Langsung ke konten utama

Membongkar Ide-ide John Locke: Kebebasan, Pemerintahan, dan Hak Rakyat

Pendahuluan: Siapa John Locke dan Mengapa Ia Penting?

John Locke (1632–1704) adalah seorang filsuf Inggris yang pemikirannya secara fundamental membentuk dasar bagi banyak pemerintahan modern dan gagasan tentang kebebasan individu. Ide-idenya tentang hak-hak yang tidak dapat dicabut dan pemerintahan yang didasarkan pada persetujuan rakyat menjadi pilar bagi revolusi-revolusi besar, termasuk Revolusi Amerika.

Locke hidup pada salah satu periode paling bergejolak dalam sejarah Inggris. Ia menyaksikan perang sipil yang memecah belah bangsanya, eksekusi Raja Charles I pada tahun 1649, dan pergantian kekuasaan yang penuh ketidakpastian. Kekacauan ini bukanlah sekadar latar belakang; ia adalah tungku intelektual yang memaksa Locke untuk menempa jawaban-jawaban baru atas pertanyaan abadi: Dari mana datangnya kekuasaan yang sah, dan kapan rakyat berhak menolaknya?

Dokumen ini akan menyederhanakan empat gagasan besar John Locke yang paling berpengaruh:

  1. Keadaan Alamiah & Hak Kodrati: Kondisi manusia sebelum adanya pemerintah.
  2. Kontrak Sosial: Bagaimana dan mengapa pemerintah dibentuk.
  3. Batasan Pemerintah: Tujuan dan batasan kekuasaan politik.
  4. Hak untuk Memberontak: Hak tertinggi rakyat ketika pemerintah menjadi tiran.

Namun, sebelum Locke membangun teorinya sendiri, ia harus terlebih dahulu meruntuhkan sebuah gagasan yang sangat berkuasa pada masanya: hak ilahi para raja.

1. Titik Awal: Melawan Kekuasaan Absolut Raja

Gagasan dominan yang ditentang Locke adalah teori Hak Ilahi Raja, yang dipopulerkan oleh Sir Robert Filmer dalam karyanya, Patriarcha. Dalam buku pertamanya, First Treatise of Government, Locke secara sistematis membongkar argumen Filmer.

Sistem Filmer dapat diringkas menjadi dua poin utama:

  • Semua pemerintahan adalah monarki absolut. Menurut Filmer, raja memiliki kekuasaan mutlak tanpa batas atas rakyatnya.
  • Tidak ada manusia yang terlahir bebas. Filmer berargumen bahwa semua orang pada dasarnya terlahir sebagai budak dari penguasa mereka. Status ini diwariskan dari Adam, yang ia klaim sebagai monark absolut pertama yang ditunjuk oleh Tuhan.

Dalam First Treatise-nya, Locke bertujuan untuk "mendeteksi dan menggulingkan" apa yang ia sebut sebagai "prinsip-prinsip dan landasan palsu" dari Filmer. Locke membantah klaim-klaim ini dengan menunjukkan bahwa tidak ada bukti dari Kitab Suci maupun akal sehat yang mendukung gagasan bahwa Adam diberikan kekuasaan monarki absolut atas seluruh dunia yang dapat diwariskan kepada ahli warisnya. Bagi Locke, argumen Filmer hanyalah "seutas tali pasir" yang tidak memiliki kekuatan nyata.

Dengan membuktikan bahwa tidak ada manusia yang terlahir sebagai budak dari penguasa yang ditunjuk Tuhan, Locke membuka ruang intelektual untuk gagasan radikal bahwa manusia terlahir bebas dan setara—titik awal dari seluruh filsafat politiknya. Setelah meruntuhkan fondasi monarki absolut, Locke kemudian membangun visinya sendiri tentang pemerintahan yang sah, yang dimulai dari sebuah pertanyaan fundamental: seperti apa kehidupan manusia sebelum adanya pemerintah?

2. Konsep Inti 1: Keadaan Alamiah dan Hak Kodrati

Untuk memahami asal-usul kekuasaan politik, Locke meminta kita membayangkan sebuah Keadaan Alamiah (State of Nature), yaitu kondisi hipotetis manusia sebelum adanya pemerintahan atau masyarakat sipil.

Menurut Locke, Keadaan Alamiah memiliki tiga karakteristik utama:

  • Kebebasan Sempurna: Manusia bebas untuk "mengatur tindakan mereka, dan membuang kepemilikan dan diri mereka, sebagaimana yang mereka anggap pantas, dalam batas-batas hukum alam." Namun, ini bukan keadaan tanpa aturan (state of licence). Bagi Locke, kebebasan sejati bukanlah kemampuan untuk melakukan apa pun yang diinginkan, melainkan kemampuan untuk bertindak sesuai hukum akal budi tanpa tunduk pada kehendak sewenang-wenang orang lain. Keadaan tanpa aturan justru akan menciptakan kekacauan di mana yang kuat mendominasi yang lemah—kebalikan dari kebebasan yang diperjuangkan Locke.
  • Kesetaraan Sempurna: Tidak ada seorang pun yang secara alami memiliki kekuasaan atau yurisdiksi atas orang lain. Semua manusia setara, karena mereka adalah "makhluk dari spesies dan peringkat yang sama."
  • Diatur oleh Hukum Alam: Keadaan alamiah memiliki hukum alam untuk mengaturnya, dan "akal budi adalah hukum itu" (reason, which is that law). Hukum ini mengajarkan kepada seluruh umat manusia bahwa karena semua orang setara dan merdeka, "tidak seorang pun boleh merugikan orang lain dalam kehidupan, kesehatan, kebebasan, atau kepemilikan mereka."

Dari Hukum Alam inilah muncul konsep Hak-Hak Kodrati (Natural Rights). Ini adalah hak-hak yang melekat pada setiap individu, yang diberikan oleh Tuhan dan akal budi, bahkan tanpa adanya pemerintah. Tiga hak yang paling mendasar adalah:

  1. Hidup
  2. Kebebasan
  3. Kepemilikan (Property)

Meskipun ideal, Keadaan Alamiah memiliki "ketidaknyamanan" yang besar. Ketika hukum alam dilanggar, setiap orang menjadi hakim dalam kasusnya sendiri. Hal ini dapat menyebabkan bias, balas dendam yang berlebihan, dan pada akhirnya, kekacauan. Manusia, yang "bias terhadap diri mereka sendiri," akan menjadi hakim yang buruk, dan "sifat buruk, gairah, dan balas dendam akan membawa mereka terlalu jauh dalam menghukum orang lain."

Ketidakpastian dan potensi konflik dalam keadaan alamiah inilah yang mendorong manusia untuk mencari solusi, yaitu dengan menciptakan sebuah masyarakat politik melalui sebuah kesepakatan bersama.

3. Konsep Inti 2: Kontrak Sosial - Jalan Menuju Pemerintahan

Untuk menghindari ketidaknyamanan dalam Keadaan Alamiah, manusia secara sukarela setuju untuk membentuk sebuah masyarakat. Kesepakatan ini disebut Kontrak Sosial (Social Contract). Ini adalah fondasi dari semua pemerintahan yang sah, yang didasarkan pada persetujuan dari yang diperintah (consent of the governed).

Proses pembentukan masyarakat politik ini terjadi dalam dua langkah utama:

  1. Melepaskan Hak Individu: Setiap individu setuju untuk melepaskan satu hak spesifik yang mereka miliki di keadaan alamiah, yaitu hak untuk menghukum pelanggar hukum alam (kekuasaan eksekutif).
  2. Menyerahkannya kepada Komunitas: Hak ini tidak diserahkan kepada seorang raja absolut, melainkan "ke tangan komunitas." Komunitas kemudian menjadi wasit bersama dengan menetapkan aturan-aturan tetap untuk melindungi hak milik semua anggotanya.

Dengan kata lain, manusia menukar sebagian kecil kebebasan absolut mereka (hak untuk menjadi hakim sendiri) demi keamanan dan kepastian hidup dalam masyarakat yang teratur.

Perbandingan berikut memperjelas keuntungan dari Kontrak Sosial:

Fitur

Keadaan Alamiah

Masyarakat Sipil (Pemerintahan)

Hukum

Hukum Alam (tidak tertulis, berdasarkan akal)

Hukum yang Ditetapkan (tertulis dan jelas)

Hakim

Setiap individu adalah hakim bagi dirinya sendiri

Hakim yang netral dan berwenang

Eksekusi Hukum

Kekuatan individu yang tidak pasti

Kekuatan gabungan seluruh masyarakat

Setelah masyarakat terbentuk melalui kontrak sosial, mereka kemudian mendirikan sebuah pemerintahan. Namun, bagi Locke, kekuasaan pemerintah ini tidaklah tak terbatas.

4. Konsep Inti 3: Peran dan Batasan Pemerintah

Tujuan utama pemerintah, menurut Locke, adalah pelestarian properti warganya. Penting untuk diingat bahwa "properti" bagi Locke memiliki arti yang sangat luas, mencakup "kehidupan, kebebasan, dan harta benda" (lives, liberties, and estates).

Untuk mencapai tujuan ini, kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan adalah kekuasaan legislatif (badan pembuat undang-undang). Namun, kekuasaan ini tidak absolut dan memiliki batasan-batasan yang jelas:

  • Tidak Boleh Sewenang-wenang: Pemerintah harus memerintah melalui "hukum-hukum yang diumumkan dan ditetapkan," bukan melalui dekret-dekret mendadak atau keputusan yang sewenang-wenang. Tujuannya adalah agar rakyat "mengetahui tugas mereka, dan aman serta terjamin dalam batas-batas hukum."
  • Harus untuk Kebaikan Publik: Semua hukum dan tindakan pemerintah "tidak boleh ditujukan untuk tujuan lain selain kebaikan rakyat."
  • Tidak Boleh Mengambil Properti Tanpa Persetujuan: Pemerintah "tidak dapat mengambil dari siapa pun bagian dari propertinya tanpa persetujuannya sendiri." Ini berarti pajak hanya dapat dipungut dengan persetujuan rakyat, biasanya melalui perwakilan yang mereka pilih.

Locke menggambarkan hubungan antara rakyat dan pemerintah sebagai sebuah kepercayaan (fiduciary power). Metafora ini sangat penting: rakyat adalah pihak yang memberikan kepercayaan (beneficiary), dan pemerintah adalah wali amanat (trustee) yang dipercayakan kekuasaan. Seperti seorang wali amanat yang mengelola aset untuk kepentingan penerima manfaat, pemerintah mengelola kekuasaan demi kebaikan rakyat. Jika wali amanat (pemerintah) melanggar syarat-syarat kepercayaan tersebut—misalnya dengan menyalahgunakan kekuasaan—maka penerima manfaat (rakyat) berhak mencabut kepercayaan itu, memecat wali amanat, dan mengambil kembali aset mereka (kekuasaan berdaulat).

Tetapi apa yang terjadi jika pemerintah secara terang-terangan mengkhianati kepercayaan ini dan justru menjadi ancaman bagi rakyatnya? Locke memberikan jawaban yang radikal untuk pertanyaan ini.

5. Konsep Inti 4: Hak untuk Memberontak

Bagi Locke, ketika pemerintah melanggar kontrak sosial dan mencoba "mengambil dan menghancurkan properti rakyat, atau mengurangi mereka menjadi budak di bawah kekuasaan sewenang-wenang," pemerintah tersebut telah menempatkan dirinya dalam keadaan perang (state of war) dengan rakyatnya.

Dalam situasi seperti ini, pemerintah telah membubarkan dirinya sendiri (dissolution of government). Menurut Locke, pihak yang benar-benar melakukan pemberontakan bukanlah rakyat, melainkan pemerintah tiran itu sendiri. Dengan menggunakan kekuatan di luar hukum, pemerintah menjadi "pemberontak" (rebellantes) sejati yang menentang konstitusi dan rakyat.

Sebagai jalan terakhir, rakyat memiliki Hak untuk Memberontak. Kekuasaan kembali kepada rakyat, yang berhak untuk:

  • Melawan tiran dengan kekerasan.
  • Mendirikan badan legislatif baru untuk membentuk pemerintahan baru yang akan melindungi hak-hak mereka dengan lebih baik.

Locke menyebut tindakan ini sebagai "banding ke Surga" (appeal to Heaven), karena ketika tidak ada lagi hakim di bumi yang bisa menyelesaikan perselisihan antara pemerintah yang tiran dan rakyat, rakyat hanya bisa berserah pada Tuhan untuk menilai kebenaran perjuangan mereka.

Gagasan-gagasan radikal Locke tentang pemerintahan yang didasarkan pada persetujuan dan hak rakyat untuk melawan tirani tidak hanya menjadi teori, tetapi juga menginspirasi perubahan nyata di seluruh dunia.

Kesimpulan: Warisan Abadi John Locke

Pemikiran John Locke memberikan kerangka kerja yang kuat untuk memahami pemerintahan yang adil dan kebebasan individu. Dengan menolak kekuasaan absolut dan hak ilahi, ia membangun sebuah teori di mana otoritas politik berasal dari persetujuan rakyat. Ia berpendapat bahwa manusia memiliki hak kodrati atas hidup, kebebasan, dan properti yang harus dilindungi oleh pemerintah. Pemerintah sendiri adalah sebuah entitas yang dibatasi oleh hukum dan bertindak atas dasar kepercayaan. Jika kepercayaan itu dikhianati, rakyat memiliki hak tertinggi untuk membubarkannya dan membentuk yang baru.

Gagasan-gagasan ini sangat revolusioner pada masanya dan memiliki pengaruh yang luar biasa. Prinsip-prinsip Locke secara langsung menginspirasi para pendiri Amerika Serikat dan menjadi landasan bagi Deklarasi Kemerdekaan dan Konstitusi AS. Gagasan Locke tentang hak kodrati atas "kehidupan, kebebasan, dan kepemilikan" (lives, liberties, and estates) bergema langsung dalam frasa abadi Thomas Jefferson tentang "Kehidupan, Kebebasan, dan pengejaran Kebahagiaan", yang menunjukkan betapa dalamnya pemikiran Locke tertanam dalam DNA pendirian Amerika. Hingga hari ini, pemikirannya tetap sangat relevan, mengingatkan kita bahwa pemerintah ada untuk melayani rakyat, bukan sebaliknya, dan bahwa kebebasan adalah hak asasi yang harus selalu dijaga.


Zlamitan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menempa Akal untuk Mengubah Dunia dengan Panduan Berpikir Kritis ala Madilog

Pendahuluan: Lahirnya Sebuah Alat Berpikir Pada pertengahan tahun 1942, di tengah suasana politik yang membara di bawah pendudukan Jepang, seorang buronan revolusioner bernama Tan Malaka memulai sebuah proyek intelektual yang ambisius. Dalam kesendirian dan persembunyiannya di Rawajati, Jakarta, ia merenungkan sebuah pertanyaan mendasar: dari mana seorang pejuang harus memulai? Di tengah gegap gempita perubahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, ia tidak memilih menulis pamflet politik yang membakar, melainkan memutuskan untuk menempa sebuah senjata yang lebih fundamental: sebuah cara berpikir. Buku yang lahir dari perenungan ini, Madilog , bukanlah sekadar kumpulan gagasan, melainkan sebuah cetak biru untuk merombak fondasi intelektual bangsanya. Pendahuluan buku ini adalah jendela untuk memahami urgensi, kondisi, dan tujuan dari kelahiran mahakarya tersebut. Di Bawah Bayang-Bayang Samurai sebagai Sebuah Titik Mula Untuk memahami mengapa Madilog ditulis, kita harus terlebih dahulu mem...

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia Dalam kancah kehidupan bernegara, hukum acapkali hadir sebagai entitas yang paradoks. ia adalah cita-cita luhur keadilan yang terukir dalam konstitusi, namun pada saat yang sama, ia juga merupakan realitas pragmatis yang beradaptasi dengan dinamika sosial-politik yang tak terduga. Di Indonesia, sebuah negara kepulauan yang kaya akan keberagaman dan gejolak, hukum seringkali terasa "mengawang" di tengah idealisme normatif, tetapi kemudian "membumi" dalam praktik penegakan yang sarat kepentingan dan interpretasi. Fenomena ini menciptakan ketegangan abadi antara norma yang seharusnya dan fakta yang senyatanya, sebuah dialektika yang menuntut pemahaman mendalam melampaui sekadar teks perundang-undangan. Esai ini hadir untuk menjembatani jurang antara idealisme filosofis dan realitas konstitusional di Indonesia, sebuah upaya untuk mengurai benang kusut yang melingkupi berbagai i...

Membaca Ulang Peta Pemikiran Karl Marx di Era Digital

Ada hantu bergentayangan di nusantara—hantu Marxisme . Selama lebih dari tiga dekade, hantu ini tidak sekadar menakut-nakuti; ia menjadi justifikasi bagi tumpahnya darah, air mata, dan pedih yang tak terperi . Siapapun yang "dipertautkan" dengannya, atau sekadar "dipersangkakan" sebagai pengikutnya, harus menanggung akibat yang mengerikan . Pelarangan total atas ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme sejak 1965 ( TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 ) bukan hanya sebuah kebijakan politik, melainkan operasi ideologis berskala masif untuk menciptakan lobotomi intelektual . Akibatnya, seperti yang disiratkan dalam pengantar buku Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx , pemikiran sosial kita menjadi tumpul dan kering . Kita kehilangan mitra dialog yang tajam, sebuah cermin kritis untuk menguji ideologi-ideologi lain yang hidup di republik ini . Maka, mengabaikan pemikiran Karl Marx, dalam konteks ini, bukan lagi pilihan, melainkan sebuah "kecelakaan ilmiah"...