Pendahuluan: Membedah Pemikiran Sang Bapak Republik
Tan Malaka sering kali hanya dikenang sebagai figur revolusioner fisik, seorang pejuang gerilya yang hidupnya penuh pelarian dan pertempuran. Namun, karyanya yang sempat hilang selama 60 tahun, "Semangat Muda" (1926), mengungkapkan kedalaman pemikirannya sebagai seorang strategis ulung yang analisisnya jauh melampaui zamannya. Naskah ini bukan sekadar pamflet perjuangan, melainkan sebuah cetak biru intelektual yang dingin dan tajam. Artikel ini akan mengupas lima gagasan paling tajam, mengejutkan, dan berdampak dari naskah tersebut yang menawarkan cara pandang baru terhadap sejarah dan bahkan tantangan masa kini.
1. Ekonomi Indonesia Sengaja Dibuat "Sakit" dan Tidak Alami
Bagi Tan Malaka, kolonialisme bukanlah sekadar eksploitasi, melainkan sebuah proyek sistematis untuk melumpuhkan potensi ekonomi sebuah bangsa. Ia mendiagnosis bahwa kapitalisme di Hindia Belanda bukanlah penyakit biasa, melainkan kelainan bawaan yang dirancang untuk membuat ekonomi Indonesia cacat sejak lahir. Kapitalisme ini bersifat kunstmatig (buatan/artifisial), dipaksakan dari luar demi kepentingan bangsa asing, bukan organisch (tumbuh secara alami) dari kebutuhan internal. Ia menggambarkannya sebagai kondisi yang terperkosa, "seolah-olah sepokok kayu yang kena kelindungan."
Analisisnya menyoroti keterputusan struktural antara kota dan desa. Berbeda dengan di Eropa di mana keduanya saling menopang, di Indonesia hubungan ini dibajak. Baik kota maupun desa dieksploitasi secara terpisah untuk satu tujuan: menjadi pengisi perut "si Lintah Darat yang tidur di Belanda". Kota tidak memproduksi alat untuk desa, dan desa tidak menanam pangan untuk kota; keduanya hanya menyuplai keuntungan bagi kaum pemodal di seberang lautan.
Lebih jauh, ia menyatakan bahwa Indonesia sengaja dipertahankan sebagai negeri agraris (landbow-land) dan secara aktif dihalangi menjadi negeri industri (industri-land). Tujuannya jelas: agar Indonesia tidak menjadi pesaing bagi industri Belanda dan agar rakyatnya tetap pasif, terikat pada tanah, dan mudah dikendalikan. Gagasan ini membingkai kolonialisme sebagai sebuah proyek rekayasa untuk melumpuhkan potensi sebuah bangsa secara permanen.
2. Alasan Mengejutkan Mengapa Revolusi Tak Terhindarkan: Absennya Kelas Kapitalis Pribumi
Sebagai akibat langsung dari struktur ekonomi yang sengaja dibuat "sakit" itu, lahirlah sebuah paradoks tajam yang menjadi inti analisis Tan Malaka: revolusi di Indonesia menjadi tak terelakkan justru karena sebuah kelemahan, yakni tidak adanya kasta-hartawan bumiputera (kelas kapitalis pribumi) yang kuat. Di saat gerakan lain meratapi ketiadaan elite ekonomi lokal, Tan Malaka melihatnya sebagai faktor penentu yang menutup semua jalan kompromi.
Konsekuensinya sangat besar. Pemerintah kolonial Belanda tidak bisa memainkan taktik imperialis yang umum: memberikan konsesi politik (seperti parlemen semu) kepada elite lokal untuk meredam gejolak. Di India atau Mesir, Inggris bisa berkompromi dengan kapitalis lokal karena ada kesamaan kepentingan. Di Indonesia, tidak ada kelas penyangga yang bisa diajak bernegosiasi. Lawan langsung dari modal Belanda adalah rakyat pekerja dan tani.
Tan Malaka menyebut situasi ini sebagai contradictio determinis (kontradiksi yang tak terhindarkan). Memberi hak politik yang sesungguhnya kepada rakyat sama saja dengan bunuh diri bagi kaum penindas. Tidak ada jalan tengah. Imperialisme Belanda harus memerintah secara absolut atau tersingkir sama sekali. Analisis dialektis ini menunjukkan bahwa sebuah kelemahan struktural (absennya borjuasi) secara tak terduga justru menjadi kekuatan pendorong revolusi yang paling pasti.
Masakan yang menindas bisa memberi 1/2 atau 3/4 senjata kepada yang tertindas, seperti si Penyamun akan memberikan pistolnya kepada yang disamunnya. Dengan segera yang disamun akan membunuh yang menjamun.
3. Strategi "Partai Kembar": Solusi Cerdas untuk Menyatukan Rakyat yang Beragam
Menghadapi kondisi sosial yang unik di Indonesia, Tan Malaka tampil bukan sekadar sebagai ahli taktik, melainkan seorang arsitek sosiologis yang brilian. Ia melihat dilema yang pelik: mayoritas rakyat adalah kaum non-proletar (petani, pedagang kecil, tukang) yang masif namun tersebar, sementara kaum buruh industri (proletar) yang terorganisir jumlahnya sangat sedikit.
Solusinya bukanlah meniru model partai Eropa, melainkan merancang sebuah arsitektur organisasi yang dibuat khusus untuk cerminan realitas kelas di Indonesia. Ia merumuskan strategi "Partai Kembar":
- PKI (Partai Komunis Indonesia): Berfungsi sebagai partai kader yang disiplin untuk kaum buruh industri. Inilah garda depan (
Avant-Garde) yang menjadi tulang punggung ideologis pergerakan. - S.R. (Sarekat Rakyat): Berfungsi sebagai partai massa yang merangkul semua golongan non-proletar yang revolusioner. Inilah wadah bagi jutaan petani, pedagang, pelajar, dan siapa pun yang menentang imperialisme.
Ia menolak strategi satu partai. Jika hanya PKI, partai akan menjadi sekte kecil yang terisolasi. Sebaliknya, jika semua digabung, partai akan menjadi "gemuk karena angin"—besar namun tanpa arah dan disiplin. Strategi Partai Kembar adalah solusi yang dirancang khusus, menunjukkan pemahamannya yang mendalam bahwa sebuah gerakan harus memiliki struktur organisasi yang mencerminkan komposisi masyarakat yang ingin digerakkannya.
Kita pikir di kota besar-besar seperti Betawi, Semarang dan Surabaya pun sekarang mesti dilakukan Partai Kembar, yakni P.K.I dan S.R. Dengan politik Satu Partai... kita pikir, pertama kita bisa tinggal kecil (sectarisme) atau kedua besar, seperti perut kemasukan angin.
4. Revolusi Indonesia Bukan Sekadar Perang Kemerdekaan, Tapi "Nasionalis-Sosial"
Tan Malaka mendefinisikan watak Revolusi Indonesia secara spesifik, melampaui narasi perjuangan kemerdekaan biasa. Baginya, ini adalah sebuah revolusi hibrida yang bersifat nasionalis-sosial. Tujuannya bukan hanya mengganti bendera, tetapi membongkar fundamental struktur ekonomi.
Artinya, perjuangan ini memiliki dua tujuan yang berjalan serentak sebagai satu tindakan yang tak terpisahkan: perjuangan kemerdekaan bangsa (nasionalis) sekaligus perjuangan pembebasan kelas (sosial). Visinya jelas: kemerdekaan sejati bukanlah sekadar mengganti penguasa kulit putih dengan penguasa kulit sawo matang, melainkan merombak total struktur kekuasaan ekonomi. Kemerdekaan politik tanpa kedaulatan ekonomi rakyat adalah ilusi.
Karena watak revolusi yang unik ini, senjata utamanya pun harus modern. Taktik perang gerilya model lama (Karim-isme atau Dipo Negoro-isme) tidak lagi memadai untuk melawan kapitalisme modern yang terorganisir. Senjata utama yang harus digunakan adalah senjata modern kaum buruh: mogok, boikot, dan demonstrasi massa. Pemikiran ini sangat maju, menyatukan nasionalisme dan sosialisme ke dalam satu tarikan napas strategis, di mana pembebasan politik dan ekonomi adalah satu kesatuan.
Revolusi Indonesia tiadalah akan semata-mata untuk menukar kekuasaan Belanda dengan kuasaan bumi putera (Peperangan Kemerdekaan bangsa), tetapi juga untuk menukar kekusaan hartawan Belanda dengan Buruh Indonesia (putaran-sosial).
5. Senjata Paling Tajam Bukanlah Bedil, Melainkan "Otak, Pena, dan Mulut"
Di tengah gelora perjuangan fisik, Tan Malaka meletakkan fondasi utama revolusi pada ranah kesadaran (sadar politik) dan pengetahuan. Baginya, aksi tanpa pemahaman yang dalam adalah petualangan buta yang pasti akan gagal. Ia menolak taktik feodal yang mistis (jimat dan kemenyan) maupun taktik anarkis yang mengandalkan kekerasan sporadis individu (bom). Keduanya dianggap tidak akan mampu meruntuhkan sistem penindasan yang terorganisir.
Pesan penutupnya kepada kawan-kawannya begitu kuat: jangan pernah berhenti belajar, karena pengetahuan adalah kekuatan. Ia mengingatkan bahwa pengetahuan adalah senjata yang selama ini dimonopoli kaum penindas untuk mempertahankan kekuasaan mereka.
Gagasan ini membingkai revolusi bukan hanya sebagai pertarungan fisik, tetapi yang lebih fundamental, sebagai pertarungan gagasan dan kesadaran. Hampir seabad lalu, Tan Malaka telah memahami secara presien bahwa medan pertempuran utama adalah kesadaran—sebuah pelajaran yang amat berharga di era perang informasi dan pertarungan ideologi abad ke-21. Kemerdekaan sejati dimulai dari kemerdekaan pikiran.
Inilah senjata kita Kaum Revolusioner yang terutama sekali: Otak, Pena dan Mulut.
Kesimpulan: Pelajaran Strategis yang Abadi
"Semangat Muda" membuktikan bahwa Tan Malaka bukan hanya seorang aktivis lapangan, tetapi seorang pemikir strategis yang mendalam dengan kemampuan analisis setajam pisau bedah. Ia membedah anatomi masyarakat kolonial, mengidentifikasi titik-titik lemahnya, dan merumuskan strategi yang didasarkan pada kondisi nyata, bukan angan-angan. Gagasan-gagasannya menolak untuk menjadi sekadar catatan sejarah yang usang; ia tampil sebagai sebuah studi kasus abadi tentang cara menganalisis kondisi, merumuskan strategi, dan menggerakkan perubahan secara mendasar.
Dari kelima gagasan strategis Tan Malaka, manakah yang menurut Anda paling berharga untuk kita renungkan dalam menghadapi tantangan kebangsaan hari ini?
Zlamitan
Podcast Pengantar Tidur
Komentar
Posting Komentar