Langsung ke konten utama

Demokrasi Terpimpin di Indonesia (1959-1966): Analisis Komprehensif tentang Ideologi, Kekuasaan, dan Warisan

Penulis: Tim Riset Podcast Pengantar Tidur


Pendahuluan: Krisis Demokrasi dan Pencarian Jati Diri Bangsa

Periode Demokrasi Terpimpin (1959-1966) dalam sejarah Indonesia seringkali dipandang secara monolitik sebagai sebuah era otoritarianisme di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno. Namun, analisis yang lebih mendalam menunjukkan bahwa periode ini lebih kompleks daripada sekadar penyimpangan dari jalur demokrasi. Laporan ini akan menganalisis Demokrasi Terpimpin bukan sebagai anomali, melainkan sebagai sebuah eksperimen politik radikal yang lahir secara organik dari kegagalan sistemik Demokrasi Liberal (1950-1959) dan didorong oleh visi ideologis Soekarno untuk menciptakan sebuah sistem pemerintahan yang otentik dan sesuai dengan apa yang ia sebut sebagai "kepribadian Indonesia".1

Tesis utama laporan ini adalah bahwa Demokrasi Terpimpin, sejak awal kelahirannya, merupakan sebuah sistem yang secara inheren tidak stabil. Sistem ini ditopang oleh kontradiksi fundamental antara retorika persatuan revolusioner dan praktik sentralisasi kekuasaan absolut di tangan satu individu. Stabilitas rezim ini bergantung sepenuhnya pada kemampuan Soekarno untuk secara terus-menerus menyeimbangkan dua kekuatan politik yang saling bermusuhan yang ia pelihara sendiri: Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD) dan Partai Komunis Indonesia (PKI).4 Pada akhirnya, ketidakmampuan untuk mempertahankan keseimbangan yang rapuh inilah yang menyebabkan keruntuhan dramatis sistem tersebut, yang berpuncak pada salah satu tragedi politik paling kelam dalam sejarah modern Indonesia. Laporan ini akan mengurai evolusi, struktur, dinamika, dan warisan dari eksperimen politik yang ambisius namun penuh gejolak ini.

Bab I: Senjakala Demokrasi Liberal (1950-1959): Fondasi bagi Otoritarianisme

Transisi menuju Demokrasi Terpimpin tidak dapat dipahami tanpa menganalisis secara mendalam kegagalan periode sebelumnya. Era Demokrasi Liberal, yang berlangsung dari tahun 1950 hingga 1959, sering digambarkan sebagai sebuah "gagasan yang gagal".6 Kegagalan ini tidak bersifat insidental, melainkan merupakan manifestasi dari krisis sistemik yang melanda negara muda ini di berbagai bidang: politik, ekonomi, dan konstitusional.

Analisis Kegagalan Sistemik

Secara teoretis, sistem Demokrasi Liberal yang dianut Indonesia pada masa itu menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan individu, partisipasi politik yang luas, dan kebebasan berpendapat, yang tercermin dari menjamurnya partai-partai politik.7 Namun, dalam praktiknya, sistem parlementer multipartai ini justru menjadi sumber utama fragmentasi politik ekstrem dan kelumpuhan pemerintahan.6

Bukti paling nyata dari kelumpuhan ini adalah ketidakstabilan kabinet yang bersifat kronis. Dalam kurun waktu kurang dari satu dekade, Indonesia mengalami pergantian kabinet sebanyak tujuh kali, yang berarti rata-rata usia sebuah kabinet tidak lebih dari satu setengah tahun.8 Beberapa sumber bahkan mencatat frekuensi yang lebih tinggi, hingga 17 kali pergantian, jika menghitung krisis kabinet yang tidak berujung pada pembentukan kabinet baru.6 Kabinet-kabinet ini jatuh bangun silih berganti, seringkali karena mosi tidak percaya dari partai-partai lawan dalam parlemen. Dinamika ini dikenal sebagai "politik dagang sapi," di mana koalisi yang terbentuk sangat rapuh dan didasarkan pada tawar-menawar kepentingan jangka pendek, bukan pada platform kebijakan yang solid.9 Akibatnya, program-program pemerintah tidak pernah dapat berjalan secara berkelanjutan, menciptakan pemerintahan yang tidak efektif dan kehilangan kepercayaan rakyat.6

Tabel 1: Kronologi Ketidakstabilan Kabinet Era Demokrasi Liberal (1950-1959)

No.

Nama Kabinet

Masa Jabatan

Partai Pendukung Utama

Penyebab Kejatuhan

1.

Kabinet Natsir

Sep 1950 - Mar 1951

Masyumi

Mosi tidak percaya dari PNI terkait peraturan DPRD yang dianggap menguntungkan Masyumi.9

2.

Kabinet Sukiman

Apr 1951 - Feb 1952

Masyumi, PNI

Penandatanganan perjanjian bantuan Mutual Security Act (MSA) dengan AS yang dinilai melanggar politik bebas aktif.8

3.

Kabinet Wilopo

Apr 1952 - Jun 1953

PNI, Masyumi, PSI

Mosi tidak percaya akibat Peristiwa Tanjung Morawa (konflik tanah di Deli) dan dampak dari Peristiwa 17 Oktober 1952.8

4.

Kabinet Ali Sastroamijoyo I

Jul 1953 - Jul 1955

PNI, NU

NU menarik menterinya dari kabinet, memicu keretakan koalisi dan pengembalian mandat.9

5.

Kabinet Burhanuddin Harahap

Agu 1955 - Mar 1956

Masyumi

Menyerahkan mandat setelah Pemilu 1955 selesai dilaksanakan, sesuai dengan tugas utamanya.9

6.

Kabinet Ali Sastroamijoyo II

Mar 1956 - Mar 1957

PNI, Masyumi, NU

Perpecahan antara PNI dan Masyumi serta menguatnya gerakan separatisme di daerah.9

7.

Kabinet Djuanda (Zaken Kabinet)

Apr 1957 - Jul 1959

Non-partai

Berakhir dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.9

Krisis Multi-Dimensi

Kegagalan Demokrasi Liberal tidak hanya terbatas pada krisis kabinet. Negara dihadapkan pada krisis multidimensional yang saling terkait. Dari segi politik, selain instabilitas pemerintahan, periode ini diwarnai oleh konflik ideologis yang tajam antarpartai 6, serangkaian pemberontakan bersenjata di berbagai daerah seperti Gerakan DI/TII, APRA, RMS, dan pemberontakan Andi Azis yang menunjukkan lemahnya kontrol pemerintah pusat atas wilayahnya sendiri.9 Hubungan antara pemerintahan sipil dan militer juga memburuk, seperti yang terlihat dari ketegangan antara Kabinet Sukiman dengan pimpinan Angkatan Darat.8

Dari segi ekonomi, Indonesia mewarisi struktur ekonomi kolonial yang timpang, di mana sektor-sektor vital didominasi oleh perusahaan asing dan kelompok etnis Tionghoa.10 Berbagai upaya untuk menumbuhkan pengusaha pribumi, seperti Program Benteng, menemui kegagalan karena praktik korupsi dan salah sasaran. Program ini justru melahirkan istilah sinis perusahaan "Alibaba," di mana pengusaha pribumi ("Ali") hanya menjadi kedok untuk lisensi yang kemudian dijual kepada pengusaha non-pribumi ("Baba") yang memiliki modal dan jaringan.8 Kondisi ini diperparah oleh inflasi yang tinggi, kemiskinan yang meluas, maraknya penyelundupan, serta korupsi dan nepotisme yang merajalela.6 Kabinet yang silih berganti tidak memiliki stabilitas politik maupun waktu yang cukup untuk merancang dan mengimplementasikan kebijakan ekonomi jangka panjang yang efektif.6

Puncak dari krisis ini adalah kebuntuan di ranah konstitusional. Dewan Konstituante, yang dipilih melalui Pemilu 1955 dengan tugas mulia untuk merumuskan Undang-Undang Dasar (UUD) yang permanen, justru menjadi arena pertempuran ideologis yang tidak berkesudahan. Selama lebih dari tiga tahun bersidang, dewan ini gagal mencapai kemajuan signifikan karena terperangkap dalam perdebatan sengit mengenai dasar negara.12 Tarik-ulur terjadi antara faksi partai-partai Islam (terutama Masyumi) yang menghendaki Islam sebagai dasar negara, dengan faksi nasionalis dan sekuler (dipimpin PNI) yang bersikeras mempertahankan Pancasila.14 Perdebatan ini melumpuhkan Konstituante dan menciptakan ketidakpastian hukum yang membahayakan kelangsungan negara.12

Kekacauan yang terjadi selama era Demokrasi Liberal ini pada akhirnya tidak hanya menjadi latar belakang historis bagi kemunculan Demokrasi Terpimpin. Lebih dari itu, serangkaian kegagalan di bidang politik, ekonomi, dan konstitusional ini secara aktif digunakan sebagai justifikasi ideologis utama untuk melegitimasi sistem baru yang otoriter. Soekarno, dengan kharismanya, mampu membingkai krisis ini sebagai bukti bahwa demokrasi parlementer ala Barat adalah sebuah "demokrasi impor" yang tidak sesuai dengan "jiwa" dan "kepribadian" bangsa Indonesia yang mengutamakan gotong royong dan musyawarah.1 Dengan demikian, ia dapat memposisikan gagasannya tentang Demokrasi Terpimpin bukan sebagai sebuah ambisi pribadi untuk merebut kekuasaan, melainkan sebagai satu-satunya "solusi" untuk menyelamatkan bangsa dari ancaman perpecahan dan anarki.19 Narasi penyelamatan bangsa ini membuat transisi menuju otoritarianisme pada awalnya dapat diterima, bahkan didukung oleh sebagian besar masyarakat yang telah lelah dengan ketidakstabilan dan kekacauan yang tak berkesudahan.

Bab II: Dekrit Presiden 5 Juli 1959: Landasan dan Kontroversi Era Baru

Di tengah krisis multidimensional yang melumpuhkan negara, Presiden Soekarno semakin yakin bahwa sistem yang ada harus dirombak secara fundamental. Jalan menuju perubahan radikal ini dimulai dengan pengajuan sebuah konsep baru, yang kemudian diresmikan melalui sebuah dekrit kontroversial yang mengubah total lanskap politik Indonesia.

Jalan Menuju Dekrit: Konsepsi Presiden 1957

Sebagai respons langsung terhadap kegagalan kabinet dan kebuntuan politik, Soekarno melontarkan gagasannya dalam sebuah pidato di hadapan para pemimpin partai dan tokoh masyarakat di Istana Merdeka pada 21 Februari 1957.18 Gagasan yang kemudian dikenal sebagai "Konsepsi Presiden" ini merupakan cetak biru bagi Demokrasi Terpimpin.1

Isi pokok dari konsepsi tersebut adalah penolakan tegas terhadap Demokrasi Liberal. Soekarno berargumen bahwa sistem tersebut adalah produk impor dari Barat yang individualistis dan tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang berlandaskan gotong royong dan musyawarah untuk mufakat.1 Sebagai gantinya, ia mengusulkan sebuah sistem baru yang disebut "Demokrasi Terpimpin". Untuk mewujudkan sistem ini, Soekarno mengajukan dua pilar utama:

  1. Pembentukan Kabinet Gotong Royong: Sebuah kabinet yang merangkul semua kekuatan politik besar, atau yang disebutnya "Kabinet Kaki Empat". Kabinet ini akan melibatkan empat partai pemenang Pemilu 1955, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), dan yang paling kontroversial, Partai Komunis Indonesia (PKI).18

  2. Pembentukan Dewan Nasional: Sebuah badan baru yang anggotanya terdiri dari "golongan fungsional" (perwakilan buruh, tani, pemuda, militer, dll.), bukan berdasarkan partai. Dewan ini bertugas memberikan nasihat kepada kabinet, baik diminta maupun tidak, dan berfungsi sebagai jembatan antara pemerintah dan masyarakat.20

Gagasan ini sontak memicu pro dan kontra yang tajam. PNI dan terutama PKI menyambut baik konsepsi ini, melihatnya sebagai peluang untuk masuk ke dalam lingkaran kekuasaan. Sebaliknya, Masyumi, NU, dan partai-partai berbasis agama lainnya menolak keras, terutama karena keberatan mereka terhadap pelibatan PKI dalam kabinet.18 Mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta bahkan secara terbuka mengkritik gagasan tersebut, memperingatkan bahwa Demokrasi Terpimpin berpotensi besar untuk melahirkan sistem kediktatoran.1

Analisis Isi dan Landasan Hukum Dekrit

Ketika Konstituante menemui jalan buntu total—bahkan setelah beberapa kali pemungutan suara gagal mencapai kuorum dua pertiga yang disyaratkan untuk mengambil keputusan kembali ke UUD 1945 13—Soekarno mengambil langkah drastis. Dengan dukungan penuh dari pimpinan TNI-AD, pada tanggal 5 Juli 1959, ia mengeluarkan sebuah Dekrit Presiden.23

Isi dekrit tersebut secara ringkas adalah sebagai berikut:

  1. Menetapkan pembubaran Konstituante.

  2. Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku kembali bagi segenap bangsa Indonesia dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950.

  3. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.24

Secara yuridis, landasan hukum yang digunakan Soekarno untuk mengeluarkan dekrit ini sangatlah tipis dan kontroversial. Argumen yang diajukan adalah "hukum darurat negara" atau staatnoodrecht, yang menyatakan bahwa dalam keadaan bahaya yang mengancam persatuan dan keselamatan negara, kepala negara dapat mengambil tindakan luar biasa di luar hukum yang berlaku demi menyelamatkan bangsa.23

Tindakan Soekarno ini, meskipun disambut oleh sebagian kalangan yang mendambakan stabilitas, secara fundamental merupakan sebuah tindakan di luar konstitusi yang berlaku saat itu (UUDS 1950). UUDS 1950 sama sekali tidak memberikan wewenang kepada presiden untuk membubarkan Konstituante, sebuah lembaga yang kedudukannya setara dengan presiden dan dipilih langsung oleh rakyat.26 Oleh karena itu, banyak ahli hukum pada masa itu, termasuk mantan Wakil Presiden Hatta, menganggap Dekrit Presiden sebagai sebuah coup d'état atau "kudeta konstitusional" yang merupakan penyimpangan radikal terhadap konstitusi.23

Namun, keberhasilan dekrit ini tidak terletak pada kekuatan hukumnya, melainkan pada dukungan politik dan militer di baliknya. TNI-AD, yang dipimpin oleh Jenderal A.H. Nasution, memberikan dukungan penuh karena mereka juga frustrasi dengan kekacauan yang diciptakan oleh politisi sipil dan melihat UUD 1945 yang memberikan posisi kuat kepada presiden (dan militer) sebagai solusi.26 Dengan memberlakukan kembali UUD 1945, sistem pemerintahan secara otomatis berubah dari parlementer menjadi presidensial yang kuat, di mana presiden memegang kekuasaan sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Ini adalah perubahan fundamental yang menjadi inti dari Demokrasi Terpimpin.

Implikasi dari proses ini sangatlah mendalam. Dekrit 5 Juli 1959 bukan sekadar sebuah produk hukum, melainkan sebuah tindakan politik revolusioner yang secara efektif menghancurkan tatanan Demokrasi Liberal. Lebih jauh lagi, karena keberhasilan implementasinya sangat bergantung pada dukungan dan kekuatan fisik dari militer, dekrit ini secara tidak langsung memberikan legitimasi baru bagi peran militer sebagai "penjaga konstitusi" dan pemain kunci dalam arena politik nasional. Ini menjadi preseden penting yang membuka jalan bagi pelembagaan peran sosial-politik militer, yang di kemudian hari akan diformalkan dalam doktrin Dwifungsi ABRI.24

Bab III: Arsitektur Politik Demokrasi Terpimpin: Ideologi dan Institusi

Dengan Dekrit 5 Juli 1959, Indonesia memasuki babak baru dengan sistem politik yang dirancang untuk memusatkan kekuasaan di tangan Presiden Soekarno. Arsitektur politik Demokrasi Terpimpin dibangun melalui serangkaian tindakan yang secara sistematis menata ulang lembaga-lembaga negara dan mengukuhkan ideologi tunggal yang bersumber dari pemikiran sang presiden.

Pelembagaan Kekuasaan Presiden

Setelah dekrit, Soekarno bergerak cepat untuk membentuk lembaga-lembaga negara yang diamanatkan oleh UUD 1945. Namun, proses pembentukannya sama sekali tidak demokratis. Alih-alih melalui pemilihan umum, seluruh anggota lembaga tinggi negara seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS), dan bahkan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) ditunjuk dan diangkat langsung oleh Presiden melalui Penetapan Presiden (Penpres).28

MPRS, yang menurut UUD 1945 merupakan lembaga tertinggi negara dan pemegang kedaulatan rakyat, diisi oleh anggota-anggota yang diseleksi oleh Soekarno dengan syarat utama harus setia pada Manipol (Manifesto Politik), sebuah pidato presiden yang dijadikan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).28 Dengan demikian, fungsi MPRS direduksi dari lembaga pengawas presiden menjadi lembaga pengukuh kebijakan presiden.28

Nasib serupa menimpa parlemen. DPR hasil Pemilu 1955, yang awalnya dipertahankan, akhirnya dibubarkan oleh Soekarno pada 5 Maret 1960. Pemicunya adalah penolakan DPR terhadap Rancangan Anggaran Belanja Negara yang diajukan pemerintah.28 Sebagai gantinya, Soekarno membentuk DPR Gotong Royong (DPR-GR), yang anggotanya ia tunjuk sendiri. Kedudukan DPR-GR pun diturunkan secara drastis, tidak lagi menjadi mitra setara eksekutif, melainkan hanya sebagai "pembantu presiden" yang bertugas melaksanakan Manipol.32

Puncak Kultus Individu: Presiden Seumur Hidup

Sentralisasi kekuasaan ini mencapai puncaknya pada Sidang Umum MPRS tahun 1963. Melalui Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963, lembaga yang anggotanya ditunjuk oleh Soekarno ini secara resmi mengangkat Soekarno sebagai "Presiden Seumur Hidup" dan "Pemimpin Besar Revolusi".30

Ironisnya, usulan ini datang dari faksi militer dan kelompok anti-komunis yang dipimpin oleh Kolonel Suhardiman.35 Tujuan mereka adalah untuk mencegah diadakannya pemilihan umum, yang dikhawatirkan akan dimenangkan secara telak oleh PKI. Dengan menjadikan Soekarno presiden seumur hidup, maka tidak akan ada lagi pemilu, dan jalan PKI menuju kekuasaan melalui jalur demokrasi akan tertutup.35 Meskipun demikian, tindakan ini merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap UUD 1945 yang secara implisit membatasi masa jabatan presiden melalui pemilihan setiap lima tahun. Pengangkatan ini mengukuhkan kultus individu terhadap Soekarno, namun sekaligus mencoreng citranya sebagai seorang demokrat di mata dunia.36

NASAKOM sebagai Ideologi Negara De Facto

Untuk memberikan landasan ideologis bagi sistem barunya, Soekarno secara gencar mempromosikan konsep NASAKOM, sebuah akronim dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme.29 Konsep ini diwacanakan sebagai tiga pilar utama yang menyatukan kekuatan-kekuatan politik dalam masyarakat Indonesia dan harus tercermin dalam setiap lembaga negara, terutama kabinet.39

Secara teoretis, NASAKOM adalah upaya Soekarno untuk menciptakan sintesis ideologis yang dapat mengakomodasi semua aliran politik utama.5 Namun, dalam praktiknya, NASAKOM berfungsi sebagai formula politik untuk menyeimbangkan dua kekuatan paling dominan dan antagonistik saat itu: TNI-AD (yang dianggap mewakili pilar Nasionalis) dan PKI (mewakili pilar Komunis), dengan partai-partai berbasis Agama (terutama NU) sebagai pelengkap dan penyeimbang minor.5 Dengan NASAKOM, Soekarno menempatkan dirinya sebagai satu-satunya figur yang mampu menyatukan ketiga kekuatan tersebut.

Struktur politik yang dibangun pada masa Demokrasi Terpimpin ini secara fundamental membalikkan piramida kekuasaan yang digariskan dalam UUD 1945. Seharusnya, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan oleh MPR, dengan presiden sebagai mandataris yang bertanggung jawab kepada MPR. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya: Presiden Soekarno menciptakan dan menunjuk anggota MPRS.28 Kemudian, MPRS yang ia bentuk inilah yang memberinya legitimasi dengan mengangkatnya sebagai mandataris seumur hidup.30 Proses ini menciptakan sebuah sistem legitimasi sirkular yang tertutup: presiden melegitimasi lembaga, dan lembaga tersebut kembali melegitimasi kekuasaan absolut presiden. Ini bukan lagi sekadar penyimpangan, melainkan sebuah inversi total dari semangat UUD 1945. Lembaga-lembaga negara tidak lagi berfungsi sebagai mekanisme pengawasan dan keseimbangan (checks and balances), tetapi telah berubah menjadi instrumen dan stempel karet bagi kekuasaan eksekutif. Arsitektur politik ini terbukti sangat rapuh karena seluruh bangunannya bergantung sepenuhnya pada figur sentral sang pemimpin.

Bab IV: Dinamika Segitiga Kekuatan: Soekarno, TNI-AD, dan PKI

Struktur politik Demokrasi Terpimpin yang terpusat pada Presiden Soekarno pada dasarnya ditopang oleh keseimbangan dinamis antara tiga kekuatan utama. Periode ini dapat dianalisis sebagai sebuah panggung politik di mana Soekarno bertindak sebagai dalang yang berusaha mengendalikan dua kekuatan raksasa yang saling bertentangan: TNI-AD dan PKI.

Tiga Pilar Kekuasaan

  1. Soekarno: Sebagai figur sentral, Soekarno memegang posisi puncak sebagai penyeimbang (balancer). Dengan gelar-gelar seperti "Pemimpin Besar Revolusi" dan "Penyambung Lidah Rakyat," ia memonopoli wacana politik.41 Ideologi negara seperti Manipol-USDEK dan NASAKOM menempatkannya sebagai penafsir tunggal arah revolusi, memberinya otoritas ideologis yang tak tertandingi.4

  2. TNI-AD: Kekuatan Angkatan Darat tumbuh secara eksponensial setelah berhasil menumpas serangkaian pemberontakan daerah seperti PRRI/Permesta pada akhir 1950-an. Pemberlakuan Keadaan Darurat Perang (SOB) di seluruh negeri semakin memperkuat posisi mereka, memungkinkan militer untuk masuk ke ranah-ranah non-militer seperti ekonomi dan pemerintahan sipil.27 Gagasan tentang peran ganda militer, yang kelak dikenal sebagai Dwifungsi ABRI, mulai mengakar pada periode ini.15 Secara ideologis, TNI-AD memandang PKI sebagai ancaman eksistensial terhadap negara dan Pancasila, menjadikan mereka benteng utama bagi kelompok-kelompok anti-komunis.35

  3. PKI: Di bawah kepemimpinan D.N. Aidit yang karismatik, PKI menjelma menjadi partai komunis terbesar di dunia di luar Uni Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok. Mereka menjadi pendukung paling vokal dan setia bagi Soekarno dan konsep Demokrasi Terpimpin.5 Dukungan ini memberikan PKI "payung pelindung" dari tekanan dan represi TNI-AD. Sebagai imbalannya, kedekatan dengan Soekarno memungkinkan PKI untuk memperluas pengaruhnya dan menempatkan kader-kadernya di berbagai lembaga negara yang baru dibentuk, seperti MPRS, DPR-GR, dan Front Nasional.19

Keseimbangan yang Rapuh

Soekarno secara sadar dan aktif memainkan peran sebagai penyeimbang di antara kedua kekuatan ini. Ia membutuhkan dukungan massa dan aparatur politik PKI yang militan untuk mengimbangi kekuatan politik dan bersenjata TNI-AD. Sebaliknya, ia juga membutuhkan TNI-AD untuk menjaga stabilitas keamanan dan mencegah PKI menjadi terlalu dominan sehingga lepas dari kendalinya.4

Konsep NASAKOM adalah manifestasi paling jelas dari strategi penyeimbangan ini. Dengan memaksa ketiga kekuatan ideologis untuk "bekerja sama" di bawah kepemimpinannya dalam sebuah "kabinet gotong royong," Soekarno secara efektif mencegah salah satu pihak untuk mendominasi sepenuhnya dan melancarkan kudeta terhadapnya.5

Dinamika ini sejalan dengan analisis sejarawan Herbert Feith, yang membagi elite politik Indonesia saat itu menjadi dua kubu: "Solidarity Makers" dan "Administrators". Kelompok "Solidarity Makers," yang dipimpin oleh Soekarno, berfokus pada pembangunan solidaritas nasional, retorika revolusioner, dan simbol-simbol pemersatu untuk menghadapi ancaman nekolim (neo-kolonialisme dan imperialisme). Sementara itu, kelompok "Administrators," yang diwakili oleh tokoh seperti Mohammad Hatta dan para teknokrat, lebih menekankan pada pembangunan ekonomi yang rasional, administrasi pemerintahan yang efisien, dan penyelesaian masalah secara pragmatis. Demokrasi Terpimpin, dengan penekanannya pada mobilisasi massa dan ideologi, merupakan kemenangan telak bagi faksi "Solidarity Makers".43

Meskipun sistem ini tampak stabil di permukaan berkat otoritas Soekarno, di baliknya tersembunyi sebuah pertarungan sengit yang tak terhindarkan. Sistem politik yang sangat terpersonalisasi dan berpusat pada Soekarno ini, terutama setelah pengangkatannya sebagai Presiden Seumur Hidup, secara teoretis memang menghilangkan isu suksesi kepemimpinan. Namun, dalam praktiknya, hal itu justru mempertajam masalah suksesi secara diam-diam. Baik TNI-AD maupun PKI menyadari sepenuhnya bahwa seluruh bangunan Demokrasi Terpimpin akan runtuh tanpa kehadiran Soekarno.

Akibatnya, seluruh panggung politik pada masa ini secara implisit berubah menjadi arena bagi TNI-AD dan PKI untuk saling berebut posisi dan pengaruh, mempersiapkan diri untuk menjadi pewaris kekuasaan pasca-Soekarno. Setiap kebijakan dan isu nasional menjadi medan pertempuran proksi di antara keduanya. Usulan kontroversial PKI untuk membentuk "Angkatan Kelima" (mempersenjatai buruh dan tani) adalah upaya terang-terangan untuk membangun kekuatan militer tandingan, yang tentu saja ditentang keras oleh pimpinan TNI-AD. Konflik agraria di pedesaan, perebutan pengaruh di lembaga-lembaga kebudayaan seperti Lekra, dan persaingan di dalam lembaga-lembaga negara lainnya adalah cerminan dari pertarungan suksesi yang semakin memanas ini. Dengan demikian, Peristiwa G30S pada tahun 1965 bukanlah sebuah insiden yang muncul tiba-tiba, melainkan klimaks yang logis dan tragis dari pertarungan perebutan suksesi yang telah berlangsung selama bertahun-tahun di bawah selubung retorika "persatuan" NASAKOM.

Bab V: Ekonomi Terpimpin: Ambisi Berdikari di Tengah Hiperinflasi

Seiring dengan perombakan struktur politik, Demokrasi Terpimpin juga memperkenalkan sistem "Ekonomi Terpimpin". Sistem ini merupakan antitesis langsung dari ekonomi liberal yang dianggap gagal dan bertujuan untuk melakukan penataan ulang (herordering) struktur ekonomi nasional di bawah komando negara.

Filosofi Ekonomi Terpimpin

Filosofi dasar dari Ekonomi Terpimpin adalah prinsip Berdikari, atau "berdiri di atas kaki sendiri". Menurut prinsip ini, alat-alat produksi dan distribusi yang dianggap vital bagi negara harus dimiliki dan dikuasai oleh negara, atau setidaknya berada di bawah pengawasan ketat pemerintah.45 Peran negara menjadi sangat dominan, dan pengaturan ekonomi dijalankan melalui sistem komando terpusat. Tujuannya adalah untuk melepaskan perekonomian Indonesia dari sisa-sisa imperialisme dan membangun ekonomi nasional yang mandiri.45

Kebijakan-Kebijakan Utama

Untuk mewujudkan visi tersebut, pemerintah meluncurkan serangkaian kebijakan ekonomi yang drastis:

  • Devaluasi (Sanering) 1959: Pada 25 Agustus 1959, pemerintah mengumumkan kebijakan sanering atau pemotongan nilai uang. Uang kertas pecahan Rp500 dan Rp1.000 nilainya diturunkan secara paksa menjadi hanya 10% dari nilai nominalnya (masing-masing menjadi Rp50 dan Rp100). Selain itu, semua simpanan di bank yang melebihi Rp25.000 dibekukan.45 Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk membendung laju inflasi yang tinggi dan mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat. Namun, kebijakan ini gagal mencapai tujuannya karena tidak diimbangi dengan disiplin anggaran dan kontrol pengeluaran pemerintah yang ketat.46

  • Pembentukan Depernas/Bappenas: Untuk merencanakan pembangunan secara terpusat, pemerintah membentuk Dewan Perancang Nasional (Depernas) pada tahun 1958, yang kemudian pada tahun 1963 diubah menjadi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan diketuai langsung oleh Presiden Soekarno. Lembaga ini bertugas menyusun Pola Pembangunan Semesta Berencana, sebuah cetak biru pembangunan nasional jangka panjang.45

  • Deklarasi Ekonomi (Dekon): Pada 28 Maret 1963, Soekarno mengeluarkan Deklarasi Ekonomi (Dekon) sebagai landasan baru bagi perbaikan ekonomi secara menyeluruh. Tujuannya adalah menciptakan ekonomi yang bersifat nasional, demokratis, dan bebas dari imperialisme.46 Namun, seperti kebijakan lainnya, Dekon gagal total dalam pelaksanaannya. Prinsip-prinsip dasar ekonomi banyak diabaikan, dan situasi ekonomi justru semakin memburuk hingga mengalami stagnasi.45

Penyebab Hiperinflasi

Alih-alih membaik, kondisi perekonomian di bawah sistem Ekonomi Terpimpin justru merosot tajam hingga mencapai tingkat hiperinflasi. Kegagalan ini disebabkan oleh beberapa faktor fundamental:

  1. Subordinasi Ekonomi di Bawah Politik: Kebijakan ekonomi sepenuhnya tunduk pada ambisi politik Presiden Soekarno. Anggaran negara yang sangat terbatas terkuras habis untuk membiayai proyek-proyek "mercusuar" yang bersifat politis dan tidak produktif secara ekonomi, seperti pembangunan kompleks olahraga Senayan untuk penyelenggaraan GANEFO, pembangunan Monumen Nasional, dan berbagai proyek monumental lainnya yang bertujuan untuk menunjukkan kebesaran Indonesia di mata dunia.46

  2. Biaya Konfrontasi Politik: Anggaran negara juga dialokasikan secara besar-besaran untuk membiayai agenda politik luar negeri yang konfrontatif, terutama kampanye militer pembebasan Irian Barat dan konfrontasi "Ganyang Malaysia".46

  3. Defisit Anggaran dan Pencetakan Uang: Akibat pengeluaran yang jauh lebih besar dari pendapatan, negara mengalami defisit anggaran yang masif. Untuk menutupi defisit ini, pemerintah mengambil jalan pintas yang paling merusak: mencetak uang baru secara besar-besaran tanpa adanya dasar ekonomi yang kuat.49

  4. Hasil Akhir: Akibat dari kebijakan ini, jumlah uang yang beredar di masyarakat meroket, sementara produksi barang dan jasa stagnan atau bahkan menurun. Hal ini memicu spiral inflasi yang tidak terkendali. Laju inflasi mencapai lebih dari 600% pada periode 1965-1966, sebuah kondisi hiperinflasi yang secara efektif menghancurkan perekonomian nasional, melenyapkan nilai tabungan masyarakat, dan menyebabkan penderitaan yang meluas.46

Tabel 2: Rangkuman Kebijakan Ekonomi Utama Era Demokrasi Terpimpin dan Dampaknya

Nama Kebijakan

Tujuan Resmi

Implementasi / Mekanisme

Hasil / Dampak Aktual

Devaluasi (Sanering) 1959

Mengurangi jumlah uang beredar dan menekan inflasi.46

Pemotongan nilai uang kertas Rp 500 & Rp1.000 menjadi 10%. Pembekuan simpanan bank > Rp25.000.46

Gagal menekan inflasi karena pengeluaran pemerintah tetap tinggi. Menimbulkan kepanikan dan mengurangi kepercayaan pada mata uang.46

Deklarasi Ekonomi (Dekon) 1963

Menciptakan ekonomi nasional yang berdikari dan bebas dari imperialisme.45

Pengaturan ekonomi oleh negara, kontrol atas sektor vital, nasionalisasi perusahaan asing.45

Gagal total; menyebabkan stagnasi ekonomi karena prinsip ekonomi diabaikan dan terganggunya hubungan dengan negara Barat.46

Pembangunan Proyek Mercusuar

Meningkatkan citra dan wibawa Indonesia di panggung internasional.47

Pembangunan infrastruktur monumental seperti kompleks olahraga Senayan, Monas, Hotel Indonesia.48

Menguras anggaran negara secara masif, memperparah defisit, dan menjadi salah satu pemicu utama hiperinflasi.46

Pencetakan Uang

Menutupi defisit anggaran pemerintah yang membengkak.49

Bank Indonesia mencetak uang baru dalam jumlah besar untuk membiayai pengeluaran negara.50

Memicu hiperinflasi yang mencapai lebih dari 600% pada 1965-1966, menghancurkan daya beli masyarakat.47

Kegagalan total di bidang ekonomi ini memiliki dampak politik yang sangat signifikan. Soekarno membangun legitimasi Demokrasi Terpimpin di atas janji untuk menyelesaikan masalah-masalah fundamental bangsa, termasuk masalah ekonomi yang gagal diatasi oleh rezim sebelumnya.48 Namun, data menunjukkan bahwa kondisi ekonomi justru memburuk secara katastrofik. Bagi rakyat, kesulitan hidup sehari-hari seperti kelangkaan bahan pokok dan harga yang melambung tinggi menjadi lebih nyata dan mendesak daripada retorika besar tentang revolusi. Kegagalan ekonomi ini secara langsung menggerus basis dukungan rakyat terhadap rezim Soekarno. Oleh karena itu, ketika krisis politik pasca-G30S meletus, rezim ini sudah berada dalam kondisi yang sangat rapuh secara sosial-ekonomi. Tuntutan mahasiswa yang terangkum dalam Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) tidak hanya berisi tuntutan politik (pembubaran PKI), tetapi juga tuntutan ekonomi yang sangat mendasar: "turunkan harga".53 Dengan demikian, kegagalan ekonomi menjadi bahan bakar utama yang menyulut gerakan sosial yang pada akhirnya turut meruntuhkan Demokrasi Terpimpin.

Bab VI: Politik Luar Negeri Konfrontatif: Mercusuar dan Poros Anti-Nekolim

Sejalan dengan perubahan radikal di dalam negeri, masa Demokrasi Terpimpin juga ditandai oleh pergeseran dramatis dalam orientasi politik luar negeri Indonesia. Soekarno meninggalkan prinsip bebas-aktif yang cenderung netral dan mengadopsi sikap konfrontatif yang memposisikan Indonesia sebagai pemimpin kekuatan baru yang menentang tatanan dunia yang ada.

Doktrin NEFO vs OLDEFO

Soekarno secara ideologis membagi dunia menjadi dua kubu yang saling bertentangan: NEFO (New Emerging Forces) dan OLDEFO (Old Established Forces).29 NEFO adalah aliansi negara-negara progresif-revolusioner yang baru merdeka di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, serta negara-negara blok sosialis. Mereka dianggap sebagai kekuatan masa depan yang berjuang untuk tatanan dunia yang lebih adil. Sebaliknya, OLDEFO adalah kekuatan lama yang mapan, yaitu negara-negara kapitalis-imperialis Barat, yang dianggap sebagai sumber penindasan dan kolonialisme dalam bentuk baru (nekolim).54

Dengan doktrin ini, politik luar negeri Indonesia secara radikal bergeser menjadi sangat anti-Barat. Indonesia menjauh dari negara-negara seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat, dan menjalin hubungan yang semakin erat dengan negara-negara Blok Timur, terutama Republik Rakyat Tiongkok (RRC), Uni Soviet, dan Korea Utara.55 Poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Peking-Pyongyang menjadi manifestasi dari orientasi baru ini.

Studi Kasus Kebijakan Konfrontatif

Pergeseran doktrin ini diwujudkan dalam serangkaian kebijakan luar negeri yang berani dan konfrontatif:

  • Konfrontasi "Ganyang Malaysia" (1963-1966): Ketika Inggris memprakarsai pembentukan Federasi Malaysia yang menggabungkan Malaya, Singapura, Sarawak, dan Sabah, Soekarno menentangnya dengan keras. Ia menganggap pembentukan Malaysia sebagai proyek "nekolim" atau negara boneka Inggris yang bertujuan untuk mengepung dan mengancam revolusi Indonesia.55 Soekarno kemudian melancarkan kampanye "Ganyang Malaysia," sebuah kebijakan konfrontasi yang melibatkan pemutusan hubungan diplomatik dan pertempuran militer skala kecil di sepanjang perbatasan Kalimantan.59

  • Keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) (Januari 1965): Puncak dari konfrontasi dengan Malaysia adalah keputusan Soekarno untuk menarik Indonesia keluar dari keanggotaan PBB pada 7 Januari 1965. Tindakan drastis ini dipicu oleh diterimanya Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.55 Soekarno menuduh PBB telah menjadi alat politik negara-negara Barat dan tidak lagi mencerminkan kehendak negara-negara berkembang.58 Indonesia hingga kini menjadi satu-satunya negara dalam sejarah yang pernah secara sukarela keluar dari PBB.

  • GANEFO dan CONEFO: Sebagai perwujudan konkret dari poros NEFO, Soekarno berambisi membangun institusi tandingan global. Pada tahun 1963, Indonesia menyelenggarakan GANEFO (Games of the New Emerging Forces), sebuah pesta olahraga internasional yang dimaksudkan sebagai tandingan Olimpiade yang dianggap didominasi oleh OLDEFO.64 Selanjutnya, Soekarno menggagas pembentukan CONEFO (Conference of the New Emerging Forces) sebagai alternatif dari PBB.66 Pembangunan infrastruktur megah untuk proyek-proyek mercusuar ini, termasuk kompleks parlemen di Senayan yang awalnya dirancang sebagai markas CONEFO, semakin menguras kas negara yang sudah kosong.67

Jika dilihat dari sudut pandang ekonomi dan diplomasi konvensional, kebijakan luar negeri yang berisiko tinggi ini tampak tidak rasional. Namun, jika dianalisis dari konteks dinamika politik domestik, kebijakan ini justru sangat fungsional bagi kelangsungan rezim Soekarno. Isu konfrontasi melawan "musuh bersama" eksternal, yaitu nekolim dan antek-anteknya seperti Malaysia, adalah alat yang sangat efektif untuk membangkitkan gelombang nasionalisme di dalam negeri.69 Hal ini berhasil mengalihkan perhatian publik dari krisis ekonomi yang semakin parah dan penderitaan rakyat sehari-hari.

Lebih dari itu, kebijakan ini memperkuat posisi Soekarno sebagai "Panglima Tertinggi" dan "Pemimpin Besar Revolusi," satu-satunya figur yang dianggap mampu memimpin bangsa dalam perjuangan melawan imperialisme global. Agenda konfrontatif ini juga secara strategis mengelola persaingan internal antara TNI dan PKI. Kebijakan anti-Barat secara alami memperkuat posisi PKI, yang merupakan pendukung paling gigih dari garis politik ini. Pada saat yang sama, konfrontasi militer memberikan peran tempur dan anggaran yang besar kepada TNI, sehingga memperkuat posisi mereka juga. Dengan demikian, politik luar negeri yang radikal ini berfungsi sebagai perekat ideologis yang vital bagi Soekarno untuk menjaga kohesi rezimnya, melegitimasi kepemimpinannya yang absolut, dan menyeimbangkan dua kekuatan domestik yang saling bersaing di bawah satu panji besar anti-imperialisme.

Bab VII: Puncak Kejayaan dan Awal Keruntuhan: Pembebasan Irian Barat dan Supersemar


Periode Demokrasi Terpimpin ditandai oleh momen-momen dramatis yang membawa rezim ini ke puncak kejayaannya sekaligus ke jurang keruntuhannya. Keberhasilan merebut kembali Irian Barat menjadi legitimasi terbesar bagi Soekarno, namun peristiwa G30S dan lahirnya Supersemar menjadi titik balik yang mengakhiri kekuasaannya.

Puncak Pencapaian: Pembebasan Irian Barat

Salah satu agenda nasional yang terbengkalai selama era Demokrasi Liberal adalah masalah Irian Barat (sekarang Papua). Sesuai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949, status wilayah ini akan ditentukan melalui perundingan dalam waktu satu tahun, namun Belanda terus-menerus ingkar janji.70 Setelah berbagai upaya diplomasi di forum PBB berulang kali menemui kegagalan 72, Soekarno mengubah strategi menjadi konfrontasi total di segala bidang.73

Pada 19 Desember 1961, dalam sebuah rapat akbar di Yogyakarta, Soekarno mengumandangkan Tri Komando Rakyat (Trikora), yang berisi tiga perintah tegas:

  1. Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda.

  2. Kibarkan Sang Saka Merah Putih di Irian Barat.

  3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air.71

Strategi Trikora mengkombinasikan tekanan di berbagai lini. Di bidang ekonomi, pemerintah menasionalisasi seluruh perusahaan milik Belanda di Indonesia dan memindahkan pusat perdagangan komoditas dari Belanda ke Jerman.48 Di bidang militer, Indonesia melancarkan operasi-operasi penyusupan pasukan ke wilayah Irian Barat dan melakukan pembelian alutsista modern secara besar-besaran dari Uni Soviet, menciptakan ancaman invasi militer skala penuh yang kredibel.73

Kombinasi tekanan diplomatik dan ancaman militer ini, ditambah dengan mediasi aktif dari Amerika Serikat di bawah pemerintahan John F. Kennedy (yang khawatir jika Indonesia semakin jatuh ke dalam pengaruh blok komunis), akhirnya memaksa Belanda untuk kembali ke meja perundingan.73 Pada 15 Agustus 1962, ditandatangani Perjanjian New York, yang menyepakati penyerahan Irian Barat dari Belanda kepada Indonesia melalui sebuah badan otoritas sementara PBB, yaitu UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority). Akhirnya, pada 1 Mei 1963, Irian Barat secara resmi kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.71 Keberhasilan ini menjadi puncak pencapaian dan legitimasi politik bagi Soekarno dan Demokrasi Terpimpin.

Titik Balik: Peristiwa G30S dan Implikasinya

Keseimbangan rapuh antara tiga pilar kekuasaan—Soekarno, TNI-AD, dan PKI—hancur berkeping-keping pada malam 30 September dan dini hari 1 Oktober 1965. Sebuah kelompok yang menamakan diri Gerakan 30 September menculik dan membunuh enam jenderal senior pimpinan TNI-AD.48

Peristiwa ini secara drastis mengubah konstelasi politik. Pimpinan TNI-AD yang tersisa, di bawah komando Mayor Jenderal Soeharto (Panglima Kostrad saat itu), dengan cepat mengambil alih kendali. Mereka menuding PKI sebagai dalang di balik gerakan tersebut dan segera melancarkan operasi penumpasan yang sistematis. Tuduhan ini menjadi pembenaran bagi dimulainya salah satu episode paling kelam dalam sejarah Indonesia: pembunuhan massal terhadap jutaan orang yang dituduh sebagai anggota atau simpatisan PKI di seluruh pelosok negeri.75 Keseimbangan segitiga kekuasaan telah runtuh, dan PKI sebagai salah satu pilar utama penyokong Soekarno dimusnahkan.

Transisi Kekuasaan: Kontroversi Supersemar

Di tengah situasi negara yang kacau, krisis ekonomi yang memuncak, dan gelombang demonstrasi mahasiswa yang menuntut Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat), posisi Presiden Soekarno semakin terdesak. Pada 11 Maret 1966, di Istana Bogor, Soekarno menandatangani sebuah dokumen yang kemudian dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang ditujukan kepada Letnan Jenderal Soeharto.53

Supersemar hingga kini diselimuti kontroversi mendalam. Pertama, naskah asli surat tersebut tidak pernah ditemukan, dan yang beredar adalah beberapa versi yang berbeda.77 Kedua, terdapat perdebatan sengit mengenai proses kelahirannya, apakah surat itu diberikan secara sukarela oleh Soekarno atau dikeluarkan di bawah tekanan dan intimidasi dari pihak militer.79

Ketiga, dan yang paling krusial, adalah perbedaan interpretasi atas isi surat tersebut. Menurut sejarawan seperti Asvi Warman Adam, isi Supersemar pada dasarnya adalah sebuah mandat atau perintah dari Presiden kepada Soeharto, dalam kapasitasnya sebagai Panglima Angkatan Darat, untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu guna memulihkan keamanan dan ketertiban, serta melindungi Presiden dan wibawa pemerintah. Semua tindakan tersebut harus dilaporkan kembali kepada Presiden.80 Namun, Soeharto dan kelompoknya menafsirkan frasa "mengambil segala tindakan yang dianggap perlu" sebagai sebuah transfer kekuasaan de facto.80

Berbekal interpretasi ini, Soeharto bergerak cepat. Sehari setelah menerima Supersemar, pada 12 Maret 1966, ia membubarkan PKI dan ormas-ormasnya, sebuah tindakan yang sebenarnya ditentang keras oleh Soekarno.78 Beberapa hari kemudian, ia menangkap belasan menteri kabinet yang loyal kepada Soekarno. Supersemar kemudian dikukuhkan melalui Ketetapan MPRS, memberinya kekuatan hukum yang lebih tinggi. Sejak saat itu, Soeharto secara bertahap namun pasti melucuti sisa-sisa kekuasaan Soekarno, yang puncaknya adalah pencabutan mandatnya sebagai presiden oleh MPRS pada tahun 1967. Ini menandai akhir definitif dari era Demokrasi Terpimpin dan lahirnya rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.53

Jika dianalisis lebih dalam, keberhasilan pembebasan Irian Barat dapat dilihat sebagai sebuah kemenangan Pyrrhic (kemenangan yang diraih dengan pengorbanan yang sangat besar sehingga terasa seperti kekalahan). Untuk mencapai kemenangan tersebut, Soekarno sangat bergantung pada dua pilar utama: dukungan militer (TNI-AD) untuk menjalankan operasi Trikora dan dukungan politik serta logistik dari Blok Timur (terutama Uni Soviet) untuk pengadaan persenjataan canggih. Ketergantungan ini, secara paradoksal, secara bersamaan memperkuat posisi TNI-AD sebagai sebuah institusi militer yang modern dan kuat, sekaligus memberikan ruang yang sangat luas bagi ideologi kiri (yang diwakili oleh PKI) untuk berkembang pesat di bawah payung kedekatan dengan Blok Timur. Dengan demikian, keberhasilan kampanye Irian Barat justru mempertajam antagonisme antara dua pilar utama pendukung rezim. Kemenangan diplomatik-militer terbesar Soekarno ini ternyata menabur benih bagi keruntuhan rezimnya sendiri dengan mempercepat eskalasi persaingan antara TNI-AD dan PKI menuju konfrontasi final yang berdarah.

Bab VIII: Warisan dan Analisis Kritis: Demokrasi Terpimpin dalam Lensa Sejarah

Demokrasi Terpimpin merupakan salah satu periode paling formatif dan kontroversial dalam sejarah Indonesia. Meskipun berlangsung relatif singkat (1959-1966), dampaknya terasa hingga beberapa dekade kemudian, meninggalkan warisan yang kompleks dan ambigu. Evaluasi kritis terhadap periode ini penting untuk memahami lintasan politik Indonesia modern.

Evaluasi Kritis

Dari perspektif demokrasi dan hak asasi manusia, Demokrasi Terpimpin secara umum dinilai gagal. Periode ini ditandai oleh penyimpangan konstitusional yang fundamental. Sentralisasi kekuasaan yang ekstrem di tangan presiden, pembubaran parlemen hasil pemilu, dan subordinasi lembaga-lembaga tinggi negara (MPRS, DPR-GR, DPA) menjadi instrumen kekuasaan eksekutif adalah bukti nyata pengabaian terhadap prinsip-prinsip konstitusionalisme dan pembagian kekuasaan.56

Seiring dengan itu, jaminan Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi sangat lemah. Kebebasan berpendapat dan kebebasan pers dibatasi secara ketat, kritik terhadap pemerintah ditindas, dan banyak pemimpin partai politik (terutama dari Masyumi dan PSI) yang menentang kebijakan Soekarno dipenjarakan tanpa proses pengadilan yang adil.48

Di bidang ekonomi, warisannya adalah kegagalan total. Ambisi politik yang tidak didasarkan pada realitas ekonomi, pembiayaan proyek-proyek mercusuar yang menguras anggaran, dan kebijakan moneter yang tidak bertanggung jawab menyebabkan kehancuran ekonomi yang berpuncak pada hiperinflasi.56 Kegagalan ini tidak hanya menunjukkan ketidakmampuan rezim dalam mengelola ekonomi, tetapi juga berdampak langsung pada penderitaan dan kemiskinan rakyat.

Warisan Jangka Panjang

Meskipun demikian, periode ini juga meninggalkan beberapa warisan yang bertahan lama, baik positif maupun negatif. Di sisi positif, Demokrasi Terpimpin berhasil menanamkan semangat nasionalisme yang kuat dan rasa percaya diri sebagai sebuah bangsa. Keberhasilan merebut kembali Irian Barat dan kebijakan luar negeri yang berani, meskipun kontroversial, menegaskan kedaulatan nasional Indonesia di panggung dunia. Periode ini juga merupakan upaya serius untuk merumuskan sebuah identitas politik yang dianggap khas Indonesia, terlepas dari keberhasilannya.69

Namun, warisan negatifnya jauh lebih dominan dan berpengaruh dalam jangka panjang. Warisan yang paling signifikan adalah pelembagaan peran militer dalam politik. Keterlibatan militer dalam urusan sipil yang dimulai pada masa ini menjadi fondasi bagi lahirnya doktrin Dwifungsi ABRI, yang kemudian menjadi pilar utama penyokong rezim Orde Baru selama 32 tahun.69 Selain itu, Demokrasi Terpimpin menanamkan sebuah kultur politik yang sentralistis, anti-demokrasi parlementer, dan sangat rentan terhadap otoritarianisme. Dalam kultur ini, stabilitas politik dan persatuan nasional (seperti yang ditafsirkan oleh penguasa) diprioritaskan di atas segalanya, bahkan jika harus mengorbankan kebebasan sipil dan hak-hak individu.69

Refleksi untuk Masa Kini

Pelajaran dari era Demokrasi Terpimpin tetap sangat relevan bagi Indonesia saat ini. Periode ini menjadi pengingat abadi tentang bahaya pemusatan kekuasaan yang berlebihan di tangan satu orang atau satu lembaga tanpa adanya mekanisme pengawasan dan keseimbangan (checks and balances) yang efektif. Ia juga menunjukkan risiko besar dari politisasi militer dan pentingnya menjaga profesionalisme institusi negara.69 Kegagalan ekonominya mengajarkan bahwa kebijakan negara harus didasarkan pada rasionalitas ekonomi yang sehat, bukan semata-mata pada retorika ideologis atau ambisi politik yang tidak realistis.69

Pada akhirnya, Demokrasi Terpimpin dapat dianalisis bukan hanya sebagai antitesis dari Orde Baru yang menggantikannya, tetapi juga sebagai "laboratorium" politik bagi rezim tersebut. Banyak struktur dan metode kekuasaan yang menjadi ciri khas Orde Baru sebenarnya merupakan penyempurnaan dan pelembagaan dari apa yang telah dirintis pada masa Demokrasi Terpimpin. Konsep eksekutif yang sangat kuat dan dominan 83, parlemen yang dilemahkan dan kooptasi 28, peran sentral militer dalam politik dan ekonomi 15, penggunaan ideologi negara sebagai alat legitimasi dan kontrol sosial 28, serta pembatasan kebebasan sipil demi "stabilitas" 56—semua elemen ini telah ada dalam bentuk prototipe pada masa Soekarno. Rezim Soeharto kemudian mengambil kerangka ini, membersihkannya dari unsur-unsur kiri (PKI), mengganti figur sentralnya, dan menjalankannya dengan cara yang jauh lebih sistematis, efisien, dan represif. Dengan demikian, warisan terbesar Demokrasi Terpimpin bukanlah ideologi NASAKOM Soekarno, melainkan cetak biru arsitektur kekuasaan otoriter yang diwarisi dan disempurnakan oleh penggantinya.

Daftar Pustaka

  1. DEMOKRASI TERPIMPIN SEBUAH KONSEPSI PEMIKIRAN SOEKARNO TENTANG DEMOKRASI Oleh Himawan Indrajat,  https://jurnalsosiologi.fisip.unila.ac.id/index.php/jurnal/article/download/72/76

  2. Konsepsi Presiden | PDF | Politik | Ilmu Sosial - Scribd,  https://id.scribd.com/doc/95823518/KONSEPSI-PRESIDEN

  3. DEMOKRASI TERPIMPIN DALAM PEMIKIRAN DAN PRAKTIK POLITIK Anwar Ilmar - uta'45 journal,  https://journal.uta45jakarta.ac.id/index.php/polhi/article/download/1276/866

  4. Segitiga Kekuasaan Demokrasi Terpimpin Tahun 1959-1965: Sukarno, TNI-AD dan Partai Komunis Indonesia | Yupa: Historical Studies Journal - Jurnal FKIP Universitas Mulawarman,  https://jurnal.fkip.unmul.ac.id/index.php/yupa/article/view/1051

  5. NASAKOM SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA TAHUN 1959-1965 - Jurnal OnLine UNESA,  https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/avatara/article/view/20612/18892

  6. (PDF) Sistem Demokrasi Liberal 1950-1959 : Sebuah Gagasan yang Gagal - ResearchGate,  https://www.researchgate.net/publication/375595839_Sistem_Demokrasi_Liberal_1950-1959_Sebuah_Gagasan_yang_Gagal

  7. Pengertian Demokrasi Liberal hingga Sejarah Demokrasi Liberal di Indonesia - Gramedia,  https://www.gramedia.com/literasi/pengertian-demokrasi-liberal/

  8. Era Demokrasi Liberal (1950–1959) - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas,  https://id.wikipedia.org/wiki/Era_Demokrasi_Liberal_(1950%E2%80%931959)

  9. 7 Kabinet pada Masa Demokrasi Liberal di Indonesia - Pijar Article,  https://www.pijarbelajar.id/blog/7-kabinet-pada-masa-demokrasi-liberal-di-indonesia

  10. Demokrasi Liberal Indonesia 1950-1959 | PDF - Scribd,  https://id.scribd.com/presentation/393138782/Demokrasi-Liberal

  11. Penyebab Kegagalan Demokrasi Liberal di Indonesia yang Perlu Diketahui | kumparan.com,  https://kumparan.com/sejarah-dan-sosial/penyebab-kegagalan-demokrasi-liberal-di-indonesia-yang-perlu-diketahui-21RBDaGtQzZ

  12. Alasan Hasil Pemilu Pertama Gagal Dilaksanakan dalam Sejarah Indonesia - Kumparan,  https://kumparan.com/berita-terkini/alasan-hasil-pemilu-pertama-gagal-dilaksanakan-dalam-sejarah-indonesia-1zQJPIsdiWi

  13. (PDF) DIBUBARKANNYA KONSTITUANTE OLEH SOEKARNO TAHUN 1959,  https://www.researchgate.net/publication/375757631_DIBUBARKANNYA_KONSTITUANTE_OLEH_SOEKARNO_TAHUN_1959

  14. Konstituante: Sejarah, Susunan Organisasi, dan Kegagalannya,  https://kumparan.com/berita-terkini/konstituante-sejarah-susunan-organisasi-dan-kegagalannya-1zRdeD4EOZP

  15. Penyebab Kegagalan Penyusunan Undang-Undang Dasar Oleh Konstituante | PDF - Scribd,  https://id.scribd.com/document/354827556/1

  16. Kegagalan Konstituate | PDF | Politik - Scribd,  https://id.scribd.com/document/426058914/kegagalan-konstituate

  17. Penyebab Kegagalan Demokrasi Parlementer di Indonesia, Materi Sejarah - Bobo.ID,  https://bobo.grid.id/read/083979184/penyebab-kegagalan-demokrasi-parlementer-di-indonesia-materi-sejarah?page=all

  18. Kebijakan Konsepsi Presiden 21 Februari 1957 | PDF - Scribd,  https://id.scribd.com/document/607422656/Kebijakan-Konsepsi-Presiden-21-Februari-1957

  19. DEMOKRASI ALA SOEKARNO (DEMOKRASI TERPIMPIN) SKRIPSI OLEH : HAMDAN HAMID 10731000028 PROGRAM S1 JURUSAN AKIDAH FILSAFAT JURUSAN,  https://repository.uin-suska.ac.id/9547/1/2012_201208AF.pdf

  20. Konsepsi Presiden Soekarno - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas,  https://id.wikipedia.org/wiki/Konsepsi_Presiden_Soekarno

  21. Konsepsi Presiden 1957, Demokrasi ala Soekarno yang Tuai Pro-Kontra - Kompas.com,  https://www.kompas.com/stori/read/2024/03/20/160000179/konsepsi-presiden-1957-demokrasi-ala-soekarno-yang-tuai-pro-kontra

  22. Dekrit Presiden 5 Juli 1959: Isi hingga Sejarahnya - detikNews,  https://news.detik.com/berita/d-7422179/dekrit-presiden-5-juli-1959-isi-hingga-sejarahnya

  23. ANALISIS KONSTITUSIONALITAS DEKRIT PRESIDEN 5 JULI 1959 MENURUT HUKUM TATA NEGARA INDONESIA - Jurnal Online UNJA,  https://online-journal.unja.ac.id/Limbago/article/download/15358/12992/48165

  24. Dekret Presiden 5 Juli 1959: Sejarah dan Dampaknya – Gramedia Literasi,  https://www.gramedia.com/literasi/dekret-presiden-5-juli-1959/

  25. Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Latar Belakang, dan Dampak Positifnya,  https://fahum.umsu.ac.id/info-isi-dekrit-presiden-5-juli-1959-latar-belakang-dan-dampak-positifnya/

  26. Pelajaran Berharga dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Oleh Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H.,  https://law.ui.ac.id/pelajaran-berharga-dari-dekrit-presiden-5-juli-1959-oleh-prof-dr-satya-arinanto-s-h-m-h/

  27. (PDF) KONSEPSI PRESIDEN 1957: PEMICU TIMBULNYA UNDANG- UNDANG KEADAAN DARURAT (S.O.B) - ResearchGate,  https://www.researchgate.net/publication/375989418_KONSEPSI_PRESIDEN_1957_PEMICU_TIMBULNYA_UNDANG-_UNDANG_KEADAAN_DARURAT_SOB

  28. Sistem dan Struktur Politik dan Ekonomi Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) - Belajar Pintar Materi SMP, SMA, SMK,  https://akupintar.id/belajar/-/online/materi/modul/12-mia/sejarah-indonesia-wajib/sistem-dan-struktur-politik-dan-ekonomi-masa-demokrasi-terpimpin-1959-1965/dinamika-politik-masa-demokrasi-terpimpin/494464

  29. Demokrasi Terpimpin | PDF - Scribd,  https://id.scribd.com/document/524993604/demokrasi-terpimpin

  30. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas,  https://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Permusyawaratan_Rakyat_Sementara

  31. Lembaga Negara yang Dibentuk pada Masa Demokrasi Terpimpin, Materi Sejarah,  https://bobo.grid.id/read/083972832/lembaga-negara-yang-dibentuk-pada-masa-demokrasi-terpimpin-materi-sejarah?page=all

  32. Makalah Sistem Dan Struktur Politik Dan Ekonomi Indonesia Masa Demokrasi Terpimpin,  https://id.scribd.com/document/439342215/Makalah-Sistem-Dan-Struktur-Politik-Dan-Ekonomi-Indonesia-Masa-Demokrasi-Terpimpin

  33. Rancangan Ketetapan MPRS RI Nomor : III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno menjadi Presiden RI seumur hidup. - Arsip DPAD,  https://arsip.jogjaprov.go.id/index.php/207-rancangan-ketetapan-mprs-ri-nomor-iii-mprs-1963-tentang-pengangkatan-pemimpin-besar-revolusi-indonesia-bung-karno-menjadi-presiden-ri-seumur-hidup

  34. Analisis Wacana Kritis Video Youtube “Presiden Seumur Hidup” di Akun Cak Nun.com,  https://jurnal.uinsyahada.ac.id/index.php/Hik/article/download/6606/pdf

  35. Masa Jabatan Presiden Seumur Hidup, Siapa Saja yang Mendorong Soekarno? - Tempo.co,  https://www.tempo.co/politik/masa-jabatan-presiden-seumur-hidup-siapa-saja-yang-mendorong-soekarno--421967

  36. Asal Usul Gelar “Presiden Seumur Hidup” Sukarno - Berdikari Online,  https://www.berdikarionline.com/asal-usul-gelar-presiden-seumur-hidup-sukarno/

  37. tap mprs iii/1963 tentang kepemimpinan dalam sistem politik indonesia pada masa demokrasi terpimpin ditinjau menurut fiqih siyasah,  https://repository.uin-suska.ac.id/35374/2/GABUNGAN%20KECUALI%20BAB%20IV.pdf

  38. Soekarno dan Nasakom dalam Pendekatan Idiosinkratik (psikologi kepemimpinan) - JURNAL PUBLIKASI UNSUDA LAMONGAN,  https://ejournal.unsuda.ac.id/index.php/bki/article/download/173/162/486

  39. PANCASILA DAN NASAKOM DALAM MEMPERSATUKAN BANGSA INDONESIA (Kajian Kritis Sejarah Intelektual),  https://online-journal.unja.ac.id/jejak/article/download/22428/14710/63539

  40. Mengenal Sejarah NASAKOM, Gagasan Politik yang Sangat Digdaya di Era Soekarno,  https://bpmbkm.uma.ac.id/2022/04/19/mengenal-sejarah-nasakom-gagasan-politik-yang-sangat-digdaya-di-era-soekarno/

  41. Pemikiran Soekarno Tentang Nasakom dan Implementasinya di Era Demokrasi Terpimpin,  https://jurnal.ipw.ac.id/index.php/rinontje/article/view/102

  42. Pengaruh Pelaksanaaan Demokrasi Terpimpin Terhadap Perkembangan Komunis di Indonesia Tahun 1959-1965 | Rinontje: Jurnal Pendidikan dan Penelitian Sejarah,  https://jurnal.ipw.ac.id/index.php/rinontje/article/view/81

  43. Latar Belakang Demokrasi Terpimpin dan Implementasinya di Indonesia,  https://www.goodnewsfromindonesia.id/2025/01/07/demokrasi-terpimpin-teori-konsep-dan-implementasi-di-indonesia

  44. Kutuk Herbert Feith - IndoPROGRESS,  https://indoprogress.com/2006/01/kutuk-herbert-feith/

  45. Sistem dan Struktur Politik dan Ekonomi Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) - Belajar Pintar Materi SMP, SMA, SMK,  https://akupintar.id/belajar/-/online/materi/modul/12-mia/sejarah-indonesia-wajib/sistem-dan-struktur-politik-dan-ekonomi-masa-demokrasi-terpimpin-1959-1965/perkembangan-ekonomi-masa-demokrasi-terpimpin/494465

  46. Kebijakan Ekonomi Masa Demokrasi Terpimpin - SMA Negeri 13 Semarang,  https://sma13smg.sch.id/materi/kebijakan-ekonomi-masa-demokrasi-terpimpin/

  47. Masa Demokrasi Terpimpin - Kebijakan Ekonomi dan Politik - Pijar Article,  https://www.pijarbelajar.id/blog/masa-demokrasi-terpimpin

  48. Kehidupan Masyarakat Indonesia di Masa Demokrasi Terpimpin - Ruangguru,  https://www.ruangguru.com/blog/sejarah-kelas-12-kehidupan-indonesia-di-masa-demokrasi-terpimpin

  49. Mengapa Terjadi Inflasi pada Masa Demokrasi Terpimpin? - Kompas Money,  https://money.kompas.com/read/2024/03/21/185748726/mengapa-terjadi-inflasi-pada-masa-demokrasi-terpimpin

  50. Hiperinflasi Ekonomi di Indonesia, Penyebab dan Cara Mengatasinya - Pintu Blog,  https://pintu.co.id/blog/hiperinflasi-ekonomi-adalah

  51. Masa Kepemimpinan Soekarno: HIPERINFLASI - Indonesiabaik.id,  https://indonesiabaik.id/infografis/masa-kepemimpinan-soekarno-hiperinflasi

  52. Hiperinflasi Indonesia 1963-1965 - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas,  https://id.wikipedia.org/wiki/Hiperinflasi_Indonesia_1963-1965

  53. 11 Maret 1966, Peristiwa Supersemar - SMA Negeri 13 Semarang,  https://sma13smg.sch.id/materi/11-maret-1966-peristiwa-supersemar/

  54. Page 11 - modul sejarah indonesia - Flipbuilder,  https://online.flipbuilder.com/gmdol/kwyr/files/basic-html/page11.html

  55. POLITIK LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA PADA MASA KONFRONTASI INDONESIA-MALAYSIA TAHUN 1963-1966 | Kusmayadi | Jurnal Artefak - Jurnal Unigal,  https://jurnal.unigal.ac.id/artefak/article/view/732

  56. DEMOKRASI DALAM SEJARAH KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA Arif Wijaya,  https://jurnalfsh.uinsa.ac.id/index.php/aldaulah/article/download/52/37/37

  57. Konfrontasi Indonesia-Malaysia: Penyebab, Perkembangan, dan Akhirnya - Kompas.com,  https://www.kompas.com/stori/read/2021/04/19/193635679/konfrontasi-indonesia-malaysia-penyebab-perkembangan-dan-akhirnya

  58. Apa Alasan Indonesia Masuk Kembali ke PBB? Simak Yuk! - Pijar Belajar,  https://www.pijarbelajar.id/blog/indonesia-masuk-kembali-ke-pbb

  59. Sejarah Indonesia Pasca Kemerdekaan - Selamat Datang di Website Resmi Pemerintah Daerah Kota Cimahi,  https://cimahikota.go.id/artikel/detail/1221-sejarah-indonesia-pasca-

  60. Konfrontasi Indonesia–Malaysia - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas,  https://id.wikipedia.org/wiki/Konfrontasi_Indonesia%E2%80%93Malaysia

  61. Soekarno Mengeluarkan Indonesia dari Ketidaktegasan PBB - Asumsi.co,  https://asumsi.co/post/57436/7-januari-soekarno-mengeluarkan-indonesia-dari-ketidaktegasan-pbb/

  62. Alasan Indonesia Keluar dari Keanggotaan PBB - Materi Sejarah Kelas 12,  https://www.zenius.net/blog/indonesia-keluar-dari-pbb/

  63. Mengenal Latar Belakang, Alasan, dan Dampak Indonesia Keluar dari PBB | kumparan.com,  https://kumparan.com/sejarah-dan-sosial/mengenal-latar-belakang-alasan-dan-dampak-indonesia-keluar-dari-pbb-21aFmpBevGg

  64. Ganefo dan Mimpi Besar Sukarno - Historia.ID,  https://www.historia.id/article/ganefo-dan-mimpi-besar-sukarno

  65. KONTESTASI POLITIK DALAM KOMPETISI OLAHRAGA GANEFO - http:/ /ejournal.upi. edu,  https://ejournal.upi.edu/index.php/historia/article/download/52394/24555

  66. Sejarah CONEFO: Organisasi Tandingan PBB Ala Soekarno - INTIPS - YouTube,  https://www.youtube.com/watch?v=fxjSte_B0nM

  67. CONEFO - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas,  https://id.wikipedia.org/wiki/CONEFO

  68. Sejarah CONEFO, Aliansi Non-Blok Gagasan Soekarno yang Dibentuk Indonesia Bersama 3 Negara Komunis - SINDOnews.com,  https://international.sindonews.com/read/1016609/45/sejarah-conefo-aliansi-non-blok-gagasan-soekarno-yang-dibentuk-indonesia-bersama-3-negara-komunis-1675760563

  69. Warisan Demokrasi Terpimpin di Indonesia: Pelajaran untuk Generasi Masa Kini,  https://latiseducation.com/artikel/641/warisan-demokrasi-terpimpin-di-indonesia-pelajaran-untuk-generasi-masa-kini

  70. Mengenang kembali sejarah pembebasan Irian Barat 58 tahun yang lalu - ANTARA News,  https://www.antaranews.com/berita/2134418/mengenang-kembali-sejarah-pembebasan-irian-barat-58-tahun-yang-lalu

  71. Pembebasan Irian Barat: Sejarah, Trikora, hingga Peran UNTEA - Zenius Education,  https://www.zenius.net/blog/pembebasan-irian-barat/

  72. PEMBEBASAN IRIAN BARAT DARI TANGAN BELANDA | Sejarah Indonesia - YouTube,  https://www.youtube.com/watch?v=d8bzJX7Gnyc

  73. Indonesian political strategy in the context of struggling for liberation of West Irian is a real - PERANAN NELAYAN SEBAGAI PENJAGA “BERANDA NEGARA” MERUPAKAN BENTUK NASIONALISME,  https://ejournal.undip.ac.id/index.php/cilekha/article/download/3415/3070

  74. Operasi Trikora - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas,  https://id.wikipedia.org/wiki/Operasi_Trikora

  75. Sejarawan Asvi Warman Adam: Saya Bukan Pengkhianat Negara - Historia.ID,  https://www.historia.id/article/sejarawan-asvi-warman-adam-saya-bukan-pengkhianat-negara

  76. Kontroversi Supersemar, Surat yang Mengubah Arah Sejarah Indonesia - BidikUtama.com,  https://bidikutama.com/akademik/opini/kontroversi-supersemar-surat-yang-mengubah-arah-sejarah-indonesia/

  77. 11 Maret 1966: Supersemar dalam Balutan Misteri Kepemimpinan Soekarno-Soeharto,  https://asumsi.co/post/57869/11-maret-1966-supersemar-dalam-balutan-misteri-kepemimpinan-soekarno-soeharto/

  78. Kontroversi Supersemar, Kemarahan Soekarno hingga Manuver Soeharto - KOMPAS.com,  https://nasional.kompas.com/read/2021/03/11/05300061/kontroversi-supersemar-kemarahan-soekarno-hingga-manuver-soeharto?page=all

  79. SUPERSEMAR: SEJARAH, DAMPAK, DAN KONTROVERSI DI INDONESIA,  https://pasca.unair.ac.id/supersemar-sejarah-dampak-dan-kontroversi-di-indonesia/

  80. Wawancara Asvi Warman Adam: Supersemar Mungkin Blunder Bung Karno - KOMPAS.com,  https://nasional.kompas.com/read/2016/03/12/08170011/Wawancara.Asvi.Warman.Adam.Supersemar.Mungkin.Blunder.Bung.Karno?page=all

  81. Wawancara Asvi Warman Adam: Supersemar Mungkin Blunder Bung Karno - YPKP 1965,  https://ypkp1965.org/blog/2016/03/11/wawancara-asvi-warman-adam-supersemar-mungkin-blunder-bung-karno/

  82. Supersemar: Latar Belakang, Tujuan dan Dampaknya – Gramedia Literasi,  https://www.gramedia.com/literasi/supersemar/

  83. Demokrasi Terpimpin Pengertian, Tujuan, Ciri, Kelebihan, Kelemahan, dan Penyimpangannya,  https://fahum.umsu.ac.id/info-demokrasi-terpimpin-pengertian-tujuan-ciri-kelebihan-kelemahan-dan-penyimpangannya/

  84. Demokrasi Indonesia dalam Lintasan Sejarah Yang Nyata dan Yang Seharusnya Oleh - Journal UNY,  https://journal.uny.ac.id/index.php/mozaik/article/download/10770/8108/26168

  85. Prinsip Demokrasi Dalam Sistem Politik Di Indonesia Guna Mewujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat - Jurnal Lemhannas RI,  https://jurnal.lemhannas.go.id/index.php/jkl/article/download/121/43/

  86. Memahami Dinamika Demokrasi di Indonesia - Kompaspedia,  https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/memahami-dinamika-demokrasi-di-indonesia

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menempa Akal untuk Mengubah Dunia dengan Panduan Berpikir Kritis ala Madilog

Pendahuluan: Lahirnya Sebuah Alat Berpikir Pada pertengahan tahun 1942, di tengah suasana politik yang membara di bawah pendudukan Jepang, seorang buronan revolusioner bernama Tan Malaka memulai sebuah proyek intelektual yang ambisius. Dalam kesendirian dan persembunyiannya di Rawajati, Jakarta, ia merenungkan sebuah pertanyaan mendasar: dari mana seorang pejuang harus memulai? Di tengah gegap gempita perubahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, ia tidak memilih menulis pamflet politik yang membakar, melainkan memutuskan untuk menempa sebuah senjata yang lebih fundamental: sebuah cara berpikir. Buku yang lahir dari perenungan ini, Madilog , bukanlah sekadar kumpulan gagasan, melainkan sebuah cetak biru untuk merombak fondasi intelektual bangsanya. Pendahuluan buku ini adalah jendela untuk memahami urgensi, kondisi, dan tujuan dari kelahiran mahakarya tersebut. Di Bawah Bayang-Bayang Samurai sebagai Sebuah Titik Mula Untuk memahami mengapa Madilog ditulis, kita harus terlebih dahulu mem...

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia Dalam kancah kehidupan bernegara, hukum acapkali hadir sebagai entitas yang paradoks. ia adalah cita-cita luhur keadilan yang terukir dalam konstitusi, namun pada saat yang sama, ia juga merupakan realitas pragmatis yang beradaptasi dengan dinamika sosial-politik yang tak terduga. Di Indonesia, sebuah negara kepulauan yang kaya akan keberagaman dan gejolak, hukum seringkali terasa "mengawang" di tengah idealisme normatif, tetapi kemudian "membumi" dalam praktik penegakan yang sarat kepentingan dan interpretasi. Fenomena ini menciptakan ketegangan abadi antara norma yang seharusnya dan fakta yang senyatanya, sebuah dialektika yang menuntut pemahaman mendalam melampaui sekadar teks perundang-undangan. Esai ini hadir untuk menjembatani jurang antara idealisme filosofis dan realitas konstitusional di Indonesia, sebuah upaya untuk mengurai benang kusut yang melingkupi berbagai i...

Membaca Ulang Peta Pemikiran Karl Marx di Era Digital

Ada hantu bergentayangan di nusantara—hantu Marxisme . Selama lebih dari tiga dekade, hantu ini tidak sekadar menakut-nakuti; ia menjadi justifikasi bagi tumpahnya darah, air mata, dan pedih yang tak terperi . Siapapun yang "dipertautkan" dengannya, atau sekadar "dipersangkakan" sebagai pengikutnya, harus menanggung akibat yang mengerikan . Pelarangan total atas ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme sejak 1965 ( TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 ) bukan hanya sebuah kebijakan politik, melainkan operasi ideologis berskala masif untuk menciptakan lobotomi intelektual . Akibatnya, seperti yang disiratkan dalam pengantar buku Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx , pemikiran sosial kita menjadi tumpul dan kering . Kita kehilangan mitra dialog yang tajam, sebuah cermin kritis untuk menguji ideologi-ideologi lain yang hidup di republik ini . Maka, mengabaikan pemikiran Karl Marx, dalam konteks ini, bukan lagi pilihan, melainkan sebuah "kecelakaan ilmiah"...