Setiap hari, kita semua menapaki garis tipis antara kebenaran dan kepalsuan. Kita sepakat mengutuk dusta, tetapi sering kali mendapati bahwa sifatnya jauh lebih rumit daripada sekadar hitam dan putih. Di tengah kebingungan modern ini, kebijaksanaan sering kali datang dari masa lalu, dari pemikir yang telah merenungkannya secara mendalam.
Salah satu panduan paling tajam datang dari ulama, sastrawan, dan filsuf besar Indonesia, Buya HAMKA. Dalam karyanya yang tak lekang oleh waktu, "Bohong di Dunia," beliau tidak hanya membahas larangan berbohong. Jauh lebih dalam, beliau mengupasnya sebagai sebuah pertarungan filosofis antara dua jenis jiwa: jiwa yang merdeka dan jiwa budak. Kejujuran, bagi HAMKA, adalah inti dari kemerdekaan jiwa, sementara kebohongan adalah gejalanya yang paling nyata.
Melalui lensa inilah, kita akan menggali lima wawasan paling berdampak dan mengejutkan dari buku klasik tersebut. Kita akan menemukan bahwa memahami bohong bukan sekadar soal akhlak, tetapi juga tentang psikologi, keberanian, imajinasi, dan pada akhirnya, tentang pembebasan diri kita sendiri.
1. Ternyata, Ada Bohong yang Diizinkan (Bahkan Dianjurkan)
Wawasan pertama ini mungkin yang paling mengejutkan. Islam, agama yang sangat keras menentang ketidakjujuran, ternyata mengizinkan kebohongan dalam kondisi yang sangat spesifik dan terbatas. HAMKA, mengutip para ulama, menyebutnya sebagai Alkizbul halal atau dusta yang halal.
Menurut hadis yang diriwayatkan oleh Ummi Kalsum, Nabi Muhammad SAW. hanya mengizinkan kebohongan dalam tiga keadaan:
- Untuk mendamaikan dua pihak yang berselisih. Ketika tujuan mulia perdamaian tidak dapat dicapai dengan kata-kata yang sepenuhnya benar.
- Sebagai tipu muslihat dalam peperangan. Strategi untuk mengelabui musuh demi mencapai kemenangan dianggap sebagai bagian dari taktik yang sah.
- Di antara suami dan istri untuk menjaga keharmonisan. Pujian atau bujuk rayu yang bertujuan mempererat ikatan diperbolehkan. Contohnya, seperti yang digambarkan HAMKA, adalah ucapan suami kepada istrinya,
"Engkau paling cantik di dunia ini wahai adinda! Masakanmu paling enak."
Mengapa pengecualian ini ada? Imam Al-Ghazali, yang pemikirannya banyak dirujuk HAMKA, memberikan prinsip dasarnya: jika sebuah tujuan yang baik dan wajib tidak dapat tercapai dengan kejujuran tetapi bisa dicapai dengan kebohongan, maka berbohong saat itu diizinkan. Logikanya adalah untuk meraih kemaslahatan yang lebih besar. Namun, Al-Ghazali juga memberi peringatan: kebohongan ini tidak boleh digunakan secara berlebihan. Ini bukanlah lisensi untuk menipu, melainkan sebuah keputusan matang yang hanya bisa diambil oleh jiwa merdeka yang memahami prioritas kebaikan yang lebih tinggi.
2. Kebohongan Terbesar Bukanlah Kata-kata, Melainkan Tindakan
HAMKA mengajak kita untuk memperluas definisi "bohong" melampaui ucapan lisan. Menurutnya, kebohongan terbesar bukanlah dusta verbal, melainkan tindakan yang mengingkari hakikat kebenaran itu sendiri. Sebuah tindakan menipu adalah kebohongan terhadap tatanan fundamental realitas, sebuah pengkhianatan yang jauh lebih dalam daripada sekadar kata-kata palsu.
Contoh paling sederhana yang diangkat adalah tindakan mencuri. Aksi seorang pencuri adalah sebuah "dusta perbuatan" karena ia secara keliru mengklaim kepemilikan atas sesuatu yang bukan miliknya. Seperti yang ditulis HAMKA, "Itu adalah suatu perbuatan mendustai hakikat sebenarnya." Dengan kata lain, ia mencoba memaksakan sebuah realitas yang tidak ada menjadi ada.
Pandangan ini diperkuat dengan mengutip para filsuf seperti Clarke, Wollatson, dan Stephen, yang berpendapat bahwa semua kejahatan moral pada intinya adalah kebohongan terhadap kebenaran absolut. Setiap perbuatan jahat adalah upaya untuk menegaskan sesuatu yang tidak benar. Wollatson merumuskannya dengan indah:
"Suatu perbuatan baik yang dikerjakan atas dasar akhlak, artinya ialah suatu pengakuan atas kebenaran."
Bagi jiwa yang merdeka, tindakan adalah cerminan dari kebenaran internal. Sebaliknya, jiwa budak menggunakan tindakan sebagai topeng untuk menyangkal realitas demi keuntungan sesaat.
3. 'Bohong' pada Anak-Anak Seringkali Bukan Dosa, Melainkan Gerbang Imajinasi
Orang tua mana yang tidak pernah pusing menghadapi cerita-cerita fantastis anaknya? HAMKA, melalui kajian ilmu jiwa, memberikan perspektif yang menenangkan. Ia mengidentifikasi tiga penyebab utama kebohongan pada anak: kekayaan khayal (fantasi), ketakutan, dan niat jahat.
Dari ketiganya, yang paling umum dan sering disalahpahami adalah imajinasi. Ini bukanlah gejala kerusakan moral, melainkan tanda pikiran yang sedang berkembang subur. Khayalan inilah yang menjadi akar dari kreativitas, puisi, dan seni. Dalam bab selanjutnya, HAMKA bahkan memperkuat argumen ini dengan data kuantitatif dari studi Ferriani yang menemukan 488 kasus "bohong" anak disebabkan oleh fantasi.
Lalu, bagaimana seharusnya orang tua bersikap? Psikolog Richter, yang dikutip dalam buku ini, memberikan nasihat praktis: jangan pernah menuduh anak dengan keras, seperti mengatakan, "Engkau bohong!". Sebaliknya, bimbinglah ia dengan lembut untuk membedakan fantasi dan realitas. Katakan sesuatu seperti, "Ah, engkau suka main-main, mana bisa begitu". Cara ini memvalidasi imajinasinya tanpa membiarkannya larut dalam ketidakbenaran. Perspektif ini mengubah peran kita dari seorang hakim menjadi seorang pemandu yang bijaksana, menanamkan benih kejujuran sambil memupuk fondasi jiwa merdeka yang kreatif dan percaya diri.
4. Kebohongan Adalah Gejala Jiwa Budak, Kejujuran Adalah Intisari Jiwa Merdeka
Inilah argumen inti dan paling kuat dari Buya HAMKA. Beliau meletakkan fondasi filosofisnya sejak awal: kejujuran adalah penanda jiwa yang merdeka, sedangkan kebohongan adalah gejala jiwa yang terbelenggu atau jiwa budak.
HAMKA menawarkan sebuah wawasan linguistik yang cemerlang. Ia mengupas kata Mengaku dan menghubungkannya dengan frasa "mengemukakan AKU-nya." Bagi HAMKA, kejujuran adalah tindakan literal untuk menampilkan "AKU" atau Diri sejati kita—sebuah penegasan eksistensi dan keberanian mengambil tanggung jawab. Sebaliknya, jiwa budak selalu diliputi ketakutan. Ia berbohong untuk lari dari tanggung jawab dan menghindari konsekuensi. Kebohongan menjadi tameng bagi jiwa yang tak berani menjadi "AKU".
Sikap Nabi Muhammad SAW. mengenai hal ini mutlak. Ketika ditanya apakah seorang mukmin bisa menjadi pengecut atau kikir, beliau mengakui, "Mungkin." Namun, saat ditanya apakah seorang mukmin bisa menjadi pendusta, jawabannya tegas tanpa kompromi: "Itu tidak mungkin!" Kejujuran bukanlah sekadar sifat baik, melainkan syarat fundamental dari keimanan dan kemerdekaan jiwa.
Kutipan dari pendahuluan buku ini merangkum semuanya dengan sempurna:
"Karena sikap jujur dan keberanian mempertahankan kebenaran adalah intisari dari jiwa yang merdeka. Dan bohong atau munafik adalah gejala dari jiwa budak."
5. Hati-hati, 'Basa-Basi' Sehari-hari Bisa Jadi Kebohongan Terselubung
HAMKA juga mengarahkan kritiknya pada praktik budaya yang sering kita anggap lumrah: basa-basi. Beliau melihat adanya potensi "kepalsuan semata-mata" dalam keramahan yang tidak tulus, yang dapat mengikis jiwa dari kebiasaan berkata benar.
Beberapa contoh tajam yang ia berikan:
- Seseorang yang sedang makan di restoran lalu mengajak semua orang di sekitarnya untuk ikut makan, padahal ia tahu mereka akan menolak dan ia pun tidak sungguh-sungguh menawarkannya.
- Tuan rumah yang memaksa-maksa tamu untuk makan, padahal persediaan di rumahnya sangat sedikit, menciptakan suasana yang palsu.
Untuk menunjukkan betapa kesederhanaan yang jujur lebih mulia, HAMKA menceritakan kisah Nabi Muhammad SAW. saat para sahabatnya menolak secangkir susu yang ditawarkan. Mereka berkata, "Kami tidak rejan susu," padahal mereka sedang menahan lapar. Mengetahui mereka berbohong dalam kondisi kekurangan, Nabi memberikan teguran yang tajam dan langsung:
"Janganlah dikumpulkan di antara lapar dengan dusta."
Pesan ini sangat kuat: bahkan dalam kesulitan, integritas harus dijaga. HAMKA menyerukan agar sebagai bangsa yang merdeka, kebiasaan basa-basi yang tidak tulus ini harus diubah. Meninggalkan kepalsuan sosial demi interaksi yang tulus adalah sebuah langkah kecil namun penting untuk memerdekakan jiwa kita dari belenggu kepura-puraan.
Memilih Kebenaran untuk Jiwa yang Merdeka
Karya "Bohong di Dunia" mengajarkan kita bahwa memahami seluk-beluk kebohongan adalah bagian krusial dari pertumbuhan pribadi dan spiritual. Ini bukan sekadar tentang menghindari ucapan yang salah, tetapi tentang sebuah pilihan sadar untuk membangun jiwa yang jujur, bertanggung jawab, dan pada akhirnya, merdeka. Kebenaran, pada hakikatnya, adalah fondasi bagi karakter yang kokoh dan masyarakat yang sehat.
Wawasan dari Buya HAMKA ini tetap bergema kuat hingga hari ini, menantang kita untuk melihat lebih dalam ke dalam ucapan dan tindakan kita sehari-hari, serta bertanya pada diri sendiri: apakah kita sedang membangun jiwa yang bebas atau justru memperkuat belenggu perbudakan di dalamnya?
Dalam dunia yang penuh kepalsuan, langkah jujur apa yang bisa kita ambil hari ini untuk memerdekakan jiwa kita?
Zlamitan
Komentar
Posting Komentar