: (1) Reformasi fundamental dalam distribusi aset, dengan menempatkan pelaksanaan reforma agraria sejati sebagai prioritas utama. (2) Investasi masif dan merata pada modal manusia, yang melampaui bantuan individual menuju perbaikan sistemik kualitas layanan pendidikan dan kesehatan di daerah tertinggal. (3) Penciptaan peluang ekonomi inklusif melalui pemberdayaan UMKM, formalisasi bertahap, dan pembangunan infrastruktur yang berkeadilan. (4) Perancangan ulang sistem perlindungan sosial untuk mengintegrasikan bantuan dengan program pemberdayaan, menciptakan jalur keluar yang jelas dari kemiskinan. Keberhasilan implementasi rekomendasi ini menuntut adanya kemauan politik yang kuat dan reformasi tata kelola yang serius untuk mengatasi ego sektoral dan memastikan kebijakan benar-benar berpihak pada kelompok yang paling termarjinalkan.


Bagian I: Membedah Kemiskinan Struktural: Sebuah Kerangka Konseptual

Untuk memahami secara mendalam mengapa sebagian besar masyarakat miskin di Indonesia sulit memperbaiki nasibnya, diperlukan pemahaman yang jernih mengenai konsep kemiskinan itu sendiri. Analisis yang hanya berfokus pada tingkat pendapatan atau pengeluaran seringkali gagal menangkap akar persoalan yang lebih dalam. Bagian ini bertujuan membangun fondasi teoretis dengan mendefinisikan kemiskinan struktural, membedakannya dari konsep lain, dan menegaskan urgensi penggunaan lensa struktural dalam merumuskan kebijakan pembangunan di Indonesia.

1.1 Definisi dan Karakteristik Inti: Melampaui Sekadar Kekurangan Pendapatan

Kemiskinan struktural adalah sebuah kondisi kemiskinan yang dialami oleh suatu golongan masyarakat bukan karena faktor-faktor individual seperti kemalasan atau rendahnya kecerdasan, melainkan karena adanya struktur sosial, politik, dan ekonomi yang membatasi atau menutup peluang mereka untuk mengakses sumber-sumber pendapatan dan kesejahteraan yang sebenarnya tersedia.1 Dalam perspektif ini, kemiskinan bukanlah takdir, melainkan sebuah kondisi yang "diciptakan" dan dilanggengkan oleh sistem, kebijakan, atau struktur kekuasaan yang tidak adil.4 Individu atau kelompok dalam kondisi ini berada dalam posisi termarjinalisasi akibat struktur sosial yang timpang, yang membuat mereka tidak hanya miskin, tetapi secara aktif "dimiskinkan" oleh sistem yang berlaku.4

Karakteristik utama dari masyarakat yang terperangkap dalam kemiskinan struktural meliputi:

  • Ketiadaan Mobilitas Sosial Vertikal: Salah satu ciri paling menonjol adalah stagnasi. Individu atau keluarga yang lahir dalam kemiskinan akan cenderung tetap miskin sepanjang hidupnya, dan kondisi ini diwariskan ke generasi berikutnya. Sistem yang ada secara efektif menghalangi mereka untuk "naik kelas" sosial-ekonomi.6

  • Ketergantungan yang Kuat: Ketiadaan akses terhadap aset dan peluang menciptakan hubungan ketergantungan yang kuat antara kelompok miskin dengan kelompok masyarakat kelas sosial-ekonomi di atasnya, misalnya antara buruh tani tak bertanah dengan pemilik lahan.6

  • Keterbatasan Akses terhadap Sumber Daya: Inti dari kemiskinan struktural adalah ketidaksetaraan akses. Ini bisa berupa akses terhadap lahan pertanian, hutan, modal usaha, pendidikan berkualitas, layanan kesehatan yang layak, hingga informasi dan jaringan politik.4 Contoh klasik dari kelompok yang mengalami kemiskinan struktural adalah buruh tani yang tidak memiliki tanah sendiri, nelayan tanpa perahu, masyarakat adat yang hutannya dikuasai korporasi, serta pekerja tidak terampil (unskilled labour) yang terjebak dalam pekerjaan berupah rendah tanpa peluang pengembangan diri.2

1.2 Membedakan Kemiskinan Struktural, Kultural, dan Alami: Fokus pada Akar Masalah Sistemik

Untuk mempertajam analisis, penting untuk membedakan kemiskinan struktural dari konsep-konsep lain yang seringkali digunakan secara tumpang tindih, seperti yang dirangkum dalam Tabel 1.

  • Kemiskinan Struktural vs. Kultural: Perbedaan mendasar terletak pada lokus penyebab. Kemiskinan struktural bersumber dari faktor eksternal, yaitu sistem yang tidak adil.5 Sebaliknya, teori kemiskinan kultural menunjuk pada faktor internal, seperti sikap individu atau budaya kelompok yang dianggap menghambat kemajuan, misalnya sikap malas, fatalistis, boros, atau tidak berorientasi pada masa depan.2 Namun, pembedaan ini perlu dilihat secara kritis. Penelitian menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat miskin seringkali belum bersifat struktural; mereka cenderung menyalahkan nasib, kebodohan, atau kemalasan diri sendiri atas kondisi yang mereka alami.4 Sikap "menerima nasib" atau learned helplessness ini 11 bisa jadi bukanlah penyebab kemiskinan, melainkan gejala psikologis yang timbul sebagai respons adaptif terhadap sistem yang tidak memberikan harapan dan peluang selama beberapa generasi. Dengan demikian, apa yang sering dilabeli sebagai "budaya kemiskinan" bisa jadi merupakan produk dari struktur yang menindas, bukan sebaliknya.

  • Kemiskinan Struktural vs. Alami: Menurut analisis Sinaga dan White (1984), kemiskinan alami merujuk pada kondisi yang disebabkan oleh keterbatasan kuantitas atau kualitas sumber daya alam serta teknologi untuk memanfaatkannya.1 Namun, dalam konteks pembangunan modern yang dicirikan oleh kemajuan teknologi, argumen ini menjadi kurang relevan. Keterbatasan alami, hingga taraf tertentu, dapat diatasi dengan inovasi teknologi. Masalahnya, manfaat dari teknologi tersebut tidak akan terdistribusi secara merata jika hambatan struktural—seperti siapa yang menguasai teknologi dan sumber daya—tidak diatasi terlebih dahulu. Bahkan, penerapan teknologi tanpa keadilan struktural justru dapat memperparah ketimpangan dan mengukuhkan kemiskinan struktural.1

  • Kemiskinan Absolut dan Relatif: Kedua konsep ini adalah alat ukur, bukan penjelasan kausal. Kemiskinan absolut mengukur ketidakmampuan seseorang atau keluarga untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum (pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan) berdasarkan sebuah standar yang disebut Garis Kemiskinan.10 Sementara itu, kemiskinan relatif mengukur ketimpangan pendapatan seseorang dibandingkan dengan standar hidup rata-rata di masyarakat sekitarnya.10 Kemiskinan struktural adalah kerangka analisis yang menjelaskan mengapa suatu kelompok masyarakat secara sistematis dan persisten berada di bawah garis kemiskinan absolut dan mengalami ketimpangan yang tajam secara relatif.

Dengan demikian, fokus pada analisis struktural mengalihkan perhatian dari sekadar menghitung jumlah orang miskin atau menyalahkan korban, menuju pembongkaran sistem dan kebijakan yang secara aktif mereproduksi kemiskinan dari generasi ke generasi.

Tabel 1: Perbandingan Konsep Kemiskinan

Aspek

Kemiskinan Struktural

Kemiskinan Kultural

Kemiskinan Alami

Kemiskinan Absolut

Definisi Inti

Kemiskinan akibat struktur sosial, ekonomi, dan politik yang tidak adil.

Kemiskinan akibat sikap, nilai, atau budaya yang dianut individu/kelompok.

Kemiskinan akibat keterbatasan sumber daya alam dan teknologi.

Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar minimum berdasarkan Garis Kemiskinan.

Sumber Penyebab

Eksternal (sistem, kebijakan, institusi).

Internal (mentalitas, kebiasaan, perilaku).

Eksternal (lingkungan, geografi).

Ukuran kondisi ekonomi, bukan penyebab.

Fokus Analisis

Ketidaksetaraan akses terhadap peluang dan sumber daya (tanah, modal, pendidikan).

Perilaku dan pola pikir individu/kelompok (malas, fatalis, boros).

Keterbatasan sumber daya alam (tanah tidak subur, iklim ekstrem).

Tingkat pendapatan atau pengeluaran per kapita.

Contoh Khas

Petani tak bertanah, masyarakat adat yang tergusur, pekerja informal tanpa jaminan sosial.

Individu yang tidak mau berusaha memperbaiki hidup meski ada peluang.

Masyarakat terisolasi di daerah tandus tanpa akses teknologi pertanian.

Keluarga dengan pengeluaran di bawah Rp 500,000 per kapita per bulan.

Implikasi Kebijakan

Reformasi kebijakan (reforma agraria), pemerataan akses pendidikan, perubahan sistem ekonomi.

Perubahan pola pikir, motivasi, program pembinaan mental.

Bantuan teknologi, relokasi, pembangunan infrastruktur.

Bantuan sosial tunai (BLT), subsidi kebutuhan pokok untuk menaikkan daya beli.


Bagian II: Akar Masalah Stagnasi Mobilitas Sosial di Indonesia: Analisis Multi-Dimensi

Pertanyaan mengapa orang miskin di Indonesia sulit "naik kelas" tidak dapat dijawab dengan satu faktor tunggal. Jawabannya terletak pada rangkaian perangkap struktural yang saling terkait dan mengunci, yang berakar pada sejarah kebijakan pembangunan, ketidaksetaraan akses terhadap modal dasar, hingga struktur pasar kerja yang timpang. Bagian ini akan mengurai akar masalah tersebut secara multidimensi.

2.1 Warisan Historis dan Kebijakan Pembangunan: Fokus Pertumbuhan yang Menciptakan Ketimpangan

Akar dari ketimpangan struktural di Indonesia dapat dilacak kembali ke model pembangunan yang dianut pada era Orde Baru (1966-1998). Meskipun berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kebijakan pada masa itu secara eksplisit memprioritaskan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi, seringkali dengan mengorbankan prinsip pemerataan.16 Kebijakan-kebijakan kunci seperti Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA) tahun 1967 dirancang untuk menarik modal asing dan menggerakkan industrialisasi skala besar.17 Namun, model ini cenderung menguntungkan segelintir elite yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan dan korporasi besar, sementara masyarakat lokal seringkali termarjinalisasi dan kehilangan akses terhadap sumber daya alam di sekitar mereka.

Frustrasi publik terhadap model pembangunan yang dirasa tidak adil ini meledak dalam Peristiwa Malari pada tahun 1974. Protes massal tersebut menentang dominasi modal asing (khususnya Jepang saat itu) dan menunjukkan bahwa kesenjangan antara pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat telah menjadi isu krusial sejak awal.18 Meskipun pemerintah merespons dengan kebijakan yang lebih ketat terhadap investasi asing, struktur kekuasaan yang sentralistik dan korup terus memfasilitasi penguasaan akses ekonomi oleh segelintir kelompok.16 Warisan dari era ini adalah struktur penguasaan aset yang sangat timpang, di mana kekayaan terkonsentrasi di puncak, sementara mayoritas rakyat memiliki akses yang sangat terbatas terhadap aset produktif. Struktur inilah yang menjadi fondasi bagi kemiskinan struktural yang bertahan hingga hari ini.

2.2 Perangkap Modal Manusia: Ketimpangan Akses dan Kualitas Pendidikan serta Kesehatan

Modal manusia—yang terdiri dari pendidikan dan kesehatan—adalah tangga utama untuk mobilitas sosial. Namun, di Indonesia, tangga ini seringkali patah atau bahkan tidak dapat dijangkau oleh masyarakat miskin.

Pendidikan sebagai Tangga yang Patah

Pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, terbukti menjadi mesin mobilitas sosial yang ampuh di Indonesia. Sebuah studi menunjukkan bahwa lulusan perguruan tinggi memiliki peluang 46.1% lebih besar untuk mengalami mobilitas sosial keatas dibandingkan mereka yang hanya lulusan SD atau lebih rendah.21 Namun, ironisnya, akses menuju mesin mobilitas ini sangatlah tidak merata. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan jurang partisipasi yang dalam: Angka Partisipasi Kasar (APK) untuk jenjang SD mencapai 104.82%, namun anjlok menjadi 87.29% di jenjang SMA, dan terjun bebas ke angka 32.00% untuk jenjang Perguruan Tinggi.22

Hambatan utama akses pendidikan tinggi bukanlah semata-mata soal kemampuan akademik, melainkan faktor-faktor struktural yang berlapis:

  1. Status Sosial-Ekonomi: Latar belakang ekonomi keluarga adalah faktor paling determinan. Anak-anak dari keluarga miskin menghadapi kendala biaya, baik biaya langsung (uang sekolah, buku) maupun biaya peluang (opportunity cost), yaitu pendapatan yang hilang karena anak tidak bekerja.21

  2. Disparitas Geografis: Kualitas dan kuantitas institusi pendidikan yang baik sangat terkonsentrasi di perkotaan, khususnya di Pulau Jawa. Anak-anak di perdesaan dan daerah terpencil, tertinggal, dan terluar (3T) menghadapi keterbatasan akses informasi dan fasilitas.21

  3. Disparitas Kultural: Hambatan bahasa dan norma gender juga berperan dalam menghalangi akses pendidikan bagi kelompok tertentu.21

Rendahnya tingkat pendidikan ini secara langsung menciptakan lingkaran setan kemiskinan. Keterbatasan pendidikan menyebabkan rendahnya keterampilan dan produktivitas, yang berujung pada upah rendah. Kondisi ini membuat mereka tidak mampu berinvestasi pada pendidikan generasi berikutnya, sehingga kemiskinan terus diwariskan.14 Analisis data panel di daerah tertinggal bahkan menunjukkan bahwa kenaikan ketimpangan pendidikan sebesar 0.01 satuan dapat meningkatkan persentase penduduk miskin sebesar 3.445%.26

Kesehatan sebagai Fondasi yang Rapuh

Kesehatan adalah prasyarat dasar bagi produktivitas. Hubungan antara kesehatan dan kemiskinan bersifat dua arah: kondisi miskin menyebabkan kesehatan yang buruk (akibat gizi buruk, sanitasi tidak layak), dan kesehatan yang buruk melanggengkan kemiskinan (karena biaya pengobatan yang mahal dan hilangnya pendapatan saat sakit).23

Meskipun Indonesia telah memiliki program jaminan kesehatan nasional, akses terhadap layanan berkualitas masih menjadi tantangan besar. Data BPS menunjukkan adanya unmet need atau kebutuhan pelayanan kesehatan yang tidak terpenuhi, yang angkanya bervariasi antar provinsi.28 Masalah ini diperparah oleh distribusi fasilitas dan tenaga kesehatan yang sangat tidak merata. Sebagian besar dokter dan rumah sakit berkualitas terpusat di kota-kota besar. Sebagai contoh, pada tahun 2021, rasio dokter di DKI Jakarta adalah 9.53 per 10,000 penduduk, sementara di Nusa Tenggara Timur (NTT) hanya 3.3 per 10,000 penduduk, jauh di bawah standar nasional.29 Ketimpangan akses ini membuat masyarakat miskin, terutama di daerah terpencil, sangat rentan terhadap guncangan kesehatan yang dapat menghabiskan seluruh aset mereka dan menjerumuskan mereka lebih dalam ke jurang kemiskinan. Sebaliknya, investasi pada kesehatan terbukti efektif mengurangi kemiskinan, di mana peningkatan Angka Harapan Hidup (AHH) secara signifikan berkorelasi dengan penurunan tingkat kemiskinan.26

2.3 Perangkap Modal Ekonomi: Kegagalan Reforma Agraria dan Sulitnya Akses Permodalan

Selain modal manusia, modal ekonomi dalam bentuk aset produktif dan akses finansial adalah kunci untuk keluar dari kemiskinan. Namun, di kedua area ini, kelompok miskin menghadapi hambatan struktural yang masif.

Ketimpangan Penguasaan Tanah

Distribusi aset produksi yang sangat timpang merupakan salah satu penyebab utama kemiskinan struktural di Indonesia.16 Di sektor agraria, ini termanifestasi dalam bentuk jutaan petani yang tidak memiliki tanah (petani gurem dan buruh tani), masyarakat adat yang kehilangan akses ke hutan ulayat mereka, dan nelayan kecil yang terdesak oleh industri perikanan skala besar.2 Monopoli dan penguasaan sumber daya alam (lahan, tambang, hutan) oleh korporasi besar atau elite tertentu seringkali terjadi dengan meminggirkan masyarakat lokal, yang pada akhirnya hanya menjadi penonton dari eksploitasi kekayaan alam di tanah mereka sendiri.30

Kebijakan yang seharusnya menjadi solusi untuk masalah ini, yaitu Reforma Agraria, justru mengalami kegagalan implementasi yang parah. Redistribusi tanah, yang disebut sebagai "mahkota" dari reforma agraria, menjadi program yang paling tidak berhasil. Dari target redistribusi tanah seluas 4.1 juta hektar yang berasal dari pelepasan kawasan hutan, hingga Januari 2024, capaiannya baru mencapai 379,621.85 hektar atau hanya 9.26%.31 Kegagalan ini terutama disebabkan oleh kuatnya ego sektoral antara kementerian terkait, khususnya Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), yang menghambat koordinasi dan proses pelepasan lahan.31 Kegagalan struktural dalam menata ulang kepemilikan aset ini secara langsung melanggengkan kemiskinan di perdesaan, di mana mayoritas penduduk menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian.32

Sulitnya Akses Permodalan

Bagi mereka yang ingin memulai atau mengembangkan usaha kecil, akses terhadap modal menjadi tembok penghalang berikutnya.23 Mayoritas usaha yang dijalankan oleh masyarakat miskin berada di sektor informal, tidak memiliki badan hukum, dan tidak memiliki agunan yang diterima oleh perbankan. Akibatnya, mereka sangat kesulitan mengakses pembiayaan formal.33 Data menunjukkan bahwa porsi kredit untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) terhadap total kredit perbankan nasional cenderung stagnan di kisaran 18%. Lebih mengkhawatirkan lagi, diperkirakan sekitar 18 juta pelaku usaha ultra mikro sama sekali belum tersentuh oleh layanan pembiayaan formal.35 Program bantuan atau kredit dari pemerintah seringkali memiliki persyaratan yang hanya dapat dipenuhi oleh UMKM yang sudah mapan dan berstatus formal, sehingga gagal menjangkau lapisan paling bawah.36

2.4 Struktur Pasar Tenaga Kerja yang Dualistik: Jebakan Sektor Informal

Terbatasnya lapangan kerja formal yang layak menjadi pendorong utama kemiskinan di Indonesia.14 Struktur pasar tenaga kerja di Indonesia bersifat dualistik, terbelah antara sektor formal yang relatif kecil dengan upah lebih tinggi dan perlindungan sosial, dan sektor informal yang sangat besar namun rentan. Karena keterbatasan modal manusia dan modal ekonomi, mayoritas angkatan kerja dari kelompok miskin terpaksa terserap ke dalam sektor informal, seperti menjadi pedagang kecil, buruh harian, pemulung, atau pengemudi ojek.23

Pekerjaan di sektor informal memiliki karakteristik yang menjebak pekerjanya dalam kemiskinan: pendapatan yang rendah dan tidak stabil, jam kerja yang panjang tanpa kepastian, serta ketiadaan akses terhadap jaminan sosial seperti asuransi kesehatan, pensiun, dan pesangon.11 Ironisnya, bahkan mereka yang berhasil menempuh pendidikan tinggi pun tidak dijamin mendapatkan pekerjaan yang layak. Tingkat pengangguran terbuka di kalangan lulusan universitas masih tergolong signifikan 40, menunjukkan adanya ketidakselarasan struktural (structural mismatch) antara keahlian yang dihasilkan oleh sistem pendidikan dengan kebutuhan dunia industri.

2.5 Dimensi Spasial Ketidaksetaraan: Kesenjangan Infrastruktur Desa-Kota dan Keterisolasian Geografis

Ketimpangan di Indonesia juga memiliki dimensi spasial yang sangat kuat. Tingkat kemiskinan di pedesaan secara konsisten hampir dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan di perkotaan.43 Kesenjangan ini diperburuk oleh ketimpangan pembangunan infrastruktur. Banyak desa dan daerah tertinggal, terutama di luar Jawa, masih kekurangan infrastruktur dasar seperti jalan yang layak, listrik yang andal, akses air bersih dan sanitasi, serta jaringan komunikasi dan internet.24

Keterisolasian geografis ini menciptakan hambatan berganda. Jalan yang buruk membuat biaya logistik menjadi mahal, menyulitkan petani menjual hasil panennya dengan harga yang wajar. Ketiadaan akses internet membatasi akses terhadap informasi dan peluang ekonomi digital. Jarak yang jauh dan sulit menuju fasilitas pendidikan dan kesehatan berkualitas juga semakin menekan kualitas modal manusia di daerah-daerah tersebut.23 Dengan demikian, lokasi geografis bukan hanya sekadar alamat, tetapi menjadi salah satu determinan utama yang mengunci seseorang dalam perangkap kemiskinan.47

Melihat berbagai faktor ini secara bersamaan, menjadi jelas bahwa kesulitan "naik kelas" bukanlah masalah individual. Ini adalah hasil dari sebuah sistem "perangkap yang saling mengunci". Anak yang lahir dari keluarga buruh tani tak bertanah (perangkap modal ekonomi) di desa terpencil (perangkap geografis) akan bersekolah di sekolah berkualitas rendah (perangkap modal manusia). Dengan ijazah terbatas, ia kemungkinan besar akan bekerja di sektor informal (perangkap pasar kerja) dan kesulitan mendapatkan kredit untuk usaha (perangkap finansial). Kegagalan pada satu domain struktural (misalnya, reforma agraria) akan merambat dan menciptakan kegagalan di domain lainnya, mereproduksi kemiskinan lintas generasi dalam sebuah siklus yang sulit dipatahkan.

Tabel 2: Indikator Kunci Ketimpangan Akses Struktural di Indonesia

Dimensi Perangkap

Indikator Kunci

Data/Fakta Utama

Sumber

Modal Manusia (Pendidikan)

Angka Partisipasi Kasar (APK) per Jenjang (2024)

SD: 104.82%; SMA: 87.29%; Perguruan Tinggi: 32.00%

22


Pengaruh Status Ekonomi terhadap Akses PT

Lulusan PT memiliki peluang 46.1% lebih tinggi untuk mobilitas naik; akses sangat ditentukan oleh latar belakang keluarga.

21

Modal Manusia (Kesehatan)

Rasio Dokter per 10,000 Penduduk (2021)

DKI Jakarta: 9.53; Nusa Tenggara Timur (NTT): 3.3

29


Unmet Need Pelayanan Kesehatan

Terdapat kesenjangan kebutuhan kesehatan yang tidak terpenuhi antarprovinsi.

28

Modal Ekonomi (Aset Tanah)

Capaian Redistribusi Tanah dari Kawasan Hutan (Jan 2024)

Target: 4.1 juta Ha; Capaian: 379,621 Ha (9.26%)

31

Modal Ekonomi (Finansial)

Porsi Kredit UMKM terhadap Total Kredit Nasional

Stagnan di kisaran 18%.

35


Akses Pembiayaan Ultra Mikro

Sekitar 18 juta pelaku usaha ultra mikro belum mendapatkan akses pembiayaan formal.

35

Pasar Tenaga Kerja

Proporsi Pekerja Informal

Mayoritas angkatan kerja berada di sektor informal dengan pendapatan rendah dan tanpa perlindungan.

48


Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Lulusan PT (2024)

Lulusan pendidikan tinggi menyumbang 1.01 juta orang (13.57%) dari total pengangguran.

40

Geografis

Tingkat Kemiskinan (Desa vs. Kota)

Tingkat kemiskinan di pedesaan secara konsisten hampir dua kali lipat lebih tinggi dari perkotaan.

43


Bagian III: "Apa yang Salah?": Evaluasi Kritis terhadap Intervensi Kebijakan Saat Ini

Pemerintah Indonesia telah meluncurkan berbagai program yang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan. Namun, persistensi kemiskinan struktural dan stagnasi mobilitas sosial menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan antara desain kebijakan dan efektivitas implementasinya. Bagian ini melakukan evaluasi kritis terhadap intervensi kebijakan yang ada untuk menjawab pertanyaan fundamental: "apa yang salah?". Analisis menunjukkan adanya dikotomi yang tajam: pemerintah relatif berhasil dalam menerapkan kebijakan paliatif (jaring pengaman), namun gagal total dalam mengeksekusi kebijakan transformatif (tangga mobilitas).

3.1 Jaring Pengaman Sosial (Social Safety Nets): Efektivitas dan Tantangan Program Bantuan Sosial

Program bantuan sosial (bansos) menjadi andalan pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan. Program-program ini dirancang untuk melindungi kelompok miskin dan rentan dari guncangan ekonomi dan membantu memenuhi kebutuhan dasar.

  • Program Keluarga Harapan (PKH): Sebagai program bantuan tunai bersyarat (conditional cash transfer), PKH bertujuan untuk meningkatkan investasi modal manusia pada keluarga sangat miskin dengan mensyaratkan partisipasi dalam layanan pendidikan dan kesehatan.49 Evaluasi menunjukkan bahwa PKH berhasil mendorong perubahan perilaku, seperti peningkatan kunjungan ke fasilitas kesehatan dan peningkatan tingkat kehadiran anak di sekolah.49 Namun, penting untuk dicatat bahwa program ini tidak dirancang untuk secara langsung mengurangi angka kemiskinan dalam jangka pendek, melainkan untuk memutus rantai kemiskinan antar generasi melalui perbaikan modal manusia.50 Tantangan utamanya adalah bagaimana menghubungkan penerima PKH dengan program pemberdayaan ekonomi agar mereka dapat "lulus" dari ketergantungan bantuan.51

  • Kartu Indonesia Sehat (KIS) & Jaminan Kesehatan Nasional (JKN): Program ini bertujuan untuk menghilangkan hambatan finansial dalam mengakses layanan kesehatan. Secara cakupan, program ini telah menjangkau sebagian besar populasi. Namun, dalam prakteknya, implementasi masih menghadapi banyak kendala. Studi menunjukkan masalah seperti kurangnya sosialisasi mengenai prosedur dan hak pasien, keterbatasan fasilitas dan tenaga kesehatan di daerah-daerah terpencil, waktu tunggu yang lama, serta disparitas kualitas layanan antara fasilitas kesehatan di kota dan di desa. Masalah-masalah ini membuat kepemilikan kartu tidak selalu berarti akses yang efektif dan berkualitas, terutama bagi kelompok paling rentan.52

  • Bantuan Langsung Tunai (BLT): BLT terbukti efektif sebagai instrumen respons krisis jangka pendek, seperti saat kenaikan harga BBM atau pandemi COVID-19. Program ini berhasil menopang daya beli dan membantu keluarga miskin memenuhi kebutuhan dasar mereka.55 Namun, BLT memiliki keterbatasan fundamental: sifatnya yang sementara (ad-hoc) dan tidak berkelanjutan membuatnya tidak dapat menjadi solusi untuk masalah kemiskinan struktural.57 Selain itu, pelaksanaannya seringkali diwarnai oleh masalah ketidaktepatan sasaran akibat data yang tidak akurat dan tumpang tindih.15

Secara keseluruhan, program-program ini berhasil membangun sebuah jaring pengaman sosial. Namun, jaring ini lebih berfungsi untuk mencegah orang jatuh lebih dalam, bukan untuk membantu mereka memanjat keluar dari jurang kemiskinan.

3.2 Janji yang Belum Terpenuhi: Analisis Kegagalan Implementasi Reforma Agraria

Jika bansos adalah kebijakan paliatif, maka reforma agraria adalah kebijakan transformatif yang paling fundamental. Tujuannya adalah menata ulang struktur penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan tanah yang timpang untuk menciptakan keadilan agraria.59 Kebijakan ini berpotensi langsung membongkar salah satu akar utama kemiskinan struktural di pedesaan. Namun, setelah puluhan tahun menjadi agenda nasional, implementasinya dapat dikatakan gagal total.32

Kegagalan paling nyata terlihat pada program redistribusi tanah, yang merupakan inti dari reforma agraria. Seperti yang telah disebutkan, capaian redistribusi tanah dari pelepasan kawasan hutan sangat rendah, hanya 9.26% dari target.31 Analisis mendalam menunjukkan bahwa penyebab utamanya adalah ego sektoral yang kuat antara Kementerian ATR/BPN yang mengurusi tanah non-hutan dan Kementerian LHK yang menguasai kawasan hutan. Kurangnya koordinasi, tumpang tindih regulasi, dan perbedaan prioritas antar kementerian menciptakan tembok birokrasi yang hampir tidak dapat ditembus, melumpuhkan proses yang seharusnya menjadi prioritas nasional.31 Masalah lain yang memperburuk keadaan adalah kompleksitas hukum pertanahan, maraknya konflik agraria yang tidak terselesaikan, serta minimnya keterlibatan organisasi petani dan masyarakat sipil dalam kelembagaan seperti Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA).59 Kegagalan dalam mengeksekusi kebijakan struktural yang paling krusial ini menunjukkan kurangnya kemauan politik yang serius untuk menantang status quo penguasaan aset yang timpang.

3.3 Pemberdayaan Ekonomi: Menilai Dukungan terhadap UMKM dan Inklusi Keuangan

Di bidang pemberdayaan ekonomi, pemerintah mengakui peran strategis UMKM. Berbagai program pembiayaan seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) telah diluncurkan. Namun, efektivitasnya dalam menjangkau lapisan terbawah masih terbatas. Program-program ini seringkali mensyaratkan agunan, badan hukum, dan catatan keuangan yang rapi, persyaratan yang tidak dapat dipenuhi oleh mayoritas pelaku usaha ultra mikro dan informal.34 Akibatnya, yang paling diuntungkan adalah UMKM yang sudah relatif mapan dan bankable, sementara mereka yang paling membutuhkan modal justru tidak terjangkau. Stagnasi porsi kredit perbankan untuk UMKM menunjukkan bahwa hambatan sistemik ini belum berhasil dipecahkan.35

Kesimpulan dari evaluasi ini adalah adanya ketidakseimbangan yang parah dalam implementasi kebijakan. Pemerintah lebih mampu dan mungkin lebih bersedia menjalankan program-program yang bersifat karitatif dan memberikan bantuan langsung (memberi ikan), yang secara politik lebih populis dan lebih mudah dieksekusi secara birokratis. Sebaliknya, pemerintah tampak tidak berdaya atau tidak memiliki kemauan politik untuk menjalankan kebijakan restrukturisasi yang kompleks, menantang kepentingan yang mapan, tetapi sesungguhnya lebih fundamental (memberi kail dan memastikan ada kolam untuk memancing). Keberhasilan program bansos dalam menurunkan angka kemiskinan absolut secara statistik dapat menciptakan "ilusi kemajuan", menutupi fakta bahwa struktur ketidakadilan yang menjadi akar masalah tetap tidak tersentuh. Hal ini menciptakan siklus ketergantungan jangka panjang pada bantuan negara dan gagal membangun fondasi bagi mobilitas sosial yang berkelanjutan.

Tabel 3: Ringkasan Evaluasi Program Pengentasan Kemiskinan Pemerintah

Nama Program

Tujuan Utama

Temuan Positif/Keberhasilan

Tantangan & Kegagalan Implementasi

Sifat Kebijakan

Program Keluarga Harapan (PKH)

Meningkatkan investasi modal manusia (kesehatan & pendidikan) keluarga miskin.

Meningkatkan pemanfaatan layanan kesehatan & pendidikan; mengubah perilaku kesehatan & pendidikan.

Tidak dirancang untuk mengurangi kemiskinan secara langsung; risiko menciptakan ketergantungan; perlu integrasi dengan program pemberdayaan.

Paliatif (Jaring Pengaman)

Kartu Indonesia Sehat (KIS)/JKN

Memberikan jaminan akses layanan kesehatan.

Meningkatkan cakupan jaminan kesehatan secara signifikan.

Kesenjangan kualitas layanan, distribusi faskes tidak merata, kurangnya sosialisasi, hambatan non-finansial.

Paliatif (Jaring Pengaman)

Bantuan Langsung Tunai (BLT)

Menjaga daya beli masyarakat miskin saat terjadi guncangan ekonomi.

Efektif sebagai respons krisis jangka pendek; membantu pemenuhan kebutuhan dasar.

Bersifat sementara (tidak berkelanjutan); masalah ketepatan sasaran dan akurasi data; tidak mengatasi akar masalah.

Paliatif (Jaring Pengaman)

Reforma Agraria

Menata ulang struktur kepemilikan tanah yang timpang untuk keadilan sosial.

Adanya kerangka hukum dan kelembagaan (Perpres, GTRA).

Implementasi gagal total, terutama redistribusi tanah (capaian <10% target); ego sektoral yang kuat; konflik agraria; minim partisipasi.

Transformatif (Tangga Mobilitas)

Program Pembiayaan UMKM (KUR, dll.)

Meningkatkan akses modal bagi usaha kecil dan menengah.

Membantu UMKM yang sudah bankable untuk berkembang.

Sulit diakses oleh usaha ultra mikro dan informal; porsi kredit stagnan; persyaratan yang memberatkan bagi lapisan bawah.

Transformatif (Potensial)


Bagian IV: Membangun Tangga Mobilitas: Rekomendasi Kebijakan untuk Keadilan Struktural

Mengatasi kemiskinan struktural dan mendorong mobilitas sosial memerlukan pergeseran dari kebijakan yang hanya menambal sulam menuju intervensi yang berani dan transformatif. Solusi yang diusulkan harus secara langsung membongkar "perangkap" yang telah diidentifikasi sebelumnya. Bagian ini merumuskan serangkaian rekomendasi kebijakan yang terintegrasi, berbasis bukti, dan dapat ditindaklanjuti, dengan belajar dari kegagalan masa lalu dan praktik terbaik internasional.

4.1 Reformasi Fundamental: Menata Ulang Kebijakan Ekonomi dan Distribusi Aset

Fondasi dari setiap upaya serius untuk mengatasi kemiskinan struktural adalah restrukturisasi kepemilikan aset produktif. Tanpa ini, intervensi lain akan kurang efektif.

  • Komitmen Politik untuk Reforma Agraria Sejati: Kegagalan reforma agraria bukanlah masalah teknis, melainkan masalah politik. Untuk mengatasinya, diperlukan terobosan institusional. Rekomendasinya adalah pembentukan Badan Otoritas Reforma Agraria yang bersifat ad-hoc dan berada langsung di bawah Presiden. Badan ini harus memiliki wewenang eksekutorial lintas kementerian untuk memotong jalur birokrasi dan mengatasi ego sektoral yang selama ini menjadi penghambat utama, terutama antara Kementerian ATR/BPN dan Kementerian LHK.31 Belajar dari keberhasilan negara-negara seperti Korea Selatan dan Taiwan, di mana redistribusi tanah yang masif di awal pembangunan menjadi landasan bagi industrialisasi dan peningkatan kesejahteraan, Indonesia harus menempatkan reforma agraria bukan sebagai program sampingan, melainkan sebagai pilar utama strategi pembangunan nasional.62

  • Kebijakan Ekonomi yang Berorientasi Pemerataan: Paradigma pembangunan harus bergeser dari sekadar mengejar angka pertumbuhan PDB menuju pertumbuhan yang inklusif dan berkualitas. Ini dapat diwujudkan melalui: (1) Kebijakan fiskal yang progresif, di mana instrumen pajak digunakan untuk mengurangi ketimpangan kekayaan. (2) Kebijakan industri dan investasi yang tidak hanya berfokus pada hilirisasi dan nilai tambah, tetapi juga secara eksplisit mensyaratkan keterlibatan tenaga kerja lokal, kemitraan dengan UMKM daerah, dan pembagian manfaat yang adil dengan masyarakat sekitar lokasi investasi.16

4.2 Investasi pada Generasi Mendatang: Revolusi Akses dan Kualitas Pendidikan serta Kesehatan

Memutus rantai kemiskinan antar generasi menuntut investasi besar-besaran pada modal manusia, dengan fokus pada pemerataan akses dan kualitas.

  • Pendidikan: Intervensi harus melampaui sekadar program beasiswa individual. Diperlukan investasi masif pada sisi suplai, yaitu perbaikan infrastruktur sekolah dan peningkatan kualitas serta distribusi guru secara merata, terutama di daerah 3T.47 Untuk pendidikan tinggi, pemerintah dapat mempertimbangkan penerapan kebijakan afirmatif yang terukur untuk menjamin kuota bagi siswa berprestasi dari keluarga miskin dan daerah tertinggal, mengambil pelajaran dari pengalaman Brazil dalam memperluas akses universitas bagi kelompok kurang beruntung.68 Selain itu, kurikulum pendidikan vokasi harus direvitalisasi agar selaras dengan kebutuhan pasar kerja lokal dan nasional.67

  • Kesehatan: Fokus harus diberikan pada penguatan sistem kesehatan primer di tingkat komunitas, yaitu Puskesmas dan Pustu, sebagai garda terdepan pelayanan kesehatan. Ini mencakup pemerataan distribusi tenaga kesehatan melalui skema insentif yang menarik, serta pemenuhan standar fasilitas dan obat-obatan di seluruh pelosok negeri. Implementasi JKN-KIS harus terus dievaluasi dan diperbaiki untuk memastikan program ini benar-benar menghilangkan seluruh hambatan, baik finansial maupun non-finansial, bagi masyarakat miskin dalam mengakses layanan yang mereka butuhkan.67

4.3 Menciptakan Peluang Ekonomi Inklusif: Dari Sektor Informal ke Pekerjaan Formal

Pekerjaan yang layak adalah jalan keluar paling berkelanjutan dari kemiskinan. Kebijakan harus diarahkan untuk menciptakan lebih banyak pekerjaan berkualitas dan memberdayakan mereka yang terjebak di sektor informal.

  • Pemberdayaan UMKM dan Ultra Mikro: Pemerintah perlu merancang skema pembiayaan yang secara spesifik menargetkan usaha ultra mikro dan informal yang tidak bankable. Ini bisa berupa perluasan lembaga keuangan mikro (LKM) yang didukung pemerintah, penyederhanaan prosedur perizinan hingga tingkat paling dasar (misalnya, Nomor Induk Berusaha), serta penyediaan program pendampingan dan pelatihan manajemen usaha secara masif di tingkat desa/kelurahan.67

  • Formalisasi Bertahap dan Insentif: Daripada pendekatan punitif, pemerintah harus mendorong formalisasi secara bertahap dengan memberikan insentif, seperti kemudahan registrasi usaha, keringanan pajak pada tahun-tahun awal, dan yang terpenting, membuka akses bagi pekerja informal untuk masuk ke dalam sistem jaminan sosial ketenagakerjaan.

  • Pengembangan Ekonomi Lokal: Mengidentifikasi dan mendukung pengembangan sektor-sektor unggulan yang padat karya dan berbasis sumber daya lokal di kantong-kantong kemiskinan, seperti pertanian organik, perikanan berkelanjutan, atau ekowisata berbasis masyarakat.47

4.4 Menyambung yang Terputus: Pembangunan Infrastruktur yang Merata dan Berkeadilan

Pembangunan infrastruktur harus secara sadar diarahkan sebagai alat untuk mengurangi ketimpangan spasial. Prioritas harus diberikan pada pembangunan infrastruktur dasar (jalan desa, jembatan, air bersih, sanitasi, listrik, dan internet) di daerah-daerah tertinggal dan terisolasi. Konektivitas ini akan membuka akses pasar bagi produsen lokal, menurunkan biaya hidup, dan memungkinkan akses yang lebih baik ke layanan pendidikan dan kesehatan, sehingga secara langsung membongkar perangkap geografis.47

4.5 Merancang Ulang Jaring Pengaman Sosial: Dari Bantuan Menuju Pemberdayaan

Program bantuan sosial harus ditransformasikan dari sekadar jaring pengaman menjadi bagian dari tangga mobilitas.

  • Integrasi Data dan Program: Langkah pertama adalah perbaikan fundamental pada basis data penerima bantuan. Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) harus terus diperbarui, diverifikasi, dan diintegrasikan secara digital di tingkat nasional dan daerah untuk memastikan ketepatan sasaran, mengurangi exclusion dan inclusion error, serta menghindari tumpang tindih program.58

  • Menciptakan "Jalur Kelulusan" (Graduation Pathway): Program bansos seperti PKH harus diintegrasikan secara sistematis dengan program pemberdayaan ekonomi. Setiap keluarga penerima manfaat (KPM) yang memiliki anggota usia produktif harus dipetakan potensinya dan dihubungkan dengan program yang relevan: pelatihan kerja dari Kemenaker, akses modal usaha dari Kemenkop UKM, atau program padat karya dari Kemendes PDTT. Tujuannya adalah untuk menciptakan jalur keluar yang jelas dari kemiskinan dan ketergantungan bantuan, sebuah pendekatan yang dikenal sebagai graduation approach.51 Model Conditional Cash Transfer seperti Bolsa Família di Brazil, yang dalam jangka panjang menunjukkan dampak positif pada partisipasi di pasar kerja formal, dapat menjadi rujukan.72

Tabel 4: Matriks Rekomendasi Kebijakan untuk Mendorong Mobilitas Sosial

Area Intervensi

Rekomendasi Kebijakan Spesifik

Aktor Utama

Indikator Keberhasilan

Kaitan dengan Masalah Struktural

Distribusi Aset

Membentuk Badan Otoritas Reforma Agraria di bawah Presiden untuk mempercepat redistribusi tanah dari kawasan hutan & HGU terlantar.

Presiden, Kemenko Perekonomian, ATR/BPN, LHK, Kemendes.

Jangka Pendek: Peningkatan signifikan capaian redistribusi tanah. Jangka Panjang: Penurunan Indeks Gini kepemilikan tanah.

Mengatasi perangkap modal ekonomi (ketimpangan aset tanah).

Modal Manusia (Pendidikan)

Investasi masif pada infrastruktur & kualitas guru di daerah 3T. Menerapkan kebijakan afirmatif untuk akses PT bagi siswa miskin.

Kemendikbud Ristek, Kemenag, Pemda.

Jangka Pendek: Peningkatan rasio guru-murid & kualitas sekolah di daerah 3T. Jangka Panjang: Meningkatkan APK PT, penurunan korelasi antara latar belakang ekonomi & capaian pendidikan.

Mengatasi perangkap modal manusia (pendidikan).

Modal Manusia (Kesehatan)

Memperkuat Puskesmas dengan pemerataan nakes & fasilitas. Memastikan implementasi JKN-KIS yang efektif & merata.

Kemenkes, BPJS Kesehatan, Pemda.

Jangka Pendek: Penurunan unmet need pelayanan kesehatan. Jangka Panjang: Peningkatan Angka Harapan Hidup & penurunan angka stunting di daerah miskin.

Mengatasi perangkap modal manusia (kesehatan).

Peluang Ekonomi

Menciptakan skema kredit mikro yang mudah diakses usaha informal/ultra mikro. Memberi insentif untuk formalisasi bertahap.

Kemenkop UKM, Kemenkeu, BI, OJK, Pemda.

Jangka Pendek: Peningkatan jumlah pelaku usaha mikro yang mendapat pembiayaan formal. Jangka Panjang: Peningkatan porsi tenaga kerja di sektor formal, peningkatan pendapatan UMKM.

Mengatasi perangkap pasar kerja dan modal finansial.

Infrastruktur & Konektivitas

Memprioritaskan pembangunan infrastruktur dasar (jalan, air, listrik, internet) di pedesaan dan wilayah terisolasi.

Kementerian PUPR, Kemendes, Kominfo, PLN.

Jangka Pendek: Peningkatan rasio desa berlistrik & terkoneksi internet. Jangka Panjang: Penurunan biaya logistik dari desa ke kota, penurunan kesenjangan tingkat kemiskinan desa-kota.

Mengatasi perangkap geografis.

Perlindungan Sosial

Mengintegrasikan bansos (PKH) dengan program pemberdayaan ekonomi untuk menciptakan "jalur kelulusan" dari kemiskinan.

Kemensos, Kemenko PMK, Bappenas, Kemnaker.

Jangka Pendek: Peningkatan jumlah KPM PKH yang mengikuti pelatihan kerja/memulai usaha. Jangka Panjang: Peningkatan jumlah keluarga yang "lulus" dari program bansos secara mandiri.

Mengubah jaring pengaman menjadi tangga mobilitas.


Bagian V: Kesimpulan: Menuju Indonesia yang Lebih Adil dan Setara

Analisis yang telah dipaparkan dalam laporan ini membawa pada satu kesimpulan utama yang tidak dapat dielakkan: kemiskinan yang persisten di Indonesia bukanlah sebuah anomali atau kegagalan individual, melainkan sebuah konsekuensi logis dari struktur sosial, ekonomi, dan politik yang timpang. Kesulitan masyarakat miskin untuk "naik kelas" bukan disebabkan oleh kurangnya etos kerja, melainkan oleh ketiadaan tangga yang dapat mereka panjat. Tangga mobilitas sosial itu telah patah oleh serangkaian perangkap yang saling mengunci—mulai dari ketidaksetaraan akses terhadap pendidikan dan kesehatan yang berkualitas, kegagalan negara dalam mendistribusikan aset produktif seperti tanah, hingga struktur pasar kerja yang menjebak mayoritas dalam sektor informal yang rentan.

Evaluasi terhadap kebijakan yang ada menunjukkan sebuah paradoks. Pemerintah telah berhasil membangun jaring pengaman sosial yang luas melalui program-program bantuan langsung. Intervensi paliatif ini krusial untuk meredam dampak terburuk dari kemiskinan dan menjaga stabilitas sosial. Namun, keberhasilan ini tidak boleh menjadi ilusi kemajuan yang menutupi kegagalan fundamental dalam menjalankan kebijakan transformatif. Program-program yang bertujuan membongkar akar ketidakadilan struktural, terutama reforma agraria, terbukti macet di tingkat implementasi, terhambat oleh ego sektoral dan kurangnya kemauan politik yang kuat. Akibatnya, negara lebih banyak berperan sebagai "pemadam kebakaran" daripada "arsitek" sebuah tatanan sosial yang lebih adil.

Oleh karena itu, jalan ke depan menuntut sebuah pergeseran paradigma yang radikal. Fokus kebijakan harus bergeser dari sekadar mengelola kemiskinan menuju upaya sungguh-sungguh untuk memberantasnya dari akarnya. Ini berarti menempatkan kebijakan-kebijakan transformatif sebagai pusat dari strategi pembangunan nasional. Reforma agraria sejati dan investasi masif pada modal manusia di daerah-daerah tertinggal harus menjadi pilar utamanya, bukan lagi sekadar program pelengkap.

Pada akhirnya, tantangan terbesar bukanlah bersifat teknis, melainkan politis. Melaksanakan agenda keadilan struktural berarti harus berhadapan dengan kepentingan-kepentingan mapan yang selama ini diuntungkan oleh status quo. Ini memerlukan kemauan politik yang luar biasa dari level tertinggi pemerintahan, serta reformasi tata kelola yang serius untuk memastikan birokrasi bekerja secara terkoordinasi, transparan, dan akuntabel. Memutus rantai kemiskinan struktural adalah sebuah tugas monumental, namun ini bukanlah pilihan, melainkan sebuah keharusan. Ini adalah investasi jangka panjang yang paling esensial untuk tidak hanya menumbuhkan ekonomi, tetapi juga untuk membangun sebuah bangsa yang lebih adil, setara, dan sesuai dengan cita-cita keadilan sosial yang termaktub dalam konstitusi Republik Indonesia.

Daftar Pustaka

  1. Kemiskinan struktural dalam proses pembangunan: dominasi ...,  https://lib.ui.ac.id/detail?id=20435744&lokasi=lokal

  2. Ciri-Ciri Kemiskinan- Desa Cigentur,  https://www.cigentur.desa.id/index.php/artikel/2019/1/24/tahukan-anda-dimensiciri-ciri-kemiskinan

  3. Pengertian Kemiskinan, Jenis, dan Dampaknya - Lestari - Kompas.com,  https://lestari.kompas.com/read/2023/05/10/140000586/pengertian-kemiskinan-jenis-dan-dampaknya

  4. Pembahasan kemiskinan struktural menjadi penting dalam ...,  http://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=95426&val=5046&title=RESPON%20PETANI%20ATAS%20KEMISKINAN%20STRUKTURAL%20Kasus%20Desa%20Perkebunan%20dan%20Desa%20Hutan

  5. BAB II Kajian Teori,  http://digilib.uinsa.ac.id/1564/5/Bab%202.pdf

  6. Definisi Kemiskinan Struktural Lengkap dengan Ciri dan Faktor Penyebabnya - detikcom,  https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5817212/definisi-kemiskinan-struktural-lengkap-dengan-ciri-dan-faktor-penyebabnya

  7. Contoh Bentuk Kemiskinan Relatif, Absolut, Struktural, dan Kultural - Kompas.com,  https://www.kompas.com/skola/read/2021/11/16/140000269/contoh-bentuk-kemiskinan-relatif-absolut-struktural-dan-kultural

  8. Apa itu Kemiskinan Struktural, Penyebab, Contoh, Dampak dan Solusinya - Pijar Belajar,  https://www.pijarbelajar.id/blog/apa-itu-kemiskinan-struktural

  9. Perbedaan Kemiskinan Struktural dan Kemiskinan Kultural - Blog Insan Bumi Mandiri,  https://blog.insanbumimandiri.org/perbedaan-antara-kemiskinan-struktural-dan-kultural/

  10. Pengertian Kemiskinan, Jenis-jenis, dan Cara Mengukurnya | kumparan.com,  https://kumparan.com/pengertian-dan-istilah/pengertian-kemiskinan-jenis-jenis-dan-cara-mengukurnya-20mF61SWRvZ

  11. Kemiskinan Struktural Terhadap Masyarakat Marginal: Studi Kasus di Pemukiman Pemulung Wilayah Bintara Jaya, Bekasi Barat,  https://ifrelresearch.org/index.php/jipsoshum-widyakarya/article/download/5282/5300/23180

  12. Memahami Kemiskinan secara Multidimensional - Neliti,  https://media.neliti.com/media/publications/22327-ID-memahami-kemiskinan-secara-multidimensional.pdf

  13. pengenalan indikator kemiskinan dan ketimpangan - BAPPEDA JABAR,  https://bappeda.jabarprov.go.id/wp-content/uploads/2023/10/05.-Pengenalan-Indikator-Kemiskinan-dan-Ketimpangan-BPS.pdf

  14. Faktor Penyebab Kemiskinan dan Dampaknya - Gramedia,  https://www.gramedia.com/literasi/penyebab-kemiskinan/

  15. Kemiskinan Struktural di Karangasem: Menganalisis Penyebab dan Intervensi Pemerintah,  https://jurnal.stialan.ac.id/index.php/gg/article/view/745/477

  16. Kemiskinan Struktural: Pengertian, Penyebab, dan Cirinya - Tirto.id,  https://tirto.id/pengertian-kemiskinan-struktural-penyebabnya-dan-cirinya-g2Gj

  17. Sejarah Perkembangan Kebijakan Ekonomi Pada Masa Orde Baru dan Pengaruh Krisis Moneter terhadap Perekonomian Indonesia - ResearchGate,  https://www.researchgate.net/publication/383214103_Sejarah_Perkembangan_Kebijakan_Ekonomi_Pada_Masa_Orde_Baru_dan_Pengaruh_Krisis_Moneter_terhadap_Perekonomian_Indonesia

  18. Indonesia Keajaiban Orde Baru - Presiden Suharto,  https://www.indonesia-investments.com/id/budaya/ekonomi/keajaiban-orde-baru/item247

  19. 6 Kebijakan Ekonomi Orde Baru dan Dampaknya bagi Indonesia | kumparan.com,  https://kumparan.com/sejarah-dan-sosial/6-kebijakan-ekonomi-orde-baru-dan-dampaknya-bagi-indonesia-21pV4ss1YL6

  20. Soeharto Dalang Segala Bencana dan Ketimpangan Sosial di Indonesia - Tirto.id,  https://tirto.id/soeharto-dalang-segala-bencana-dan-ketimpangan-sosial-di-indonesia-danW

  21. Mobilitas Sosial di Indonesia - UI Scholars Hub - Universitas Indonesia,  https://scholarhub.ui.ac.id/cgi/viewcontent.cgi?article=1043&context=mjs

  22. akses dan partisipasi pendidikan tinggi yang lebih inklusif - DPR RI,  https://berkas.dpr.go.id/pusaka/files/info_singkat/Info%20Singkat-XVII-4-II-P3DI-Februari-2025-232.pdf

  23. Analisis Kebijakan Pengentasan Kemiskinan Di Indonesia,  https://ejournal.ipdn.ac.id/index.php/JPPDP/article/view/384/217

  24. Pengertian Kemiskinan: Jenis, Penyebab dan Dampaknya – Gramedia Literasi,  https://www.gramedia.com/literasi/kemiskinan/

  25. Jurnal Hei Ema, Vol. 3 No. 2, Tahun 2024 E-Issn: 2828-8033 Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Kemiskinan Di Indonesia,  https://jurnal.stisalhilalsigli.ac.id/index.php/jhei/article/download/233/172/809

  26. Pengaruh Ketimpangan Sosial Ekonomi terhadap ... - Jurnal DPR RI,  https://jurnal.dpr.go.id/index.php/aspirasi/article/download/3260/pdf?csrt=512948370414179412

  27. Kemiskinan Perdesaan dan Perkotaan: Sebuah Literature Review,  https://ojs.pseb.or.id/index.php/jmh/article/download/1365/1064

  28. Persentase Unmet Need Pelayanan Kesehatan Menurut Provinsi - Badan Pusat Statistik,  https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/MTQwMiMy/unmet-need-pelayanan-kesehatan-menurut-provinsi.html

  29. Ketidakmerataan Fasilitas Kesehatan dan Tenaga Kesehatan di Indonesia - Kompasiana.com,  https://www.kompasiana.com/nabhan2104/64f055574addee637b69e5e2/ketidakmerataan-fasilitas-kesehatan-dan-tenaga-kesehatan-di-indonesia

  30. Pengertian Kemiskinan Struktural, Ciri-ciri, dan Contoh - Modal Rakyat,  https://www.modalrakyat.id/blog/kemiskinan-struktural

  31. Reforma agraria dan tembok ego sektoral: merumuskan alternatif ...,  https://bhl-jurnal.or.id/index.php/bhl/article/download/157/180/635

  32. Beberapa Permasalahan dalam Pelaksanaan Reformasi Agraria di Indonesia,  https://www.researchgate.net/publication/320588085_Beberapa_Permasalahan_dalam_Pelaksanaan_Reformasi_Agraria_di_Indonesia

  33. Peningkatan Akses Permodalan bagi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) - Universitas Islam Balitar,  https://ejournal.unisbablitar.ac.id/index.php/transgenera/article/download/3795/1920/13741

  34. Tantangan dan Peluang Pemberdayaan UMKM di Indonesia: Antara Regulasi, Akses Permodalan, dan Digitalisasi - E-Jurnal,  https://e-jurnal.unisda.ac.id/index.php/MADANI/article/download/9002/3604/

  35. Mendorong Inklusi Keuangan UMKM - Direktorat Jenderal Strategi ...,  https://fiskal.kemenkeu.go.id/files/warta-fiskal/file/1674223131_wf3-rev.pdf

  36. Laporan Kajian Program Bantuan Modal Usaha Mikro - Direktorat Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal,  https://fiskal.kemenkeu.go.id/files/berita-kajian/file/V5-compile%20laporan%20kajian%20BPUM.pdf

  37. Kemiskinan di Indonesia yang Tak Kunjung Usai - JDIH Kabupaten Sukoharjo,  https://jdih.sukoharjokab.go.id/berita/detail/kemiskinan-di-indonesia-yang-tak-kunjung-usai

  38. karakteristik kepala rumah tangga perempuan dalam pekerjaan sektor informal characteristics of female - Sosio Informa,  https://ejournal.poltekesos.ac.id/index.php/Sosioinforma/article/download/2494/1285/9965

  39. Karakteristik dan Analisis Pendapatan Pekerja Sektor Informal di Sekitar Pasar Kembang, Sosromenduran, Gedongtengen - Neliti,  https://media.neliti.com/media/publications/260727-none-993bb1c4.pdf

  40. Pengangguran Terbuka di Indonesia Menurut Pendidikan dan Jenis Kelamin Tahun 2024 - Satudata Kemnaker | Portal Data Ketenagakerjaan RI,  https://satudata.kemnaker.go.id/infografik/94

  41. Penganggur terbuka menurut tingkat pendidikan - Disnaker Sumut,  https://disnaker.sumutprov.go.id/data-pengangguran-terbuka-tingkat-pendidikan

  42. Pengangguran Berpendidikan Meningkat, Pakar UGM Sebut Ekspor Tenaga Kerja jadi Solusi,  https://ugm.ac.id/id/berita/pengangguran-berpendidikan-meningkat-pakar-ugm-sebut-ekspor-tenaga-kerja-jadi-solusi/

  43. Analisis Penyebab, Konsekuensi dan Solusi Potret Kemiskinan di Indonesia Pasca Era Reformasi,  https://jurnaluniv45sby.ac.id/index.php/Trending/article/download/2533/2099/7775

  44. Bagaimana Mencegah Peningkatan Ketimpangan dalam Desa?,  https://smeru.or.id/en/file/2334/download?token=D1XXKUws

  45. Dinamika Ketimpangan dan Penghidupan di Perdesaan Indonesia, 2006-2016 - The SMERU Research Institute,  https://www.smeru.or.id/sites/default/files/publication/wptifa1ketimpangandesa_id.pdf

  46. Ketimpangan Antar Wilayah Masih Jadi Tantangan Pembangunan Nasional,  https://ugm.ac.id/id/berita/18662-ketimpangan-antar-wilayah-masih-menjadi-tantangan-pembangunan-nasional/

  47. Analisis Wilayah dengan Kemiskinan Tinggi - Perpustakaan Digital Kementerian PPN/Bappenas,  https://perpustakaan.bappenas.go.id/e-library/file_upload/koleksi/migrasi-data-publikasi/file/Unit_Kerja/Deputi_Bidang_Kependudukan_dan_Ketenagakerjaan/Direktorat-Penanggulangan-Kemiskinan-dan-Pemberdayaan-Masyarakat/Analisis%20Wilayah%20dengan%20Kemiskinan%20Tinggi.pdf

  48. BPS: Proporsi pekerja informal di Indonesia naik 59,40 persen - ANTARA News,  https://www.antaranews.com/berita/4814169/bps-proporsi-pekerja-informal-di-indonesia-naik-5940-persen

  49. PKH Conditional Cash Transfer - World Bank Documents,  https://documents1.worldbank.org/curated/en/845441468258848819/pdf/673090WP00PUBL0Background0Paper0060.pdf

  50. Evaluasi Kebijakan Perlindungan Sosial Dan Pengentasan Kemiskinan Melalui Program Keluarga Harapan (PKH) - Politeknik STIA LAN Jakarta,  https://jurnal.stialan.ac.id/index.php/jpap/article/view/688/451

  51. Penguatan Peluang Ekonomi Keluarga Penerima Program Keluarga Harapan: Studi Kasus di Empat Kabupaten di Jawa | The SMERU Research Institute,  https://smeru.or.id/id/publication-id/penguatan-peluang-ekonomi-keluarga-penerima-program-keluarga-harapan-studi-kasus-di

  52. Implementasi program kartu indonesia sehat (KIS) pada kelurahan pasar baru kecamatan sei tualang raso kota tanjungbalai,  https://repositori.uma.ac.id/bitstream/123456789/14140/1/171801069-%20Naomi%20Rahmawati%20-%20Fulltext.pdf

  53. Implementasi Program Kartu Indonesia Sehat (KIS) Dalam Penggunaan Pembiayaan Kesehatan di Puskesmas Simalingkar Implementation - Universitas Muhammadiyah Palu,  https://jurnal.unismuhpalu.ac.id/index.php/JKS/article/download/5536/4250/

  54. Pancasila: Jurnal Keindonesiaan,  https://ejurnalpancasila.bpip.go.id/index.php/PJK/article/download/743/113/2666

  55. Peran Bantuan Langsung Tunai (BLT) dalam Meningkatkan Sistem Jaminan Sosial - APPISI,  https://journal.appisi.or.id/index.php/sosial/article/download/482/757/2778

  56. efektivitas bantuan langsung tunai dana desa bagi masyarakat miskin terkena dampak covid-19 di - E-Journal UNSRAT,  https://ejournal.unsrat.ac.id/v2/index.php/politico/article/download/30702/29514

  57. Efektivitas Penyaluran Bantuan Langsung Tunai Kepada Masyarakat Miskin di Masa Pandemi Covid-19 - ResearchGate,  https://www.researchgate.net/publication/359800972_Efektivitas_Penyaluran_Bantuan_Langsung_Tunai_Kepada_Masyarakat_Miskin_di_Masa_Pandemi_Covid-19

  58. Ogi News - Open Government Indonesia - Bappenas,  https://ogi.bappenas.go.id/storage/files/news/C5GZZnX1oXbrwsBYdptMrAIKd4oJ0szvDoAhM9Fs.pdf

  59. Strategi Kebijakan Reforma Agraria dalam Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat yang Berkeadilan Sosial dengan Berasaskan Konstitusi - Jurnal Hukum Lex Generalis,  https://ojs.rewangrencang.com/index.php/JHLG/article/download/308/170/1340

  60. Beberapa Problem Reforma Agraria - Forest Digest,  https://www.forestdigest.com/detail/1501/problem-reforma-agraria

  61. Perbaikan Sistem Bagi Hasil Sebagai Strategi Prospektif Reforma Agraria - Analisis Kebijakan : Konsep Dasar Dan Prosedur Pelaksanaan,  https://epublikasi.pertanian.go.id/berkala/akp/article/download/958/930/1477

  62. Tiru Tiga Negara Ini Agar RI Berhasil Lakukan Reforma Agraria - Indo Premier Sekuritas,  https://www.indopremier.com/ipotnews/newsDetail.php?jdl=Tiru_Tiga_Negara_Ini_Agar_RI_Berhasil_Lakukan_Reforma_Agraria&news_id=76435&group_news=IPOTNEWS&news_date=&taging_subtype=PERKEBUNAN&name=&search=y_general&q=perkebunan,pertanian&halaman=

  63. Kertas Kebijakan - Konsorsium Pembaruan Agraria - KPA,  https://www.kpa.or.id/image/2024/11/lampiran-i-kertas-kebijakan-ruu-ra-kpa.pdf

  64. Reforma Agraria. Sejarah Konsep dan Implementasi - ResearchGate,  https://www.researchgate.net/publication/343149830_Reforma_Agraria_Sejarah_Konsep_dan_Implementasi

  65. Bappenas: Hilirisasi dan Penguatan Industri Kunci Pemerintah Atasi Ketimpangan Ekonomi,  https://bappenas.go.id/id/berita/bappenas-hilirisasi-dan-penguatan-industri-kunci-pemerintah-atasi-ketimpangan-ekonomi-fjlOC

  66. Kebijakan Pengentasan Kemiskinan di Indonesia: Sebuah Fakta di Indonesia - Open Journal Systems,  https://ojs.daarulhuda.or.id/index.php/Socius/article/download/745/790

  67. Panduan Penanggulangan Kemiskinan Ekstrem Bab Iii Kebijakan Saat Ini,  https://sepakat-demo.bappenas.go.id/wiki/PANDUAN_PENANGGULANGAN_KEMISKINAN_EKSTREM_BAB_III_KEBIJAKAN_SAAT_INI

  68. Social Mobility and Higher Education in Brazil - Institute for Research on Labor and Employment,  https://irle.berkeley.edu/wp-content/uploads/2024/02/FEINMANNJAVIER_SOCIALMOBILITYANDHIGHEREDUCATIONINBRAZIL.pdf

  69. upaya penanggulangan kemiskinan melalui pemberdayaan usaha mikro kecil dan menengah the efforts of,  https://ejournal.kemensos.go.id/index.php/Sosioinforma/article/download/235/1341/2158

  70. Rencana Penanggulangan Kemiskinan Daerah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2023-2026,  https://bappeda.jakarta.go.id/wp-content/uploads/2023/12/KEPGUB_NO_862_TH_2023_RENCANA-PENANGGULANGAN-KEMISKINAN-DAERAH-PROVINSI-DKI-JAKARTA-TAHUN-2023-2026-LAMPIRAN.pdf

  71. Accelerating the implementation of social welfare through inclusive social protection - The World Bank,  https://thedocs.worldbank.org/en/doc/15f75c2212bc4df3aa1fc764e8af7346-0070012024/related/Mr-Robben-Rico-Kemensos-ENG.pdf

  72. Social Mobility in Brazil:,  https://imdsbrasil.org/wp-content/uploads/2024/04/ImdsA005-2023-SocialMobilityBrazil-AnAnalysisOfTheFirstGenerationOfBeneficiariesOfTheBolsaFamiliaProgram.pdf

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menempa Akal untuk Mengubah Dunia dengan Panduan Berpikir Kritis ala Madilog

Pendahuluan: Lahirnya Sebuah Alat Berpikir Pada pertengahan tahun 1942, di tengah suasana politik yang membara di bawah pendudukan Jepang, seorang buronan revolusioner bernama Tan Malaka memulai sebuah proyek intelektual yang ambisius. Dalam kesendirian dan persembunyiannya di Rawajati, Jakarta, ia merenungkan sebuah pertanyaan mendasar: dari mana seorang pejuang harus memulai? Di tengah gegap gempita perubahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, ia tidak memilih menulis pamflet politik yang membakar, melainkan memutuskan untuk menempa sebuah senjata yang lebih fundamental: sebuah cara berpikir. Buku yang lahir dari perenungan ini, Madilog , bukanlah sekadar kumpulan gagasan, melainkan sebuah cetak biru untuk merombak fondasi intelektual bangsanya. Pendahuluan buku ini adalah jendela untuk memahami urgensi, kondisi, dan tujuan dari kelahiran mahakarya tersebut. Di Bawah Bayang-Bayang Samurai sebagai Sebuah Titik Mula Untuk memahami mengapa Madilog ditulis, kita harus terlebih dahulu mem...

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia Dalam kancah kehidupan bernegara, hukum acapkali hadir sebagai entitas yang paradoks. ia adalah cita-cita luhur keadilan yang terukir dalam konstitusi, namun pada saat yang sama, ia juga merupakan realitas pragmatis yang beradaptasi dengan dinamika sosial-politik yang tak terduga. Di Indonesia, sebuah negara kepulauan yang kaya akan keberagaman dan gejolak, hukum seringkali terasa "mengawang" di tengah idealisme normatif, tetapi kemudian "membumi" dalam praktik penegakan yang sarat kepentingan dan interpretasi. Fenomena ini menciptakan ketegangan abadi antara norma yang seharusnya dan fakta yang senyatanya, sebuah dialektika yang menuntut pemahaman mendalam melampaui sekadar teks perundang-undangan. Esai ini hadir untuk menjembatani jurang antara idealisme filosofis dan realitas konstitusional di Indonesia, sebuah upaya untuk mengurai benang kusut yang melingkupi berbagai i...

Membaca Ulang Peta Pemikiran Karl Marx di Era Digital

Ada hantu bergentayangan di nusantara—hantu Marxisme . Selama lebih dari tiga dekade, hantu ini tidak sekadar menakut-nakuti; ia menjadi justifikasi bagi tumpahnya darah, air mata, dan pedih yang tak terperi . Siapapun yang "dipertautkan" dengannya, atau sekadar "dipersangkakan" sebagai pengikutnya, harus menanggung akibat yang mengerikan . Pelarangan total atas ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme sejak 1965 ( TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 ) bukan hanya sebuah kebijakan politik, melainkan operasi ideologis berskala masif untuk menciptakan lobotomi intelektual . Akibatnya, seperti yang disiratkan dalam pengantar buku Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx , pemikiran sosial kita menjadi tumpul dan kering . Kita kehilangan mitra dialog yang tajam, sebuah cermin kritis untuk menguji ideologi-ideologi lain yang hidup di republik ini . Maka, mengabaikan pemikiran Karl Marx, dalam konteks ini, bukan lagi pilihan, melainkan sebuah "kecelakaan ilmiah"...