Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2025

Rekonstruksi Sistem Pengawasan Parlemen dengan Pendekatan System Change

Dalam panggung demokrasi Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memegang peranan sentral sebagai benteng pengawasan terhadap kekuasaan eksekutif. Namun, benteng ini tampak rapuh. Fungsi pengawasan yang seharusnya menjadi pedang tajam akuntabilitas publik kerap kali tumpul, terperangkap dalam labirin kelemahan struktural dan dinamika politik yang melumpuhkan. Sistem eksisting yang bagi sebagian pihak telah "efektif" karena  dibalut kerangka hukum yang komprehensif melalui UU No. 17 Tahun 2014, tetapi pada kenyataannya masyarakat dapat menilai bahwa praktik pengawasan di lapangan masih jauh dari efektif . Masalahnya bukanlah sekadar serangkaian cacat prosedural, melainkan sebuah penyakit sistemik yang berakar pada keterbatasan kewenangan hingga kultur politik kartel yang mengikis independensi . Oleh karena itu, solusi yang ditawarkan bukanlah perbaikan tambal sulam, melainkan sebuah resep untuk transformasi mendasar—sebuah pergeseran paradigma yang menuntut pembongkaran dan ...

Pancasila Sebagai Pondasi Moral, Bukan Sekadar Slogan Politis

Pada 1 Juni 1977, di panggung Gedung Kebangkitan Nasional, seorang negarawan bangsa di senja usianya, Dr. Mohammad Hatta, menyampaikan sebuah pidato yang bukan sekadar kenangan, melainkan sebuah wasiat intelektual yang mendalam . Naskah pidato yang kemudian dibukukan dengan judul  Pengertian Pancasila ini bukanlah sebuah catatan arsip yang kaku. Ia adalah sebuah refleksi tajam dari seorang proklamator yang melihat gagasan agung yang turut dibidani kelahirannya, puluhan tahun kemudian, lebih sering menjadi hiasan di bibir daripada keyakinan yang berakar di hati . Melalui uraiannya, Hatta tidak hanya memaparkan sejarah, tetapi juga menyuling esensi filosofis Pancasila, menegaskannya sebagai sebuah fondasi moral yang kokoh, bukan sekadar kompromi politis yang rapuh. Hatta memulai dengan mengakui peran sentral Bung Karno dalam sidang Panitia Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan pada 1 Juni 1945 . Di tengah kebuntuan atas pertanyaan filosofis dari Ketua Sidang, dr. Radjiman Wed...

Refleksi Kritis atas Optimisme dan Kegelisahan Francis Fukuyama Setelah Sejarah Dinyatakan Berakhir

Pada penghujung abad ke-20, ketika Tembok Berlin runtuh berkeping-keping dan Uni Soviet goyah diambang kehancuran, dunia diselimuti euforia dan ketidakpastian. Di tengah gegap gempita perubahan tektonik itu, seorang ilmuwan politik Amerika Serikat keturunan Jepang, Francis Fukuyama, melontarkan sebuah tesis yang bukan hanya provokatif, tetapi juga terdengar begitu meyakinkan pada masanya. Dalam esainya yang kemudian diperluas menjadi buku  The End of History and the Last Man , Fukuyama dengan percaya diri mendeklarasikan bahwa umat manusia telah tiba di penghujung perjalanan ideologisnya. Demokrasi liberal, yang berpadu dengan ekonomi kapitalis, bukanlah sekadar pemenang Perang Dingin tetapi adalah "bentuk final pemerintahan manusia" dan "titik akhir dari evolusi ideologis umat manusia" . Ini bukan berarti peristiwa-peristiwa dramatis akan berhenti terjadi . Pembantaian, kudeta, dan konflik akan terus mengisi lembaran surat kabar. Namun, "Sejarah" dengan ...